1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pilihan Politis untuk Perubahan Iklim

9 November 2017

Kesadaran terhadap lingkungan sesungguhnya adalah tindakan politis yang berdampak bagi semua pihak di masa depan. Kita bersama harus berkomitmen terhadap lingkungan. Opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2mUGx
Deutschland Dampf und Abgase  der Chemiefirma Oxea
Foto: Getty Images/L. Schulze

"Wajah kamu berminyak sekali, pasti sebentar lagi USA akan menginvasi wajah kamu”, ucap teman saya seraya bercanda. Obsesi Amerika Serikat dan banyak negara maju di dunia untuk menguasai minyak dan sumber daya energi sudah menjadi rahasia umum. Minyak, batu bara, gas dan uranium adalah sumber darya energi tak terbaharukan sudah barang tentu menjadi bahan rebutan guna melegitimasi kekuatan dan kekuasaan politik sebuah negara maju dan juga melanggengkan industri yang menggerakan globalisasi dan pasar bebas saat ini.

Di sisi yang lain, gerakan peduli lingkungan berbasis komunitas dengan slogan "Go Green” sedang menjamur di masyarakat dunia hari ini. Sebut saja Urban Farming, Earth Hour, kampanye "ayo bebersih dan pungut sampah” hingga daur ulang sampah di tingkat sekolah dasar sampai kecamatan. Hal yang luput dari perhatian adalah bahwa obsesi ekspansi energi negara maju dan gerakan peduli lingkungan sebenarnya adalah dua hal yang sangat erat dan berkaitan satu sama lain. Bahwa urgensi kepedulian atas perubahan Iklim yang terjadi ada hubungannya dengan problem dasar yaitu keamanan energi.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Ketika Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi yang menggenjot pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% pertahun dan gerakan "Go Green” yang digagas masyarakat di sisi lainnya adalah dua hal yang sebenarnya paradoksal dalam pikiran Anthoy Giddens. Pemikir sosiologis ini dalam bukunya Politik Perubahan Iklim memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang menjadi capaian negara-negara berkembang dengan basis meningkatkan kesejahteraan penduduk sesungguhnya bertentangan dengan tujuan mengatasi perubahan Iklim. Kebutuhan akan energi yang menjadi penyokong industri dalam pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan upaya mengurangi emisi dan melindungi lingkungan. Hal yang dibutuhkan adalah konversi energi dan alih teknologi besar-besaran dan sokongan pemerintah negara sebagai pemain politik yang berkepentingan.

Memikirkan Ulang Gerakan Hijau

Saya kenal seseorang yang berasal dari Sulawesi berbangga hati menggunakan kaos yang bertuliskan "Earth Hour”. Gerakan peduli lingkungan berdasarkan kesadaran diri untuk membatasi penggunakan listrik khususnya lampu ini telah menjamur di beberapa wilayah negara. Indonesia tidak terkecuali menjadi sasaran kampanye program ini, namun seperti kebanyak gerakan peduli lingkungan yang berbasis global, kampanye peduli lingkungan hari ini lebih banyak yang bersifat bandwagon effect atau sekedar ikut-ikutan. Bagaimana tidak, kemerataan elektrifikasi alias ketersediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara maju penggagas gerakan ini. Ketimpangan ketersedian listrik dan kemampuan untuk menyala terus menerus sangat menyedihkan. Berdasarkan data elektrifikasi yang dibuat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Maret 2017 jumlah elektrifikasi di daerah meingkat tetapi tidak menjamin keberlangsungan listrik alias kebiasaan byar-pret (mati listrik) yang sering dan mendadak di berbagai wilayah di Indonesia terkecuali Jakata tentunya.

