1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sebuah Demam Yang Melanda Dunia

4 Juli 2018

Orang Indonesia siap begadang sampai jam berapapun demi sepakbola. Anda pun demikian? Bagaimana sebuah bola bisa mengubah berbagai hal? Apakah wajah sepakbola Indonesia juga terpengaruh? Opini Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/30aag
FIFA Fußball-WM 2018 in Russland | Belgien vs England - Michy Batshuayi
Foto: Imago/Belga/D. Waem

Bagi saya saat paling menyenangkan dari terjadinya Piala Dunia adalah heningnya situasi kisruh politik di negara ini. Jika kita kembali ke tahun 1998, Piala Dunia terjadi tak lebih dari sebulan setelah mahasiswa menduduki gedung parlemen dan Presiden saat itu Suharto lengser dari posisinya. Situasi sejak akhir 1997 memang sudah panas, krisis ekonomi yang menghantam membuat nyaris semua lapisan masyarakat turun ke jalan meminta pemerintah mengambil kewajibannya untuk bertanggung jawab.

Sepanjang Mei 98 situasi memuncak, penembakan mahasiswa di kampus Trisakti, kerusuhan seharian penuh yang sampai hari ini terus memberi luka yang menganga, para politisi yang mendadak mengambil arah kebalikan dari Suharto, mahasiswa yang akhirnya meluruk ke gedung Parlemen dan puncaknya adalah turunnya Suharto dari kursi kepemimpinannya setelah 32 tahun menjadi penguasa tertinggi yang tak tersentuh di Republik Indonesia.

Penulis: Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Sepakbola mengubah segalanya

Situasi tak juga mereda sampai awal Juni, namun datangnya bulan penuh sepakbola alias Piala Dunia yang tahun itu dilaksanakan di Perancis mengubah segalanya. Para politikus mendadak tak lagi membahas peta politik masa depan Indonesia, bahkan Amien Rais yang saat itu begitu vokal mendadak sibuk membahas sepakbola sembari mengelus negara jagoannya untuk jadi juara. Saya sebenarnya tak terlalu yakin bahwa Pak Amien memang paham sepakbola, yang saya yakin ia sedang "terjebak” dalam eforia sepakbola dunia yang juga melanda Indonesia.

Ketika tulisan ini saya buat, Piala Dunia sedang bergema dari Rusia, di negeri itu konon sekitar empat juta turis datang bersambangentah menyaksikan tim kesayangannya atau sekedar berhore-hore sepanjang acara yang sering disebut sebagai "a mother of all summer” itu. Seperti biasa demamnya pun sampai ke sini, keributan politik yang sampai menyentuh hal-hal rasis dan pribadi mendadak terhenti. Semua status media sosial yang biasanya sibuk mengurusi agama orang lain sampai etnis asal seseorang mendadak sirna, berganti dengan berbagai analisa tentang tim apa yang akan menang di pertandingan malam nanti.

Orang Indonesia siap begadang sampai jam berapapun demi sepakbola. Kabarnya penjualan segala pernik jika sudah ditempeli embel-embel Piala Dunia akan lebih laku. Stasiun televisi berlomba menyiarkan segala variasi acara yang berkenaan tentang sepakbola. Semua orang apapun pekerjaannya didapuk jadi komentator dadakan, semua media menayangkan Piala Dunia dan tak harus siaran pertandingannya. Imbasnya tentu saja sejak sekitar 12 tahun lalu, harga tayangan langsung Piala Dunia melonjak tak karuan.

Kabarnya sudah sejak Afrika Selatan jadi tuan rumah 8 tahun lalu, stasiun yang menyiarkan pertandingan selalu gagal meraih laba, mereka pun mengambil alih hak siar bukan lagi pada stasiun televisi lain atau panitia penyelenggara, karena hak siar sudah dimiliki oleh sebuah gerai alat elektronik sejak beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 2006 pun pemilik hak siar konon megap-megap tak karuan dan hanya sanggup meraih margin tipis. Empat tahun lalu lebih parah, harga beli yang sedikit lagi melewati angka setengah triliun ternyata sulit ditutup oleh pemilik hak siar. Kabarnya situasi diperparah akibat mundurnya beberapa calon sponsor akibat stasiun tersebut dianggap berpihak pada salah satu kandidat Presiden Indonesia yang dianggap kurang popular dimata konstituen.

Kini Piala Dunia datang lagi dengan harga yang semakin menggila, nyaris menyentuh 1 triliun! Sebuah angka yang fantastis, karena konon beberapa negara di Eropa tak sampai membeli hak siar turnamen ini dengan angka sebesar itu. Tontonan yang disini harus disaksikan sampai lewat tengah malam atau bahkan pagi hari. Pertandingan pertama tahun ini yang jatuh di malam takbiran sama sekali tak menghambat hasrat besar menyaksikan pertandingan itu lewat televisi, praktis justru membuat malam Idul Fithri jadi lebih semarak.

Lalu bagaimana imbasnya dengan sepakbola kita?

Jelas tak ada, ahli menonton sepakbola tak akan membuat sebuah bangsa jadi jago main bola. Orang Indonesia tetap tak banyak yang paham apa itu yang namanya permainan sepakbola modern, padahal semua pertandingan yang terjadi adalah demonstrasi dari cara bermain yang terus berevolusi dari waktu ke waktu.

Tontonan sepakbola sebermutu apapun praktis tak mampu membuat negeri ini jadi jago sepakbola, bahkan berkomentar pun masih sering ngawur. Imbas terpasti dari semua tayangan itu adalah sisi konsumsi yang terus meningkat, kafe-kafe yang terus rame jika menyiarkan big match, teriakan dukungan yang terus menggema untuk entah negaranya siapa. Karena bangsa kita ya memang begitu, budayanya selalu melompat dari melihat lalu meniru, proses pemahaman dan pengertian lewat berbagai referensi praktis dilupakan.

Penulis: Andibachtiar Yusuf(ap/vlz)

@andibachtiar

Filmmaker & Traveller