1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertumpahan Darah di Libya Sudutkan Posisi Uni Eropa

6 Maret 2011

Gejolak dan pertumpahan darah yang berkecamuk di Libya semakin menyudutkan posisi Uni Eropa. Brussel menghadapi dilema antara intervensi militer atau membatasi perannya sebagai pemberi bantuan humaniter.

https://p.dw.com/p/10UNK
Kelompok pemberontak mengibarkan benderaFoto: AP

Pertempuran antara pemberontak dan serdadu pemerintah di Libya yang tak kunjung mereda semakin menebar rasa takut di kalangan penduduk sipil terhadap perang saudara berkepanjangan. Pasukan Muammar Gaddafi hari Minggu dilaporkan kembali menyerang kota Ben Djawad yang baru direbut oleh tentara pemberontak.

Sebaliknya di Ras Lanuf, pelabuhan minyak terbesar di Timur, kelompok oposisi berhasil menghalau serangan balik militer. Situasi serupa juga berkecamuk di wilayah barat Libya. Serdadu pemerintah dikabarkan menggunakan artileri berat dan kendaraan lapis baja untuk menyerang kota Sawiyah yang berjarak 50 Kilometer dari Tripoli.

Sementara itu pendukung Muammar Gaddafi berkumpul di Tripoli untuk merayakan kemenangan atas kelompok pemberontak. Pemerintah Libya mengumumkan akan menurunkan pajak bea masuk bagi barang kebutuhan pokok sebagai hadiah atas keberhasilan militer merebut kembali kota-kota yang dikuasai oleh oposisi. Namun menurut laporan saksi mata, kota-kota tersebut hingga kini masih berada di tangan pemberontak.

Seiring dengan semakin berkecamuknya perang saudara di Libya, tekanan terhadap dunia internasional juga meningkat. Paus Benediktus XVI hari Minggu menuntut negara-negara barat untuk segera memberikan bantuan bagi penduduk sipil Libya dan para pengungsi.

Militer Jerman, Bundeswehr, merupakan salah satu kekuatan asing pertama yang hadir di Libya. Jerman mengirimkan dua kapal Fregat dan sebuah kapal pengangkut ke pelabuhan Gabas di Tunisia. Dalam operasi yang dikoordinir oleh badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) itu militer Jerman ditugaskan untuk mengevakuasi 450 penduduk Tunisia ke Alexandria, Mesir. Namun belum jelas apakah akan ada operasi lanjutan di Libya.

"Kapasitas kami sebenarnya mencukupi. Cuma hanya politik saja yang bisa menetukan. kami cuma bisa menunggu," kata Komandan Bundeswehr, Alex Deertz

Belakangan kritik terhadap Uni Eropa semakin santer terdengar. Martin Schulz, salah seorang anggota parlemen Eropa dari fraksi Sosialdemokrat kepada mingguan Jerman, Der Spiegel, mencibir, bukan Brussel yang menghambat, melainkan kepentingan negara-negara anggota yang bersebrangan.

Sebagai contoh ia menyebut Perancis dan Inggris. Kedua negara hari Sabtu kemarin secara sepihak merundingan kemungkinan pemberlakuan zona larangan terbang di Eropa, tanpa melibatkan negara-negara lain.

Inggris juga belum lama ini mencolok akibat pemberitaan seputar diplomasi rahasia dengan kelompok pemberontak di Libya. Upaya sepihak itu berbuntut pada penangkapan satuan khusus SAS oleh tentara pemberontak di Benghazi.

"Kami telah berhubungan dengan oposisi di Libya. Saya berbicara dengan sejumlah pemimpin oposisi beberapa hari terakhir. Kami juga telah menghubungi menteri luar negeri dari rejim gaddafi untuk menyampaikan pesan kita tentang bagaimana kita mengkhawatirkan situasi di Libya dan juga penyelidikan yang dimulai oleh mahkamah kejahatan internasional," tutur Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague.

Yang jelas Uni Eropa saat ini memprioritaskan bantuan kemanusiaan, ketimbang tindakan intervensi untuk mengakhiri pertumpahan darah di Libya. Sebagai persiapan menjelang pertemuan khusus soal Libya Jumat depan, Uni Eropa mengirimkan tim penjajak ke tripoli.

Tim yang dipimpin oleh pakar krisis Italia, Agostino Miozzo itu akan menganalisa apakah Uni Eropa berkepentingan untuk menyokong pemberontakan penduduk Libya. Dalam pertemuan tersebut, ke-27 negara-negara Uni Eropa juga akan membahas paket bantuan keuangan untuk Afrika Utara.

Rizki Nugraha/rtr/afp/ap/dw
Editor: Andy Budiman