1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Persempit Jurang Kecurigaan Jakarta dan Papua dengan Dialog

22 Agustus 2019

Pendekatan parsial yang selama ini dilakukan Jakarta dalam menangani masalah Papua dinilai tidak akan bisa menyelesaikan beragam persoalan yang membelit bumi cenderawasih.

https://p.dw.com/p/3OImm
Indonesien Proteste für Autonomie in Papua
Foto: picture-alliance/AP Photo/Burhan

Jurang kecurigaan antara pemerintah pusat di Jakarta dengan Papua dinilai masih terlalu lebar. Rasa saling tidak percaya ini pada akhirnya menimbulkan stigma negatif yang melekat pada benak masing-masih pihak. Dialog dan pendekatan kebudayaan pun perlu dimulai dan terus dilakukan agar rakyat Papua dapat merasa didengar dan tidak merasa diperlakukan sebagai objek.

Rosita Dewi dari Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan apa yang terjadi saat ini di Papua tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konflik berkepanjangan di sana yang hingga saat ini masih belum terselesaikan.

Menurutnya, pendekatan kebijakan yang dilakukan pemerintah masih bersifat parsial, sehingga tidak bisa menuntaskan persoalan mendasar di Papua. Kondisi ini mengakibatkan insiden-insiden seperti di Malang kembali terjadi.

"Distrust (Jakarta) dengan Papua cukup tinggi, orang Papua juga distrutst-nya tinggi dengan pemerintah (pusat)," ujar Rosita Dewi kepada Deutsche Welle Indonesia melalui telepon, Rabu (21/08).

Sebelumnya LIPI telah memetakan empat sumber konflik di Papua yaitu persoalan sejarah dan status politik, kegagalan pembangunan, marjinalisasi, dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan secara baik.

Seluruh persoalan itu, menurut Rosita, harus diselesaikan secara simultan dan tidak hanya per sektor yang pada akhirnya hanya menimbulkan ketidakpercayaan baik di pihak pemerintah pusat maupun rakyat Papua.

"Dialog merupakan salah satu upaya untuk mencari solusi bersama antara Jakarta-Papua. Ini harus dilakukan agar orang Papua juga merasa dihargai. Memang tidak bisa langsung menyelesaikan masalah, tapi bisa menjadi jalan (mencari penyelesaian)." 

"Peringatan-peringatan hari seperti 1 Juli, 1 Desember, 15 Desember, maupun 14 Desember yang dianggap bersejarah oleh kelompok pro-Papua merdeka merupakan upaya untuk menunjukkan ketidakpuasan dan kekecewaan atas kebijakan pemerintah di Papua selama ini," sambungnya.

Rosita mengatakan hal yg dilakukan oleh para mahasiswa itu bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk memperoleh perhatian pemerintah agar menangani persoalan di Papua secara komprehensif.

"Tidak hanya melalui pengerahan TNI untuk penyelesaiannya, yang malah terkadang menimbulkan persoalan karena trauma masyarakat akibat pelanggaran HAM masa lalu," ujarnya sambil menambahkan ia juga tidak membenarkan tindakan anarki semua pihak serta perlakuan yang rasis dan mempersekusi.

Menyusul protes akibat perlakukan aparat yang berujung kericuhan di beberapa kota di Papua pada 19-21 Agustus, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika memutuskan untuk memblokir sementara layanan Data Telekomunikasi, mulai Rabu (21/08) hingga suasana kembali kondusif dan normal.

Warisan pemikiran rasis dan stereotip

Lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang perdamaian dan demokrasi, Setara Institute, dalam pernyataannya mengatakan para pejabat Indonesia masih memelihara sikap rasisme dan stereotip pemberontak yang sangat bersifat destruktif.

Indonesien Proteste für Autonomie in Papua
Sejumlah bangunan terbakar dalam kericuhan di Fakfak, Papua Barat, Rabu (21/08)Foto: picture-alliance/AP/Beawiharta

"Rasisme dan stereotip pemberontak yang mengendap di kepala para pejabat Indonesia sangatlah destruktif, sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pemulihan seharusnya berbasis pada keamanan manusia, baik dari segi perspektif, pendekatan maupun praksis penyikapan." tulis Setara Institute dalam siaran pers yang diterima Deutsche Welle.

Kepada Deutsche Welle, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan endapan rasisme dan stereotip ini dapat dilihat dalam beberapa hal seperti misalnya dalam penegakan hukum terkait kasus-kasus yang melibatkan orang Papua di beberapa daerah di Jawa.

"Sekalipun orang Papua tidak bersalah, tetap mereka yang dipersalahkan," ujar Ismail. Selain itu, dalam penanganan konflik, orang Papua tidak pernah dijadikan subjek tetapi objek desain Papua. Tambahan pula sikap permisif pada pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Ismail mengakui secara normatif semua pihak memang menghargai adanya harga diri orang Papua. Namun sayangnya pengakuan ini tidak tampak dalam kebijakan praksis yang diterapkan.

"Endapan rasisme bisa diatasi dengan dua jalur, yaitu kultural dengan memperbanyak perjumpaan lintas etnis dan kerja-kerja kebudayaan. Secara struktural pemerintah mengintegrasikan inclusive governance dalam berbagai kebijakan tentang Papua. Termasuk secara paralel membangun dialog-dialog penyelesaian yang menjadikan orang Papua sebagai subjek," ujarnya sambil menyayangkan belum dilakukannya semua ini.

"Pascaperistiwa Surabaya, inisiatif perjumpaan budaya sudah mulai dilakukan," ujarnya. Rencana kedatangan Presiden Joko Widodo ke Papua pun dianggap perlu untuk menunjukkan hadirnya negara dalam situasi konflik. Namun ia menegaskan harus ada kebijakan khusus untuk Papua agar kedatangan Jokowi tidak hanya menjadi seremoni belaka.

"Rencana Menkopulhukam, Wiranto, untuk menambah pasukan TNI/Polri adalah gambaran kekeliruan dalam memahami Papua, yang justru berpotensi membuat kondisi semakin tidak kondusif," tulis Setara Institute.

Lembaga ini juga menyayangkan pendekatan yang lebih memilih untuk melindungi objek vital negara dibandingkan melindungi hak asasi warga Papua.

Setara Institute pun mendorong Presiden Jokowi untuk meretas politik rekognisi kemanusiaan dan politik bagi warga Papua sebagai basis penanganan Papua secara holistik. Langkah ini bisa dimulai dengan membentuk dan mengutus Utusan Khusus Presiden ke Papua untuk membangun komunikasi dan sikap saling percaya.

ae/ts