1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertama Kalinya, di Turki Diperingati Pengusiran Warga Armenia

26 April 2010

Sabtu 24 April, di Istanbul, Turki, tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia dan seniman berkumpul untuk pertama kalinya secara terbuka, memperingati korban-korban pembantaian pada jaman kesultanan Osmania 95 tahun lalu.

https://p.dw.com/p/N72T
Gambar simbol, konflik Turki ArmeniaFoto: DW

Di jantung kota Istanbul-Turki, 250 orang duduk di pelataran lapangan Taksim dengan membawa bunga berwarna merah dan masing-masing menyalakan lilin di hadapan mereka. Mereka mengheningkan cipta diiringi musik sedih yang terdengar mengalun dari pengeras suara. Seorang pria memegang kertas berukuran folio dengan tulisan "Özür dilerim“, yang artinya "Saya minta maaf“.

Kemudian terdengar seorang perempuan berbicara lewat mikrofon: “Inilah rasa sakit kita. Inilah duka kita. Di tahun 1915 di negara ini dari 13 juta orang warga terdapat sekitar 1,5 sampai 2 juta orang Armenia. Kita telah kehilangan mereka. Pada tanggal 24 April di tempat ini telah dimulai pengusiran orang-orang Armenia. Kebanyakan dari mereka tidak dapat bertahan hidup, bahkan makamnya pun tak ada.“

Kemudian disebutkan semua nama wilayah-wilayah, dari mana warga etnis Armenia telah terusir.

Dari seluruh wilayah bekas kesultanan Osmania. Warga Armenia diusir dari rumah-rumah mereka dan digiring ke arah padang pasir Siria, tanpa makanan ataupun air minum. Ratusan ribu orang tewas di perjalanan. Sejarawan dari seluruh dunia menggambarkan pengusiran warga Armenia tersebut sebagai pemusnahan etnis.

Republik Turki, yang merupakan kelanjutan dari Kesultanan Osmania, menampik keras tudingan pemusnahan etnis tersebut dan menyatakan bahwa tidak pernah ada pemusnahan etnis; Yang ada, warga Armenia telah berkolaborasi dengan Rusia, yang merupakan musuh negara pada perang dunia pertama. Dalam perang saudara tersebut, tidak hanya warga Armenia saja, tetapi juga banyak warga Turki yang tewas.

Siapapun yang berpendapat lain dengan pernyataan resmi negara tersebut, sampai hari ini pun harus mengambil risiko ditangkap dan dibawa ke pengadilan.

Sabtu (24/04), ratusan polisi juga berbaris sepanjang lapangan Taksim, tetapi tidak untuk membubarkan peringatan korban pembantaian warga Armenia, melainkan untuk melindungi mereka dari sejumlah demostran yang tidak setuju dengan acara peringatan tersebut.

Beberapa tahun yang lalu, keadaannya masih terbalik, kata seorang tokoh hak asasi manusia yang juga seorang pengacara dari Istanbul, Eren Keskin. “Sepertinya ada beberapa hal dalam masyarakat sini yang telah berubah. Tidak banyak, tapi lumayan. Warga hanya dapat berubah pandangan dengan lambat, karena Turki masih merupakan sebuah negara yang sangat totaliter.“

Ia berharap bahwa kelak tidak hanya beberapa warga yang peduli saja yang mau mengupas tuntas bagian kelam dari sejarah Turki tersebut, tetapi juga sejarawan Turki dan pemerintah Turki. Eren keskin menambahkan, “Saya harap, bahwa kita secepatnya dapat menyaksikan hal tersebut, karena sebenarnya tidak ada keraguan bahwa dahulu telah terjadi pemusnahan etnis. Pemerintah harus melihat hal itu dan harus meminta maaf“

Pemerintah Turki masih jauh dari harapan tersebut. Berulang kali tuduhan pemusnahan etnis ditolak mentah-mentah dan telah dikeluarkan ancaman sangsi-sangsi kepada setiap negara pendukung warga Armenia. Hubungan antara Turki dengan negara kecil tetangganya, Armenia, masih beku dan perbatasan antar kedua negara masih ditutup.

Tetapi upacara peringatan yang berlangsung Sabtu malam (24/04) di Istanbul telah menunjukkan: Di Turki sedang terjadi perubahan. Kesempatan bagi dua bangsa tersebut untuk berdamai pun masih ada.

Thomas Bormann/Munge Setiana-Heitland

Editor: Hendra Pasuhuk