1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Polisi Agama di Afghanistan

7 September 2006

Entah itu di mesjid atau di jalan-jalan kota Kabul, usulan pemerintahan Karsai ramai dibicarakan orang. Presiden Afghanistan itu ingin menghidupkan kembali apa yang disebut sebagai Badan Bengawas Adat Istiadat dan Pencegah Kemaksiatan.

https://p.dw.com/p/CPWU
Di Afghanistan, nantinya mungkin bukan hanya ada polisi yang mengawasi keamanan saja
Di Afghanistan, nantinya mungkin bukan hanya ada polisi yang mengawasi keamanan sajaFoto: AP

Di masa kediktaturan kelompok radikal Taliban, lembaga dengan fungsi seperti itu dikenal dengan nama Polisi Agama. Mereka bertugas memukuli setiap lelaki yang janggutnya terlalu pendek, menghukum wanita yang tidak memakai cadar, memotong tangan para pencuri dan melempari setiap orang yang bercerai dengan batu. Dan kini mereka akan kembali.

Dengan terus meningkatnya praktik korupsi dan penggunaan kekerasan di sebagian besar wilayah negaranya, banyak warga Afghanistan menyetujui usulan Presiden Karsai untuk menghidupkan kembali Polisi Agama. Melalui langkah tersebut mereka berharap kembalinya ketertiban dan pengakuan atas hak-hak mereka yang hilang. Seperti yang dikatakan salah seorang penduduk Afghanistan:

Dengan persetujuan para Ulama, badan itu harus memperkuat kesadaran masyarakat akan prinsip-prinsip Islam. Kami menginginkan pendidikan untuk para perempuan dan juga perkembangan. Tapi itu semua harus berjalan dalam kerangka yang islami.”

Dalam sebuah jajak pendapat tidak resmi, yang digelar oleh Yayasan Konrad Adenauer, hampir 70 persen masyarakat Afghanistan menyetujui dihidupkannya kembali Polisi Agama. Berbeda dengan pendapat ara pengamat asing, yang menilai langkah Karsai sebagai sesuatu yang membahayakan praktek demokrasi di negeri itu. Seorang aktivis HAM dan sekaligus penerbit berkebangsaan Afghanistan, Kasim Achgar, mengingatkan agar semua pihak mewaspadai terus meningkatnya islamisasi di Afghanistan.

Dengan langkah itu pemerintah seakan berusaha mengikuti haluan politik Taliban. Dan itu tidak hanya merupakan sinyal yang jelas. Karena dengan itu, setiap orang akan cendrung menghidupkan kembali ide, strategi dan ideologi Taliban. Hal ini tidak bisa dianggap langkah maju. Karena Taliban tidak hanya ingin menanamkan pengaruhnya di pemerintahan secara simbolis, tapi juga dalam kenyataan sehari-hari.

Memang dalam kenyataannya, Polisi Agama tidak pernah berhenti untuk tetap eksis, bahkan setelah berakhirnya kediktaturan Taliban. Tapi ketika itu, mereka berada di bawah mahkamah agung dan tidak diberi kewenangan untuk melakukan pekerjaannya secara bebas. Namun kini Polisi Agama akan dipegang oleh Kementrian Agama. Kementrian yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di Afghanistan.

Sebagian besar pengamat politik Afghanistan mengkhawatirkan, Polisi Agama bisa saja bersikap moderat pada awalnya dan lalu menyalah gunakan wewenangnya. Memang usulan Presiden Karsai masih harus disetujui oleh Parlemen, namun tidak ada satupun yang meragukan, bahwa Polisi Agama akan dihidupkan kembali.

Meskipun demikian suara-suara penolakan tetap masih bisa didengar. Seperti yang meluncur dari mulut Anggota parlemen dan aktivis perempuan Afghanistan, Schurkia Baraksai. Menurutnya, langkah menghidupkan kembali Polisi Agama adalah salah dan berlebihan. Tapi Baraksai meragukan akan adanya kosekuensi yang serius dari kebijakan Karsai tersebut. Dikatakannya,

Polisi Agama tidak akan memiliki wewenang. Kebijakan itu hanya langkah simbolis untuk memuaskan beberapa orang saja. Afghanistan telah berubah. Bagaimana orang dapat memisahkan lelaki dan perempuan? Itu akan menjadi simbol ekstrimismus. Dan itu tidak akan mungkin terjadi.”