1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Deteksi Perilaku Teroris

13 Mei 2018

Bagaimana Anda bisa mendeteksi perilaku yang mengarah pada tindak terorisme? Simak opini Monique Rijkers berikut ini.

https://p.dw.com/p/2xcgs
Selbstmordanschlag in Surabaya Indonesien
Foto: Getty Images/AFP/J. Kriswanto

Sepekan sebelum Natal 2017, saya sempat mengontak seorang pakar terorisme untuk menanyakan "Bagaimana cara mendeteksi perilaku yang harus diawasi”. Kawan saya ini kemudian mengajak saya makan siang dan memperkenalkan dengan pakar deteksi perilaku terkait terorisme, ia orang Arab Suriah kewarganegaraan Australia. Pria berkulit putih ini sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan di Indonesia yang jasanya digunakan hingga ke Malaysia untuk pelatihan anti teror. Kawan yang mempertemukan kami mengatakan beliau ini "the real terrorist hunter”.

Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Singkat cerita dari percakapan kami, saya baru menyadari ternyata banyak sekali tenaga satuan pengamanan (satpam) bahkan polisi yang tidak tahu apa yang harus diamati dan di mana harus mencari teroris berdasarkan perilakunya. Satpam di mal, hotel atau perkantoran dan di rumah ibadah umumnya cuma memeriksa tas dan jaket, tidak menggeledah benda tajam seperti pisau. Karena itu sungguh mengherankan seseorang bisa membawa pedang masuk ke dalam ruang ibadah di Sleman kemarin. Ibarat payung, pedang saya kira cukup mudah terlihat jika berukuran panjang dan harus ditenteng atau jika tidak panjang, bisa dimasukkan dalam ransel atau dilakban di dada.

Baca juga:

Serangan Bom Terjadi di Tiga Gereja di Surabaya

Inilah Penyebab Kerusuhan Mako Brimob Versi Narapidana

Bukan hal baru

Upaya gangguan keamanan bukan hal baru di Indonesia. Sasaran gereja Katolik sudah terjadi pada tanggal 21 Desember 2017 jam 03.30 pagi Gereja Katolik Santa Maria Ratu Rosari di Ratulindo, Touna, Sulawesi Utara ketika disasar bom molotov yang dilempar oleh orang tidak dikenal. Kejadian ini dianggap gangguan keamanan yang bersifat lokal dan pelaku sering sekali dianggap melakukan aksi individual. Akibatnya pihak keamanan lalai menelusuri kelompok dan jaringannya sehingga skenario yang sedang atau akan dilakukan kelompok tertentu terus dapat berlangsung.

Namun jika didata secara nasional, upaya terorisme terus muncul di berbagai lokasi. Sepanjang tahun 2017 terduga teroris yang ditangkap Densus 88 sebanyak 172 orang! Pada tahun 2018, paling tidak sudah ada penangkapan di tiga lokasi. Tanggal 1 Januari 2018 di Makassar ada terduga teroris yang ditangkap namun usai diinterogasi tewas dan langsung dimakamkan. Tanggal 2 Januari 2018 Densus 88 menangkap terduga teroris di Buton, Sulawesi Tenggara (sebelumnya ada terduga teroris yang menyamar sebagai buruh ditangkap di Kendari). Yang terbaru tanggal 9 Februari 2018, terduga teroris dan istrinya ditangkap di Indramayu, Jawa Barat. Di Makassar pun ada terduga teroris yang ditangkap namun belakangan tewas.

Berdasarkan rekaman kejadian, kenalan saya menjelaskan ciri teror Jemaah Islamiyah (JI) selalu mencari hari baik, misal Bom Natal 2000 dan Bom Bali 2002 dan 2003. Bom Bali 2002 contohnya dilakukan satu hari, satu bulan dan satu tahun setelah 11 September di New York.