Gerakan dan politik hijau sesungguhnya tidak benar-benar nyata, setidaknya begitu menurut Anthony Giddens. Pemikiran soal Politik Hijau berasal dari ciptaan Revolusi Industri dan pada awal kemunculannya tidak berhubungan dengan kampanye pencegahan perubahan Iklim dan Global Warming. Untuk itu, beberapa prinsip dasar dari gerakan hijau ini menurutnya tidak memberikan implikasi yang cukup untuk mencegah perubahan Iklim. Gerakan hijau memiliki empat pilar diantaranya kebijaksanaan ekologis, keadilan sosial,  demokrasi akar rumput, dan asas non-kekerasan. Empat pilar ini diperkenalkan oleh Partai Hijau Jerman, yang sekarang bernama Alliance ‘90/The Greens (Bündnis 90/Die Grünen) pada tahun 1979-1980. Hal yang selalu ditutup-tutupi dari Gerakan Hijau adalah salah satu masa kejayaan mereka justru saat berada di bawah fasisme, terutama di Jerman.

Ideologi "Ekologisme”  Gerakan Hijau sering sekali terjebak dalam Mistisme Alami atau gerakan romantisir di masa lalu yang merumuskan soal konservasi alam, pertanian organik dna vegetarianisme. Gerakan hijau semacam ini sering kali terbentur pada gerakan esensialis dan konservasisme. Kecenderungan untuk menolak kepercayaan lepas terhadap ilmu pengetahuan terutama teknologi. Teknologi harus ditolak kecuali bisa dibuktikan bahwa teknologi itu tidak menyebabkan kerusakan, baik kepada manusia atupun biosfer. Padangan Gerakan Politik Hijau ini sering dikaitkan dengan pandangan ekosentrisme Ekologi Dalam yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari kelangsungan alam dan tidak lagi sekedar mahluk sosial tapi juga nature-beings, makhluk alam.

Politik Perubahan Iklim

Di sisi lain, muncul gerakan peduli perubahan iklim yang menggunakan basis pemikiran yang lebih rasional yang sering kali disandingkan dengan pikiran ekosentrisme, yakni teknosentrisme. Teknosentrisme percaya bahwa teknologi memiliki  kemampuan untuk mengontrol dan melindungi lingkungan. Bahwasanya, benda-benda di alam hanya akan memiliki nilai melalui manusia. Teknosentrisme memberikan aliran pemikiran bahwa perlindungan terhadap lingkungan tidak harus bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi negara maju maupun berkembang. Karena perubahan iklim tidak sekedar kabut dan polusi di jalanan Jakarta, maka usaha para ilmuwan untuk mengukur dan menciptakan inovasi baru membantu untuk perbaikan kualitas hidup manusia dan lingkungan. 

Berbeda dengan politik Gerakan Hijau yang bersandar pada komunitas dan demokrasi akar rumput, Giddens membawanya ke pada pemikiran bahwa perubahan Iklim sebagai isu yang bisa melampaui negara-bangsa karena bencana yang terjadi akibat Perubahan Iklim bisa terjadi di mana saja dan kapan saja tanpa di duga, untuk itu dia mengambil isu soal perubahan Iklim adalah isu tentang resiko di masa depan. Pemikirannya berusaha mendamaikan antara ekonomi-ekonomi kompetitif  dan teknologi-teknologi yang ramah  terhadap perubahan iklim. Bahwa apabila gerakan politik hijau yang berbasis komunitas menjadi mainstream, maka ia akan dengan sendirinya kehilangan identitasnya. Dan negara punya andil dalam kebijakan perubahan iklim karena politik energi yang selalu berdampingan dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan.

Apabila Giddens menyandarkan manajemen resiko perubahan Iklim dan kepercayaan sepenuhnya kepada ilmuwan untuk mengukur kerusakan lingkungan juga mengatasinya. Aktor-aktor lain dalam struktur masyarakat memiliki peran untuk menanggulangi resiko tersebut. Di tingkat elit, negara berperan untuk mewujudkan energi baru dan kebijakan yang lebih ramah lingkungan redah karbon. Tentu saja dengan harapan agar minyak tidak lagi menjadi ketergantungan kekuataan dan politik setiap negara-negara. Di tingkat masyarakat, kampanye perubahan lingkungan tidak berdasarkan tren global namun lebih memperhatikan permasalahan sekitar. Bukan sekedar mengadaptasi Earth Hour untuk wilayah yang sering mati listrik tapi lebih melihat pengelolaan sampah atau pengolahan limbah industri di lingkungan setempat. Dan untuk individual bisa mengubah gaya hidup total yang lebih berorientasi pada masa depan.

Penulis: Nadya Karima Melati

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis