1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rumah Tangga Gay di Jerman, Tidak Seperti Kisah Dongeng

14 Juni 2021

Erwin Chandra, pramugara Indonesia yang tinggal di Jerman berbagi kisah menjalani pernikahan dengan pasangan homoseksualnya. Bagaimana lika-liku kehidupan mereka di Jerman? Bagaimana dengan pasangan LGBT di Indonesia?

https://p.dw.com/p/3ubJ3
Michael dan Erwin Hinz di Kota Köln
Erwin Chandra dan pasangannya ketika menikah.

"Tak terasa saya sudah menikah selama delapan tahun,” ujar Erwin Chandra, pramugara asal Indonesia yang suka melanglang buana dan bermukim di kota Koeln, Jerman. Ia berkenalan dengan Michael Hinz, pria Jerman yang kini jadi suaminya, di Bali tahun 2013. Tak butuh waktu lama, hanya tiga hari kenalan, ia pun dilamar, "Kisah cinta kami tak seperti dalam dongeng-dongeng. Biasa saja. Tapi rasanya senang campur heran, apalagi yang memperkenalkan kami adalah mantan pacar," ujarnya sambil tertawa mengingat masa-masa itu. "Tujuan hidup kami adalah untuk saling mengisi," tandasnya tegas.

Erwin dan pasangan segera mengurus legalitas pernikahan mereka."Kurang lebih persyaratannya sama dengan pasangan heteroseksual: sertifikat bahasa Jerman level A1, surat lajang, surat domisili, akte kelahiran, dan semua dokumen itu harus diterjemahkan dan diketahui oleh pemerintah, dilegalisasi atau distempel oleh pihak terkait yang dipercaya,” ungkap Erwin.

Menyesuaikan diri hidup di Jerman

Erwin dan pasangan kemudian memutuskan hidup di Jerman. Awalnya terus terang ada sedikit ketakutan dan ragu, ungkapnya jujur. "Aduh, nanti bagaimana ya. Terutama untuk dapat hidup di Jerman. Tapi di Jerman kan, saya bukan duta wisata atau duta budaya. Maka dari itu, saya cukup membawa diri saya sendiri di keluarganya yang Jerman dan masyarakatnya. Lalu budaya makan dan makanan, seperti itu. Kemudian, pekerjaan di rumah tangga juga, bagaimana saling berbagi tugas di rumah,” paparnya. Lebih lagi yang membuatnya sempat ‘dag, dig, dug', adalah bagaimana keluarga pasangan menerima hubungan cinta mereka.

Rahasianya itu adalah pengertian, ujar Erwin. "Mereka itu sangat mengerti dan memahami kami.Walaupun di dalam keluarga pasangan saya, dia itu tiga bersaudara, dua heteroseksual, dan dia anak bungsu yang gay. Namun, kita di keluarga itu tidak ada masalah. Senangnya, saya sangat akrab dengan ibu mertua. Jadi, ibu mertua itu menganggap saya bukan lagi menantu, melainkan lebih seperti anak keempatnya," ungkap Erwin sambil tersenyum.

"Sempat nangis karena tidak ada sambal di rumah mertua,” ujarnya mengenang masa-masa awalmenyesuaikan diri. Tapi kini ia mengakui mendominasi urusan makanan. ”Kini kebanyakan saya yang mendominasi, karena saya itu dulu kan belum biasa makan roti. Sekarang bisa makan roti namun kapasitasnya itu tidak setiap hari, dan saya harus selalu makan nasi,” tandasnya.

Di lingkungan masyarakat sendiri, Erwin dan pasangan pun merasa diterima. Hampir tidak pernah mereka mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan."Biasa-biasa saja, kok," kata Erwin.

Setelah disepakati parlemen dan ditandatangani presiden Jerman tahun 2017, undang-undang pernikahan sejenis dipublikasikan dalam buku perundang-undangan federal Jerman agar memiliki kekuatan tetap. Reformasi UU pernikahan Jerman memberikan hak pernikahan penuh kepada pasangan sejenis, termasuk hak mengadopsi anak.

MIchael dan Erwin tinggal di Köln
Erwin dan Michael Hinz dengan buku nikahnya

Hidup mandiri meski bersuami

DI Jerman, Erwin tidak mau berpangku tangan mengandalkan penghasilan suami. Untuk itu, tahun 2017 setelah merasa mulai beradaptasi dengan baik di masyarakat,  ia memutuskan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan penerbangan terkemuka. "Lho kok saya keterima, ya!"  Erwin tertawa lepas karena ia sendiri pun heran bisa keterima dengan mudah untuk menjadi pramugara di maskapai terkenal di Jerman.

"Rasanya sangat senang. Karena travelling terus. Selalu berkenalan dengan orang-orang baru. Lalu, dapat beradaptasi dengan kultur baru. Jadi misalnya, saya terbang ke Spanyol, dapat mengenal orang Spanyol. Jika ke Italia, dapat mengenal orang Italia. Jika ke London, dapat mengenal orang Inggris. Jadi seru sekali," paparnya.

