1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertemuan NATO Mengenai Afghanistan

30 September 2006

NATO belum mau melupakan Afganistan. Namun mereka membutuhkan banyak usaha sebelum keinginan mereka dapat diwujudkan.

https://p.dw.com/p/CJaS
Pasukan Jerman yang bergabung dalam ISAF
Pasukan Jerman yang bergabung dalam ISAFFoto: AP

Lima tahun setelah turunnya rezim Taliban dan semakin meningkatnya kekerasan di negara itu, sangatlah sulit untuk mengumpulkan pasukan yang diperlukan untuk mengamankan pembangunan dan mengatasi bentrokan dengan kelompok pemberontak.

Kemauan politis para negara anggota sepertinya menghilang. Sekjen NATO Jaap de Hoop Scheffer dan pemegang komando di Eropa, Jenderal James Jones asal Amerika Serikat, kembali harus memohon para negara anggota untuk menyumbangkan pasukan, perlengkapan dan khususnya helikopter dan pesawat untuk misi di Afganistan.

Inggris, Kanada, dan Belanda memegang beban terberat di wilayah selatan. Mereka menuntut solidaritas negara lain seperti Jerman, yang ditempatkan di wilayah utara yang cenderung lebih tenang. Namun Menteri Pertahanan Jerman Franz Josef Jung tidak mau menempatkan militer Jerman di sarang Taliban. Ia tidak ingin menambah masalah yang sudah ada di Jerman akibat banyak tentara yang menjadi korban. Tetapi berapa lamakah ia dapat bertahan dalam posisi di bawah tekanan?

Jalan keluar dari krisis militer ini dicoba NATO dengan menyatukan operasi NATO dan Amerika Serikat di Afganistan. Pasukan ISAF yang dipimpin NATO dianggap sebagai pasukan helm biru. Sementara pasukan Amerika Serikat bertugas untuk mengatasi pertempuran di wilayah timur. Dari segi pandang militer ini hal yang baik, karena dengan 32 ribu tentara, para komandan bisa menurunkan pasukan mereka secara fleksibel.

Namun masalah utama tetap ada. Pada dasarnya NATO dan Amerika Serikat kekurangan dukungan masyarakat di Afganistan untuk memenangkan pertempuran melawan Taliban dan teroris. NATO hanya harus berharap bahwa masyarakat sipil dan perekonomian Afganistan berkembang di bawah lindungan NATO. Tetapi perkembangan tersebut berjalan dengan lambat di tahun-tahun terakhir.

Banyak negara yang mengatakan akan membantu, akhirnya tidak memberikan kontribusi apa pun. Mereka tidak ingin membayar atau mengkoordinir bantuan pembangunan di Uni Eropa atau PBB. Ini adalah negara yang sama dengan yang mengirimkan pasukan mereka ke Afganistan melalui NATO. Menurut Sekjen NATO Jaap de Hoop Scheffer, situasi ini tidak masuk akal dan harus segera diubah.

Amerika Serikat kini akan membangun wilayah selatan dengan lebih cepat. Namun, memang membuat frustasi, jika melihat bagaimana Taliban membakar gedung masyarakat yang baru saja didirikan tentara Amerika Serikat. Tidak lah mungkin untuk mengawasi setiap sekolah di Afganistan. Masyarakat Afganistan harus lebih mendukung proses pembangunan kembali.

Analisa NATO terhadap tema ini memberikan alasan untuk khawatir. Masyarakat di Afganistan sepertinya hampir kehilangan harapan akan bentuk demokrasi seperti yang diinginkan negara-negara Barat. Mereka harus mengikuti siapa yang memberikan mereka jalan keluar yang lebih baik. Suku-suku lokal dan fundamentalis Islam tampak lebih sesuai daripada tentara asing dan pemerintah pusat yang jauh berada di Kabul.

Misi NATO di Afganistan semakin kehilangan waktu. Kemajuan harus segera datang, kalau tidak penugasan di Afganistan dapat menjadi mimpi buruk. Dimana pasukan internasional keluar dari Afganistan dan negara itu kembali jatuh ke tangan Taliban.

Masalah lain yang dihadapi NATO adalah perseteruan antara Afganistan dan Pakistan yang semakin meruncing. Bahwa kedua presiden negara tersebut saling menyalahkan bangkitnya kekuatan Taliban di wilayah timur, bukanlah pertanda yang baik. Amerika Serikat dengan susah payah mengatasi secara politis perseteruan tersebut.

Namun, menurut NATO, di Afganistan sendiri perseteruan tersebut tidak terlihat dampaknya. Tidak ada yang mengontrol wilayah perbatasan Afganistan dan Pakistan. Baik pihak pemerintah mau pun tentara Amerika Serikat. Taliban, suku yang terkait dan kelompok milisi lainlah yang berkuasa. Hasil yang menyedihkan setelah perang lima tahun melawan teror.