1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertempuran Hebat Pecah di Yaman

26 Mei 2011

Presiden Ali Abdullah Saleh mengaku tidak akan berkompromi dengan pemberontak. Amerika Serikat dilaporkan telah menarik para diplomat dan keluarganya dari negara itu

https://p.dw.com/p/11OVK
SANAA, May 25, 2011 (Xinhua) -- Smoke rises during the shootout between government forces and armed tribesmen in Sanaa,
Kepulan asap tampak di kota Sanaa saat bentrok senjata pecah, Rabu (25/05)Foto: picture alliance / landov

Pertempuran hebat terjadi antara tentara Yaman yang pro presiden Ali Abdullah Saleh, dengan kelompok suku terbesar yakni Hasid, yang dipimpin Syeikh Sadek al Amar. Para pembangkang dilaporkan berhasil merebut kantor berita Saba serta beberapa gedung pemerintah lainnya.

Presiden Saleh, telah memerintahkan penangkapan atas Sheik Sadeq al Amar berikut 9 saudara laki-lakinya yang memberontak kepada pemerintah. Suku Hadita yang dipimpin oleh al Amar, yang juga meminta presiden turun dari jabatannya.

Presiden Saleh, menuding kepala suku, al Ahmar telah melakukan provokasi, "Provokasi yang dilakukan anak-anak al Ahmar ini untuk membawa kami ke dalam perang saudara. Mereka telah memilih jalan yang salah jika melawan negara dengan cara kekerasan."

Melalui stasiun televisi Al Jazeera, Sheik al Ahmar menyerukan kepada semua pihak untuk bergabung dalam gerakan melawan Presiden Saleh. "Saya menyerukan kepada tentara, Garda Republik dan semua pasukan keamanan untuk bergabung dengan kami, melawan preman bayaran Presiden Saleh, yang bersedia untuk membunuh saudara mereka sendiri."

Para pengamat menyebut, Presiden Saleh telah dengan sengaja memicu pertempuran di Sanaa dengan kelompok suku paling kuat di negara itu, sebagai upaya terakhir mempertahankan kekuasaan. Dengan cara itu, gerakan demonstrasi populer yang menginginkan dia mundur dari jabatannya akan melemah.

Bentrok antara militer yang pro presiden dengan suku Hadita yang setia pada Syeikh Sadiq al-Ahmar, terjadi setelah Ali Abdullah Saleh menolak menandatangani proposal transisi kekuasaan yang ditawarkan Dewan Kerjasama Negara-negara Teluk. Dalam proposal itu, Presiden Saleh diminta mundur dalam waktu 30 hari, lalu membentuk pemerintahan persatuan dengan kelompok oposisi serta menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu dua bulan. Sebagai imbalannya, Ali Abdullah Saleh akan mendapat kekebalan hukum.

Para pakar menilai, Presiden Saleh sengaja menciptakan jalan buntu untuk menciptakan kekacauan. Ali Abdullah Saleh, yang telah berkuasa selama 33 tahun, sejak Januari menghadapi protes masyarakat yang meminta dia mundur. Dengan timbulnya kekerasan ini, Presiden Saleh ingin menyingkirkan gerakan demonstrasi damai. Pertempuran antara kelompok suku dengan tentara pemerintah, kini menggantikan demonstrasi damai dan lebih banyak menyedot perhatian media.

Sementara jumlah anak-anak muda yang berkemah di Taman Perubahan Sanaa, yang selama ini menjadi pusat gerakan pro demokrasi, kini semakin berkurang. "Damai, damai," demikian seruan ribuan orang yang ada di Sanaa.Mereka tidak setuju dengan perang saudara.

Presiden Saleh dianggap ingin memancing sebuah perang sipil dan memperluas pertempuran dengan kelompok militer pembangkang. Hingga kini, kekuatan militer Ali Mohsen al-Ahmar, seorang jenderal yang membelot mendukung oposisi, masih belum berhubungan dengan kelompok suku pemberontak yang dipimpin Sheik al-Ahmar. Tentara yang loyal pada Jenderal Ali Mohsen hingga kini belum memasuki pertempuran, meski mereka menguasai sebagian ibukota Sanaa.

Meski kelompok suku Sheik al-Ahmar memiliki persenjataan berat dan pengalaman di dataran tinggi, namun Presiden Saleh masih menguasai sebagian besar militer dengan pesawat tempur dan tank. Demikian pendapat analis. Tetapi pada saat yang sama, tentara yang sebagian besar berasal dari suku-suku yang ada di Yaman bisa memilih solidaritas kepada suku dan bergabung dengan Syeikh al-Ahmar. Selain protes anti-rezim, permusuhan suku, kemiskinan dan gerakan separatis selatan, Yaman juga berjuang melawan pemberontakan utara dan kebangkitan Al Qaida.

Andy Budiman/dpa/rtr/afp

Editor: Hendra Pasuhuk