Yang jelas karena sudah menikah, Erwin dan Michael berusaha membagi waktu agar masih punya waktu pribadi bersama. "Sebelum saya menerima pekerjaan ini, saya juga bertanya ke suamiku, "Jadi, boleh tidak saya kerja?”, "Ya tentu boleh,” kata suami. Yang tidak fleksibel itu justru sayanya. Karena saya tidak ada hari yang pasti, misalkan akhir minggu saya ada waktu, ini tidak ada. Selalu bergeser hari libur saya. Jadi, dia lebih menyesuaikan saya, begitu. Terkadang, jika kita memang sangat membutuhkan quality time, ya salah satu harus mengalah. Jadi, dia yang mengikuti hari libur saya atau dia mengikuti hari libur saya, begitu. Eh, saya yang mengikuti hari libur dia maksudnya,” ujar Erwin sambil tertawa.

Zin, pengacara
Zin W, mengubur mimpi untuk menikah dengan pasangannya sesama jenis.

Bagaimana di Indonesia?

Di keluarganya yang bermukim di Indonesia,  Erwin mengaku sudah terbuka dengan ibu dan kakak-kakaknya tentang orientasi seksualnya. "Namun dengan keluarga besar yang sebesar-besarnya itu, sudahlah biarkan mereka menilai sendiri. Karena yang terpenting keluarga inti saya dulu, mereka pun sudah menerima dan baik-baik saja. Terkadang bahkan ibu saya bertanya: Di mana suamimu?" celotehnya. Ia mensyukuri kebahagiaannya dengan menggalang bantuan dari Jerman untuk korban bencana di tanah air.

Tidak semua pasangan gay dapat diterima keluarga di Indonesia. Ridho A, seorang karyawan perusahaan swasta di Jakarta mengungkapkan, tidak pernah berpikir untuk menikah dengan pasangannya. "Kalaupun ingin menikah di luar negeri, tapi uang dari mana? Akhirnya kami jalani saja apa adanya," demikian dia masih berjumpa dengan pasangannya sesekali, tanpa membicarakan pernikahan. "Yang penting kami saling sayang, menjaga hubungan kami dengan baik," tutur  tentang hubungannya dengan sesama pria yang sudah berjalan selama lima tahun. Ia dan pasangan bahkan takut jika orang lain tahu bahwa mereka gay. "Kami takut dipersekusi," ujarnya.

Pengamat sosial, Hamid Patilima tidak setuju jika pernikahan sesama jenis dilegalkan di Indonesia, "Itu menghambat keberlanjutan kehidupan manusia yang secara alami berproses dengan adanya perempuan dan laki-laki dewasa yang sehat dan bertanggung jawab," paparnya. Namun di lain pihak Ridho mengatakan, meski keberadaan gay sudah lama ada di masyarakat, jika dilihat dari statistik, pertumbuhan manusia dalam beberapa dekade terakhir, tetap terus meningkat.

Sementara itu, Zin W yang juga tinggal di Jakarta bercerita, sebagaimana Ridho, dulu pun ia punya mimpi yang sama, yaitu menikah dengan pasangannya yang juga pria. Namun mimpi itu ia kubur karena merasa hidup dalam dunia khayal. Hingga ia merasa ragu dan melupakan mimpi itu. Zin adalah seorang pengacara yang sudah sudah satu dasawarsa menangani kasus perceraian di kalangan heteroseksual. Ia tak mau nama lengkapnya ditulis karena was-was atas penilaian orang atas orientasi seksualnya.

"Pernikahan itu ada karena ada kaitan dengan hukum yang lahir karenanya. Sehingga putusan pengadilan dibutuhkan untuk menyelesaikan jika terjadi permasalahan di kedua belah pihak. Contohnya masalah anak, harta gono-gini, nafkah, asuransi, dan lain lain. Sehingga makin lama saya pun merasa pernikahan itu sebagai sesuatu hal yang rumit,” katanya lebih lanjut.

Jika pernikahan sesama jenis dilarang, bagaimana mengurus masalah terkait hukum? Zin menceritakan, dalam pernikahan, ada kalanya mungkin salah satu pihak dirugikan. "Contoh teman saya punya bisnis bersama dengan pasangannya yang gay. Ketika pasangan meningggal dunia, usaha mereka berdua diambil oleh keluarga pasangannya dan kawan saya tidak mendapat apa pun, meski uangnya banyak terpakai untuk usaha itu," ujar Zin. "Juga pernah ada kasus pasangan lesbian di mana salah satu pasangan wafat, rumahnya diambil keluarga yang wafat. Padahal pasangan mengurus almarhumah saat sakit. Kini diusir. Rumah itu dulunya dibangun bersama dan juga biaya renovasi dulu bersama, nah, jika tidak berada dalam ikatan pernikahan, bagaimana mengurus hal semacam itu?", tanya Zin.

Zin selama ini merasa hidup dalam kontradiksi. Di satu sisi ia membantu banyak pasangan homoseksual yang mengalami kekerasan di masyarakat, namun di sisi lain ia masih menutupi diri sebagai homoseksual, apalagi untuk menikah."Padahal menikah itu soal perasaan, dan perasaan tidak bisa diatur oleh siapa pun," pungkasnya. (ap/vlz)