1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Perjuangan Biarawati Melawan Kekerasan Seksual di India

Murali Krishnan
20 Februari 2019

Sekelompok biarawati Katolik India menuduh seorang uskup yang berpengaruh perkosa rekan mereka. DW berbicara dengan pemimpin kelompok biarawati tentang bagaimana gereja halangi upaya mereka untuk mendapatkan keadilan.

https://p.dw.com/p/3Dj5m
Sister Anupama und die 4 anderen Schwestern, die gegen sexueller Missbrauch in der Kirche arbeiten
Foto: privat

Tahun lalu Suster Anupama dan empat rekannya dari paroki Misionaris Yesus di negara bagian Kerala, India memimpin protes menuntut penangkapan Uskup Franco Mulakkal, 54, seorang anggota senior klerus Katolik Roma dan kepala keuskupan Jalandhar.

Mulakkal dituduh memperkosa seorang biarawati Katolik sebanyak 13 kali antara tahun 2014 dan 2016. Kasus ini sedang disidangkan di pengadilan.

Bulan lalu, Anupama dan kawan-kawannya seharusnya dipindahkan dari biara mereka di Kuravilangad, tetapi perintah pemindahan dicabut beberapa minggu setelah dikeluarkan. Perintah transfer telah memicu spekulasi bahwa mereka dihukum karena protes.

Kasus ini menyebabkan geger di seluruh India. Di negara bagian Kerala, di mana dari 35 juta penduduknya 18% beragama Kristen, kasus ini memiliki makna khusus karena gereja memainkan peran penting dalam merintis lembaga pendidikan dan perawatan kesehatan.

Suster Anupama adalah juru bicara kelompok biarawati yang menentang pelecehan seksual. Ia berbicara kepada DW tentang tantangan yang dia dan teman-temannya hadapi dalam menangani kejahatan seksualdan membawa terdakwa ke pengadilan.

Baca juga: Perempuan Muslim Konservatif Galang Petisi Tolak RUU Anti Kekerasan Seksual

DW: Apakah sulit untuk berjuang melawan tokoh agama Kerala yang berpengaruh?

Suster Anupama: Ya, itu merupakan tantangan dan kami menghadapi beberapa momen sulit. Setelah protes bersejarah dengan forum Save Our Sisters (SOS) di Lapangan Vanchi di kota Kochi tahun lalu untuk menuntut agar Uskup Franco Mulakkal ditangkap, kami berada di bawah pengawasan. Surat pemindahan yang dikeluarkan kepada kami adalah tindakan balas dendam oleh badan gereja Katolik. Dan seandainya kami pindah, hidup kami akan terancam, tanpa jaminan perlindungan dari pihak berwenang. Semua ini bertujuan untuk menghukum kami karena kami berbicara menentang uskup.

Apakah ada tekanan terhadap Anda dan biarawati lainnya?

Ada tekanan tapi terselubung. Gerakan kita terkadang terbatas; uang yang diberikan kepada kami sangat sedikit dan kami diawasi. Jadi jelas, kami tidak bisa hidup bebas dan selalu waspada.

Kami dicela dan diminta untuk meninggalkan upacara pemakaman pastor Kuriakose Kattuthara yang meninggal misterius tahun lalu. Pastor Kattuthara mendukung kami dalam kasus melawan Uskup Mulakkal.

Apakah Anda pikir gereja berupaya untuk menutupi kasus ini?

Gereja Katolik di Kerala menghadapi krisis yang nyata, tetapi alih-alih mereformasi dan membiarkan kebenaran menang, gereja menggunakan taktik pengucilan, pencemaran nama baik, pembunuhan karakter dan kasus-kasus palsu untuk menyerang kami.

Kami semua berada di sisi kebenaran dan yang kami inginkan adalah tempat yang aman dan terjamin untuk para biarawati. Selama dua tahun terakhir, ada banyak kasus imam Katolik di negara bagian ini yang dituduh melakukan kekerasan seksual. Perjuangan kami adalah untuk para saudari kami yang menderita dalam kesunyian dan kami akan melanjutkan kampanye kami sampai mereka semua mendapatkan keadilan.

Baca juga: Tagar "MeToo" - Tingkatkan Kesadaran bagi Kekerasan Seksual

Awal bulan ini, Dewan Uskup Katolik Kerala mengeluarkan seperangkat pedoman yang menyatakan kebijakan "tidak ada toleransi" untuk pelecehan seksual. Apa pendapat Anda tentang itu?

Daftar "hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan" tidak cukup. Waktu dirilisnya pedoman juga dipertanyakan. Kami membutuhkan sistem yang berfungsi. Yang kami perjuangkan adalah mekanisme pengaduan yang transparan dan bisa diterapkan, sehingga semua orang merasa aman.

Lebih dari 100 uskup senior Katolik Roma dari seluruh dunia akan berkumpul Kamis di kota Roma untuk menghadiri pertemuan puncak yang diminta Paus Fransiskus untuk membahas pelecehan seksual oleh pendeta. Apa pendapat Anda tentang pertemuan itu?

Saya menyambut inisiatif itu dan berharap sesuatu yang konkret muncul dari pertemuan. Ada banyak contoh pelecehan seksual di seluruh dunia Katolik, tetapi tujuan akhirnya adalah untuk menghilangkan momok pelecehan dan oleh karena itu, penting untuk mendidik para uskup tentang masalah pelecehan dan bagaimana menanganinya dengan benar. Fakta bahwa Paus mengadakan pertemuan tentang itu menunjukkan bahwa masalah ini adalah masalah yang serius.

Apakah Anda punya harapan dari pertemuan ini?

Masalahnya harus dibahas secara mendalam dan tanpa rasa takut. Wahyu tentang eksploitasi dan penyalahgunaan di balik tembok-tembok gereja telah runtuh. Ini tidak harus difokuskan hanya pada negara-negara Barat tetapi di mana pun. Langkah-langkah tegas diperlukan untuk menerapkan praktik-praktik yang melindungi mereka yang rentan dan membawa keadilan bagi para korban.

Apakah Vatikan menawarkan bantuan atau dukungan setelah krisis ini meletus di Kerala?

Kami berharap mendapat dukungan dari Paus, tetapi tidak ada utusan yang dikirim untuk menginvestigasi insiden ini. Ini adalah kasus yang menerima banyak publisitas. Perjuangan kami akan terus berlanjut. Kami tidak akan pergi ke mana pun sampai kasus ini selesai dan sampai saudari kami mendapat keadilan. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini.

Wawancara dilakukan oleh Murali Krishnan di New Delhi.