1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikSudan

PM Hamdok Undurkan Diri, Sudan Kembali ke Kekuasaan Militer

3 Januari 2022

PM Adallah Hamdok mengundurkan diri di tengah aksi protes massal yang mendekap Sudan sejak sebelum kudeta militer dua bulan silam. Keputusan tersebut menempatkan Khartoum di bawah kontrol Jendral Abdel Fattah al Burhan.

https://p.dw.com/p/454hL
PM Sudan, Abdalla Hamdok
PM Sudan, Abdalla HamdokFoto: Mahmoud Hjaj/Anadolu Agency/picture alliance

Surat pengunduran diri Perdana Menteri Abdalla Hamdok diterima pada Minggu (2/1). Dia sempat dijatuhkan dalam aksi kudeta militer pada 25 Oktober 2021, sebelum dibebaskan dan dipulihkan sebagai kepala pemerintahan hampir sebulan kemudian.

Dalam kesepakatannya dengan Jendral Abdel Fattah al Burhan, Hamdok sedianya ditugaskan menyiapkan penyelenggaraan pemilihan umum pada pertengahan 2023. Namun belakangan media-media lokal mengabarkan, sang perdana menteri absen dari kantornya sejak beberapa hari terakhir, yang memperkuat rumor pengunduran diri.

"Saya berusaha sebaik mungkin untuk menghentikan agar negara ini tidak tergelincir menuju bencana,” kata Hamdok dalam sebuah pidato kenegaraan yang disiarkan televisi nasional. Sudan "sedang melintasi batas yang mengancam eksistensinya,” imbuhnya. 

Jendral Abdel Fattah al Burhan
Jendral Abdel Fattah al BurhanFoto: /AP/dpa/picture alliance

Negeri di timur laut Afrika itu mengalami transformasi politik sejak kejatuhan bekas diktatur, Omar al-Bashir, pada 2019 silam. Sejak itu, Hamdok menjadi perwakilan sipil yang mengurusi masa peralihan, sementara al-Burhan menggeser al Bashir sebagai pemimpin de facto Sudan.

Hamdok mengakui adanya "fragmentasi kekuatan politik dan konflik antara komponen transisi (sipil dan militer),” tapi "meski semua upaya yang telah dilakukan untuk mencapai konsensus, itu tidak tercapai.”

Jendral al Burhan sejauh ini bersikeras mengklaim penjatuhan pemerintahan sipil oleh militer pada Oktober silam "bukan merupakan sebuah kudeta,” melainkan dorongan "untuk mengoreksi haluan transisi.”

Aksi protes di jalan

Demonstrasi massal menentang kudeta masih berlanjut meski militer telah membebaskan Hamdok. Sebagian warga mencurigai para jendral yang ingin memboncengi transisi demokratis di Khartoum demi mengamankan kekuasaan sendiri.

Minggu (2/1), ribuan demonstran di Khartoum dan Omdurman menghalau tembakan gas air mata dan polisi anti huru-hara untuk menuntut pemerintahan sipil di Sudan. Protes tetap berlangsung kendati otoritas memerintahkan pemadaman sistem komunikasi digital dan seluler di sejumlah kawasan ibu kota.

Memberikan Layanan Medis dengan Bersepeda

Mereka meneriakkan yel-yel "kekuasaan milik rakyat,” sembari menggugat agar militer kembali ke barak dan menjauh dari kekuasaan.

Komite Doktor yang mendukung kelompok pro-demokrasi, mengklaim aparat keamanan membunuh tiga orang demonstran. Seorang di antaranya dikabarkan mendapat tembakan di dada, sementara seorang lain mengalami "luka parah di bagian kepala.”

Untuk menghadapi demonstran, aparat menutup jalan dan jembatan penghubung utama menuju ibu kota dengan kontainer. Hingga kini, diperkirakan sudah sebanyak 57 warga yang tewas dalam aksi protes sejak kudeta. 

Demonstrasi belum akan usai menyusul deklarasi "tahun perlawanan” oleh aktivis pro-demokrasi Sudan di media-media sosial, ketika menyambut pergantian tahun menuju 2022.

Sabtu (1/1), Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan Washington "siap untuk merespon terhadap mereka yang ingin memblokir asprasi rakyat Sudan untuk pemerintahan sipil, dan mereka yang ingin menghalangi pengawasan, keadilan dan perdamaian,” kata dia seperti dilansir Associated Press.

rzn/hp (ap,rtr)