Ciri aksi terorisme JI adalah masif. Sedangkan bagi ISIS yang penting adalah ada pelaku yang berani turun, bukan bom bunuh diri, bom paket, bom mobil tapi pelaku yang bisa menembak, menusuk dan aksi kekerasan berdasarkan kemampuan individu. Sasaran umumnya terbagi dua yaitu hard target yang dilakukan secara terencana dan matang dengan target institusi, simbol pemerintah, sedangkan soft target dilakukan secara maraton karena aksi dadakan, perencanaan seadanya, bersifat reaktif dengan target warga masyarakat. Pelaku di lapangan yang digerakkan oleh JI cenderung birokratis sementara pelaku yang digerakkan oleh ISIS lebih fleksibel memilih target, waktu kejadian dan alat yang digunakan. Kenalan saya memetakan motif menjadi dua yakni JI digerakkan oleh konsensus (harus ada perintah amir untuk bikin amaliyah) dan ISIS oleh narasi kebencian. Kenalan saya ini menyakini umumnya yang didasari kebencian akan berteriak dulu sebelum melakukan aksinya.

Memetakan dan mendeteksi perilaku bagi orang awam tentu tidak serta merta bisa dikuasai tanpa pelatihan, kelak setelah pelatihan petugas keamanan akan mampu membedakan bagaimana perilaku orang yang punya masalah pribadi dengan yang punya kebencian dari tindak-tanduknya (gelisah atau berkeringat karena masalah psikis dengan gugup akan melakukan aksi bisa dibedakan).

Memahami pola pikir teroris berguna untuk memetakan perilaku teroris. Jika tidak mengerti pola pikir teroris, tidak akan bisa mengetahui indikator profil seorang teroris. Body language atau bahasa tubuh tidak bisa menipu, kata kenalan saya: "You can act but you can't fake your reaction.” Lalu apa saja yang harus dideteksi?

Berikut lima ciri perilaku yang dideteksi termasuk dalam profil pelaku terorisme:

- menggunakan baju longgar untuk menutupi alat yang digunakan untuk kekerasan

- tampil rapi bahkan klimis

- menggunakan wewangian non alkohol

- gaya jalan palsu (robotic walk)

- pandangan fokus pada target (tunnel vision)

Apakah kita butuh pengetahuan deteksi perilaku terorisme?

Ya, sangat butuh. Abu Muhammad al-Adnani, pentolan ISIS menyatakan, "Kalau tertutup pintu hijrah ke Suriah, bukalah pintu jihad di tempatmu sendiri”. Ini kutipan yang dibagikan seorang kenalan saya di grup WA. Ia mengajak media untuk melawan terorisme bukan fokus pada kronologi, sebab "There is no terrorism without media”. Ia menyarankan menggunakan tagar #KamiBerani bukan #KamiTidakTakut sebab diksi "tidak takut” justru yang akan terekam di alam bawah sadar malah kata "takut”. Kita dapat berpartisipasi melawan terorisme dan radikalisme melaui kegiatan kontra radikalisme dan deradikalisme, bisa memilih berpartisipasi terlibat di hulu atau hilir.

Melalui tulisan singkat ini, saya menginformasikan masyarakat dan para pemilik gedung, rumah ibadah atau tempat publik untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan tenaga keamanan, orang awam yang tidak berlatar belakang polisi atau tentara untuk bisa mengikuti pelatihan mendeteksi perilaku teroris agar saat insiden terjadi dapat bertindak secara tepat dan tahu apa yang harus dilakukan.

Rekaman Video Amatir Bom Surabaya

Modul pelatihan deteksi perilaku teroris ini meliputi: cara untuk lebih waspada, bagaimana melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda, cara mengenali anomali, apa saja yang termasuk kategori mencurigakan dan bagaimana cara merespons. Harapannya jika masyarakat dan tenaga pengamanan sudah dibekali pengetahuan deteksi perilaku teroris maka kejadian seperti di Sleman, Jogyakarta Minggu 11 Februari, serangan terhadap ulama, tokoh NU dan pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Bandung KH Umar Basri pada 27 Januari 2018, serangan pada ulama dan Pimpinan Pusat Persis H.R Prawoto pada 1 Februari 2018 serta penusukan di dalam masjid di dekat Mabes Polri, Jakarta Juli 2017 tidak perlu terjadi.

Namun pengetahuan deteksi perilaku terorisme bukan solusi mencegah terorisme dan radikalisme, yang dibutuhkan adalah membangun kesadaran untuk hidup damai bersama-sama. Narasi kebencian seharusnya tidak laku dijual di Indonesia karena semua warga negara Indonesia mengakui dan menghargai keberagaman. Pancasila sudah final menjadi dasar negara kita sehingga ide untuk mengubah Indonesia yang majemuk ini dan upaya menantang pemerintah dengan aksi teror tidak dapat ditolerir.

Penulis:

Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis