1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyintas Bom Bali 2002: Kami Lawan Kekerasan dengan Kasih

12 Oktober 2022

Lina dan Erniati, dua di antara ratusan korban bom Bali yang meledak pada 12 Oktober 2002. Dua dekade berlalu, simak apa yang telah mereka lalui dan harapan keduanya?

https://p.dw.com/p/4HzIK
Ni Luh Erniati kehilangan suaminya dalam serangan Bom Bali, 12 Oktober 2002
Ni Luh Erniati kehilangan suaminya dalam serangan Bom Bali, 12 Oktober 2002Foto: privat

Malam itu menjadi malam yang akan selalu diingat oleh Thiolina Marpaung. Perempuan kelahiran Medan yang kerap disapa Lina itu mengisahkan pengalamannya 20 tahun lalu. Pada Sabtu malam tanggal 12 Oktober 2002, Lina dan kedua rekan kerjanya mengendarai mobil melintasi Jalan Legian, Bali, usai menghadiri pertemuan dengan rekan bisnis.

Suasana jalan pada malam itu macet oleh kendaraan bermobil, suara musik terdengar riuh bertalu-talu. Lina dan rekannya tiba-tiba mendengar bunyi dentuman dan merasakan mobil mereka terdorong ke depan.

"Siapa yang dorong mobil kita, bang?" tanya Lina kepada dua rekannya. Belum sempat mendapat jawaban dari rekan yang duduk di bangku depan, terdengar bunyi dentuman kedua yang tak kalah memekakkan telinga. Mobil Lina hanya berjarak empat mobil dari Sari Club.

Pada malam itu, serangkaian bom meledak di tiga lokasi berbeda di Bali. Bom pertama meledak di Paddy's Pub di Jalan Legian, Kuta. Tidak lama kemudian, sebuah bom kembali meledak di Sari Club. Kedua bom tersebut menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya. Sedangkan bom ketiga meledak di dekat kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Bali. Tidak ada korban jiwa dalam ledakan ketiga.

"Dua kawanku pingsan di dashboard mobil. Semua gelap. Aku pingsan," tutur Lina kepada DW Indonesia. Lina sempat dibawa ke rumah sakit terdekat. Ia menderita luka parah di bagian wajah terutama kedua bola mata dan harus segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, untuk operasi.

Bom Bali, 12 Oktober 2002
Seorang pria menyusuri Jalan Legian yang dipenuhi kendaraan yang hancur di dekat lokasi bom yang meledak 12 Oktober 2002 di kawasan wisata di Kuta, Bali. Foto diambil pada 14 Oktober 2002.Foto: Oka Budhi/dpa/AFP/picture-alliance

Dia lantas dibawa menggunakan ambulans. Kemacetan, kerumunan banyak orang, kepulan asap, dan sirene ambulans masih memicu trauma mendalam bagi Lina hingga hari ini.

Suami saya mana?

Sementara itu, keesokan harinya pada 13 Oktober, dengan langkah tergesa Ni Luh Erniati menerobos kerumunan orang di sekitar lokasi kejadian. Pagi itu pikiran dia berkecamuk karena suaminya, I Gede Badrawan, tidak kunjung pulang ke rumah.

"Dalam hati saya selalu bilang suami saya masih hidup," kata Erniati kepada DW Indonesia. Namun, usai berjalan di sekitar Jalan Legian yang penuh serakan runtuhan dan puing bangunan, ibu dua anak ini harus menelan pil pahit.

Suami Ni Luh Erniati yang bekerja sebagai kepala pramusaji di Sari Club turut menjadi korban meninggal di peristiwa Bom Bali

"Aku buang beling itu di Pantai Kuta"

Bagi Lina dan Erniati, 20 tahun terakhir setelah peristiwa itu adalah waktu yang panjang untuk menyembuhkan diri, baik secara fisik dan psikis. Keduanya harus berkonsultasi dengan psikiater selepas aksi terorisme yang didalangi oleh Ali Ghufron, Amrozi, dan Imam Samudra.

Tiolina Marpaung, penyintas peristiwa Bom Bali tahun 2002
Tiolina Marpaung, penyintas peristiwa Bom Bali tahun 2002Foto: privat

"Psikiater meminta saya membuang benda-benda apa pun yang menyangkut kejadian 2002," tutur Lina.

Saat menjalani operasi di Australia, tim bedah di sana mengambil serpihan beling yang menghujam otot mata kanan Lina. Ia sempat meminta pecahan beling itu untuk dibawa ke Bali dengan harapan bisa berubah menjadi serpihan berlian, ujar Lina sambil tertawa. 

"Aku buang beling itu di Pantai Kuta," ucap Lina yang saat ini berusia 48 tahun. Permasalahan belum usai sampai di situ. Lina harus memeriksa kondisi kesehatan kedua matanya selama 20 tahun ini ke dokter yang menangani dia pertama kali hingga hari ini.

Sedangkan Erniati, perempuan kelahiran Singaraja, Bali, harus menelan obat penenang untuk meredakan gejala efek traumatis yang dia rasakan ketika itu. Bagi perempuan yang sekarang berusia 51 tahun itu, menyembuhkan diri sendiri adalah langkah awal yang penting dilakukan untuk bisa bangkit kembali.

"Kalau sedih bisa nangis tiap hari. Tidak bisa lakukan apa-apa," tutur Erniati kepada DW Indonesia. Namun Erniati sadar bahwa ia harus menghidupi dua putra mereka yang saat itu masih kecil, ia pun bekerja membuka usaha menjahit. 

Bantuan psikolog untuk anak korban

Erniati menceritakan kedua anaknya juga mengalami masa-masa yang berat setelah kepergian sang ayah. Anak sulung Erniati saat itu yang masih berusia sembilan tahun dan menjadi semakin pendiam.

Dia mengajak anak pertamanya berkonsultasi ke psikolog. Anak sulungnya sedih kehilangan ayah dan kesedihannya bertambah melihat ibunya tenggelam dalam kesedihan, menurut keterangan psikolog yang didengar Erniati.

"Kalau adiknya saat itu sering cari perhatian dari pamannya. Mau dimanja dan digendong pamannya," kata Erniati.

Namun, Lina dan Erniati mengatakan bahwa saat ini kondisi mereka jauh lebih baik secara fisik dan mental, walaupun tidak sepenuhnya sembuh.

Pesan perdamaian dari Bali

Erniati menuturkan kepada DW Indonesia dia sudah memaafkan seluruh pelaku aksi terorisme 20 tahun silam. Menurut Erniati, menyimpan amarah dan dendam malah akan membuat dirinya sakit hati. Lebih baik berdamai dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Ni Luh Erniati beserta kedua putranya
Ni Luh Erniati, penyintas Bom Bali 2002, beserta kedua putranya Foto: privat

Ia pernah beberapa kali dipertemukan dengan pelaku pengeboman tanpa menyebutkan nama pelaku. Pada kesempatan itu, dia menceritakan kepedihannya sebagai korban yang tidak ada sangkut pautnya dengan tujuan aksi pelaku. Ia juga menanyakan motivasi pelaku melakukan perbuatan yang menelan ratusan korban jiwa itu.

Walaupun sempat tertegun ketika pertama melihat sosok pelaku, Erniati akhirnya bisa berbicara dari hati ke hati dengannya. "Kekerasan mereka kita lawan dengan kasih," tegas Erniati. Dalam pertemuan itu, mereka lalu berbincang untuk saling mengenal.

"Reaksi pelaku di luar dugaan saya. Dia menangis dan meminta maaf," kata Erniati kepada DW Indonesia. Menurutnya, pelaku tersebut mengatakan tidak bisa menolak perintah pelaku utama kendati dia tidak sepakat dengan rencana aksi tersebut.

Saling menjaga sesama manusia

Sementara itu, Lina yang sehari-hari bekerja sebagai editor sekaligus pendiri sebuah perusahaan penerbitan juga telah memaafkan para pelaku pengeboman di Legian. Lina memaafkan karena tidak mengenal para pelaku secara pribadi.

"Marah kepada orang yang tidak saya kenal itu buang tenaga dan merusak psikologis," kata Lina kepada DW Indonesia. Walaupun memaafkan, bukan berarti Lina bisa menerima perbuatan para pelaku.

Lina dan Erniati mengungkapkan bahwa pada peringatan ke-20 tahun peristiwa Bom Bali, mereka ingin menyampaikan perdamaian tidak hanya bagi masyarakat di Bali, tapi juga ke seluruh dunia. Mereka tidak ingin peristiwa memilukan dua dekade silam terulang lagi. Mereka tidak ingin ada calon korban lagi dan berharap saling menjaga sesama manusia dan menjaga perdamaian.

"Saya harap peringatan nanti bisa memberi manfaat ke banyak orang dengan mengumandangkan doa yang membawa pesan perdamaian," ujar Lina. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).