1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perlombaan Merebut Saintis Muda

6 Juli 2012

Inilah forum pertemuan terpenting di bidang sains. Lindau Nobel Laureate Meeting tahun ini digelar untuk ke-62 kalinya. Puluhan pemenang nobel sains bertemu dengan ratusan saintis muda dunia.

https://p.dw.com/p/15SwT
Foto: DW

Awal Juli itu langit sedikit mendung di Lindau, pulau kecil yang terletak diantara perbatasan tiga negara: Jerman, Austria dan Swiss. Sekelompok anak muda berkumpul di sudut gedung pertemuan Inselhalle yang cantik dan menghadap ke danau. Mereka berdebat tentang kosmologi. Di sudut lainya, segerombolan anak muda berbincang ringan tentang sistem solar.

Sekelompok anak muda tiba-tiba bangkit dari kursi dan meminta berfoto bersama Brian P. Schmidt, pemenang nobel Fisika 2011. Schmidt adalah satu dari tiga pemenang nobel bidang Fisika tahun 2011, karena keberhasilannya membuat perhitungan tentang pembentukan alam semesta.

Selamat datang di pertemuan terpenting para saintis dunia. Puluhan pemenang nobel bertemu dengan ratusan saintis muda dunia. Lindau Nobel Laureate Meeting ke-62 tahun ini, didedikasikan untuk bidang fisika.

Dalam forum ini, para saintis muda terbaik dari seluruh penjuru dunia berkesempatan langsung menyimak ceramah umum, berdiskusi dan berinteraksi secara dekat dengan para peraih nobel.

Saintis Indonesia

Tuan rumah Jerman mengirimkan saintis paling banyak diikuti Amerika Serikat. Dari kawasan Asia Tenggara Thailand dan Malaysia masing-masing datang dengan enam orang. Sementara Singapura datang dengan lima saintis muda.

Bagaimana dengan Indonesia? Hanya ada dua orang berkewarganegaraan Indonesia yang datang ke acara ini. Ironisnya, mereka datang bukan mewakili Indonesia. Mereka hadir karena di sponsori oleh negara lain.

Two Indonesian scientist Nicholas Agung Kurniawan and Rachmat Adhi Wibowo are being invited to Lindau Nobel Laureates Meeting.
Dua saintis Indonesia Nicholas Agung Kurniawan (kiri) dan Rachmat Adhi Wibowo (kanan) di LindauFoto: DW

Rachmat Adhi Wibowo adalah saintis Indonesia yang sedang melakukan riset postdoctoral di Friedrich-Alexander Universität Erlangen-Nürnberg, Jerman. Adhi, begitu ia akrab dipanggil, adalah saintis yang punya passion pada masalah energi terbarukan.

“Saya mencintai sains. Teknologi energi terbarukan adalah masa depan peradaban, dan merupakan kebahagiaan luar biasa jika saya bisa memberikan kontribusi“ demikian kutipan kata-kata Adhi dalam buku panduan yang diterbitkan panitia Lindau Nobel Laureate Meeting.

Bersama tim peneliti di Universitas Nürnberg, Adhi sedang mengembangkan materi baru untuk menggantikan materi lama yang kini dipergunakan untuk panel sel surya. Materi baru ini lebih murah dan mudah didapat. “Dengan temuan ini, harga teknologi sel surya akan jauh lebih murah hingga lima kali lipat dari yang dijual di pasaran saat ini“ kata Adhi kepada Deutsche Welle.

Selama ini, teknologi sel surya sulit berkembang karena harganya yang mahal. Dalam rentang sekitar lima tahun ke depan, Adhi berharap temuannya ini akan diproduksi massal dan dipasarkan secara lebih luas. Temuan Adhi dan tim dari Universitas Nürnberg ini akan membuat teknologi sel surya yang terbarukan dan ramah lingkungan ini akan dipergunakan secara lebih luas. “Saya punya hasrat meneliti sel surya karena Indonesia memiliki potensi sangat besar, karena negara kita disinari matahari sepanjang waktu“ kata Adhi.

Saintis Indonesia lainnya yang datang adalah Nicholas Agung Kurniawan. Ia kini tercatat sebagai peneliti di National University of Singapore. Bertahun-tahun Niko, begitu ia biasa dipanggil teman-temannya, mendalami riset tentang Biopolymer Microrheology.

“Saya punya hasrat alami untuk memahami cara kerja alam, dan itu mengarahkan saya untuk melakukan riset multi disiplin yang menawarkan pemahaman yang lebih baik mengenai diri kita sendiri dan hal-hal lain di sekitar kita” kata Niko.

