1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertaruhan Terakhir PM Inggris Theresa May

14 Januari 2019

Hari Selasa (15/1) parlemen Inggris akan melakukan pemungutan suara soal kesepakatan Brexit yang dicapai Theresa May dan Uni Eropa. Apa konsekuensinya jika parlemen menolak kesepakatan itu?

https://p.dw.com/p/3BW9R
Großbritannien Theresa May, Premierministerin | im House of Commons
Foto: picture-alliance/empics/House of Commons

Perdana Menteri Inggris Theresa May perlu 318 suara dari 650 anggota parlemen untuk memenangkan proposalnya. Tapi, dukungan untuk meloloskan proposal tersebut kelihatannya hampir tidak ada. Pemerintahan Theresa May tidak punya mayoritas. Selain itu, diantara anggota partainya sendiri, Partai Konservatif Inggris, ada yang menentang kesepakatan yang dicapai dengan Uni Eropaitu.

Yang jadi sengketa utama adalah aturan soal status dan perbatasan antara Irlandia Utara yang termasuk Inggris dan Republik Irlandia yang merupakan anggota Uni Eropa. Aturan yang disebut "backstop" ini juga ditolak partai Irlandia Utara, DUP. Padahal, DUP adalah mitra koalisi Theresa May, yang selama ini menopang pemerintahannya.

Jadi, Theresa May memang sedang menghadapi situasi sangat sulit. Perdebatan mengenai kesepakatan itu sudah berlangsung sejak bulan Desember. Namun sampai saat ini, mayoritas anggota parlemen tetap menentang kesepakatan dengan Uni Eropa.

Leavers and Remainers face off

Agenda ketat

Voting akan dilakukan pada sesi sore hari. Sebagaimana lumrahnya, ketua sidang akan meminta mereka yang setuju untuk berteriak "Aye" dan mereka yang menentang berteriak "No." Jika ketua sidang tidak bisa menilai, pihak mana yang lebih kuat, maka ia akan minta para anggota parlemen memisahkan diri secara teratur menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang setuju dan kelompok yang menolak.

Saat memisahkan diri, panitera akan mencatat nama-nama mereka dan kemudian jumlah yang setuju dan yang tidak setuju dihitung oleh empat orang yang bertugas untuk itu. Hasilnya akan dibacakan dan prosesnya memakan waktu sekitar 15 menit.

Menurut aturan, jika proposal ditolak, maka pemerintah punya waktu 21 hari untuk memutuskan langkah selanjutnya. Namun dalam soal Brexit, parlemen sebelumnya telah memutuskan agenda yang jauh lebih ketat: Theresa May hanya diberi waktu 3 hari untuk mengajukan alternatif.

Bulan Desember lalu, Theresa May memang berhasil memenangkan mosi percaya di partainya sendiri. Tapi dari 317 anggota parlemen dari Partai Konservatif pimpinan Theresa May, ada 117 anggota parlemen yang menentangnya.

Apa agenda oposisi?

Jika proposal Theresa May ditolak mayoritas anggota parlemen, sulit baginya untuk bertahan sebagai pemimpin pemerintahan. Kemungkinan besar Theresa May harus mengumumkan pengunduran dirinya. Lalu apa yang akan terjadi setelah itu?

Jeremy Corbyn, pemimpin Partai Buruh yang saat ini beroposisi, mengatakan partainya akan menyerukan pemilihan umum baru jika pemerintah kalah dan Theresa May meletakkan jabatan. Dia berjanji, kalau nanti memenangkan pemilu baru,  akan  menegosiasikan kembali ketentuan-ketentuan perjanjian Brexit dengan Uni Eropa.

Namun belum tentu Partai Buruh mampu memenangkan pemilu. Selain itu, masih ada usulan dari kalangan Partai Buruh agar melaksanakan referendum kedua, dengan alasan bahwa makin banyak pemilih yang sadar bahwa Brexit tidak baik dan Inggris sebaiknya tidak meninggalkan Uni Eropa..

Beberapa pengamat politik menggambarkan kekisruhan Brexit di Inggris sebenarnya bukan "perpecahan" antara Inggris dan Uni Eropa, tmelainkan krisis perebutan kekuasaan internal di parlemen Inggris.

Jika sampai 29 Maret 2019 tidak ada kesepakatan antara pemerintah Inggris dan Uni Eropa yang disetujui parlemen, maka Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tanpa perjanjian Brexit, proses yang sering disebut "No Deal Brexit". Aturan-aturan Uni Eropa yang selama ini berlaku di Inggris mulai saat itu tidak berlaku lagi. Banyak pihak, terutama kalangan ekonomi, khawatir akan terjadi kekacauan dalam perdagangan dan lalu lintas perbatasan.

hp/as (afp, rtr, ap)