Lewat penelitian bertahun-tahun, Niko menemukan pola gerak jaringan sel yang bisa menjelaskan duduk perkara penyebaran kanker. Temuan baru yang selama ini tidak terjawab oleh para peneliti dunia.

Belakangan ia meneliti masalah Protein Folding. Lewat temuan terbaru putera asal Indonesia ini, dunia medis akan bisa mengembangkan sistem pengobatan yang lebih efisien dan sistematis, sekaligus mengurangi komplikasi yang muncul akibat obat.

Problem Dunia Sains Indonesia

“Apakah anda tertarik untuk pulang?“ tanya saya kepada Rachmat Adhi Wibowo di sela-sela acara. Adhi sedikit tercenung dan berkata lirih “Saya belum mengambil keputusan”. Sebagaimana saintis Indonesia lain yang sudah membangun reputasi internasional, Adhi punya dilema tersendiri ketika dihadapkan pada pilihan pulang atau tidak ke tanah air.

“Bukan soal gaji. Persoalannya adalah pada kesempatan untuk mengaktualisasikan ide” kata Adhi sambil menambahkan “Kita tidak punya fasilitas laboratorium yang cukup memadai” kata Adhi sambil menyoroti minimnya dana yang digelontorkan pemerintah untuk melakukan penelitian dalam bidang sains.

“Hal lain adalah sparring partner. Di Indonesia saya merasa tidak punya cukup banyak kawan peneliti yang bisa diajak bertukar pikiran tentang bidang penelitian saya” kata Adhi yang mengaku sedang mempertimbangkan tawaran untuk menjadi peneliti di Qatar. Adhi menyebut bahwa Timur Tengah kini menjadi salah satu magnet, karena negara-negara di sana belakangan mulai berlomba mendatangkan para saintis dari seluruh penjuru dunia.

Tapi Nicholas Agung Kurniawan punya pendapat berbeda. “Saya tidak punya persoalan dengan sparring partner. Orang Indonesia itu pintar-pintar“ kata Niko, meski ia setuju dengan pendapat Adhi bahwa “Masalahnya di Indonesia tidak tersedia fasilitas laboratorium, terutama untuk riset dasar Fisika seperti yang kini saya geluti”.

Bertemu dengan Niko, kita bisa merasakan hasratnya yang sangat besar untuk menjadi peneliti. Dan ia menemukan habitatnya di negeri tetangga Singapura yang menyediakan fasilitas dan kesempatan yang jauh lebih baik bagi saintis muda potensial seperti Niko.

Singapura Undang Saintis Dunia

“Singapura adalah negara dengan iklim tropis paling sejuk. Kami punya fasilitas luar biasa bagi para peneliti” kata Tony Tan, Presiden Singapura.

Ya, Singapura khusus mengirimkan Presiden ke forum paling bergengsi di bidang sains itu. Target utamanya jelas: membujuk para saintis paling potensial di seluruh dunia yang hadir di Lindau, agar mau menjadi peneliti di negeri jiran.

Mereka mengerahkan puluhan orang untuk mempromosikan Singapura kepada seluruh peserta. Tak hanya itu, Singapura bahkan mengirimkan koki khusus dan menyediakan jamuan makan malam khusus bagi seluruh peserta. “Makanan kami adalah yang paling enak di dunia” promosi Presiden Tan.

Setelah testimoni dua periset dari luar tentang pengalaman enaknya tinggal dan menjadi peneliti di Singapura acara malam itu ditutup dengan pertunjukan budaya yang antara lain menampilkan lagu ”Rasa Sayange“ dan “Cha Cha Maricha: Anak Kambing Saya”, yang bagi orang Indonesia selama ini dianggap sebagai lagu asal Indonesia.

Singapura memang mencoba menyerap unsur-unsur terbaik. Dan kini mereka menerapkannya pada bidang sains: inilah cara mereka menggoda para saintis paling potensial dunia untuk datang dan menjadi peneliti di Singapura.

Tak hanya negeri jiran, Jerman sebagai tuan rumah, Amerika Serikat dan Austria juga berlomba menarik para saintis muda dengan menggelar acara-acara khusus.

Di Lindau, kekuatan teknologi maju dunia berlomba memperebutkan potensi terbaik dalam bidang sains. Dan Indonesia: nyaris tak terdengar di sana.

Andy Budiman

Editor: Hendra Pasuhuk