1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Polisi Thailand Tangkapi Aktivis Pro-Demokrasi

20 Agustus 2020

Polisi Thailand menangkap seorang rapper dan empat aktivis dalam sebuah aksi penggerebekan terhadap kelompok pro-demokrasi. Aksi protes sejak Februari silam dinilai sebagai ancaman terbesar bagi militer dan kerajaan. 

https://p.dw.com/p/3hDqK
Para demonstran menggunakan salam tiga jari sebagai bentuk perlawanan, dipinjam dari film The Hunger Games, Bangkok (16/8).
Para demonstran menggunakan salam tiga jari sebagai bentuk perlawanan, dipinjam dari film The Hunger Games, Bangkok (16/8).Foto: picture-alliance/dpa/G. Amarasinghe

Termasuk yang ditangkap oleh kepolisian adalah Dechathorn Bamrungmuang, salah seorang tokoh utama gerakan Rap Melawan Kediktaturan. Pada Kamis (20/8), dia mengunggah foto di laman Facebook yang menampilkan dia digiring aparat keamanan. 

Rapper yang sering menulis lagu-lagu anti pemerintah itu didakwa menghasut, lantaran menuntut agar Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengundurkan diri.  

Dechathorn juga ikut menggerakkan aksi demonstrasi sejak Februari 2020, yang diyakini menjadi ancaman paling serius bagi kekuasaan bekas panglima militer yang mengkudeta pemerintahan sipil Thailand pada 2014 lalu itu.  

Sebagian posisi kunci di kabinet pemerintahan Prayuth saat ini masih dikuasai mantan jendral. Dia dituding melanggengkan korupsi dan nepotisme. Sejak memenangkan pemilu 2019 lalu yang dipenuhi tuduhan manipulasi, aksi protes terhadap Prayuth semakin lantang. 

“Jika kita hanya berdemonstrasi di dalam kompleks sekolah, orang lain tidak akan tahu,” kata seorang demonstran berusia 15 tahun di Bangkok. “Semakin giat kita menyebarkan kesadaran, maka semakin baik pula.” 

Tuntutan membidik monarki

Para demonstran sejauh ini melayangkan tiga tuntutan, yakni pemilihan umum baru, amandemen konstitusi buatan militer dan mengakhiri intimidasi terhadap mereka yang mengritik pemerintah. 

Belakangan aksi protes memicu kontroversi ketika mereka memperluas tuntutan, antara lain menuntut pelucutan kekuasaan monarki dan pengaruh kerajaan di bidang keuangan, keamanan dan politik. 

Tuntutan tersebut menyeret loyalis monarki ke medan konflik. Hingga kini sebagian besar penduduk Thailand menganggap kerajaan sebagai institusi yang sakral. UU Penghinaan Raja misalnya mengancam hukuman penjara hingga 15 tahun bagi mereka yang melontarkan hinaan kepada monarki. 

Salah seorang aktivis senior pro-Demokrasi didakwa membuat hinaan serupa. Arnon Nampha ditangkap pada Rabu (18/8) silam dan didakwa melanggar larangan berdemonstrasi ketika menggelar aksi protes bertemakan tokoh film, Harry Potter, pada 3 Agustus lalu. 

Tiga orang politisi oposisi dan aktivis buruh juga ditangkap, Kamis (20/8), menurut kabar organisasi advokasi HAM, Thai Lawyers for Human Rights. Mereka didakwa dengan delik penghasutan terkait aksi protes di bulan Juli. 

Kelompok pengacara HAM Thailand juga mengabarkan, permohonan pembebasan dengan uang jaminan bagi salah seorang terdakwa ditolak oleh pengadilan. Dalam keterangan persnya, mereka menuntut pemerintah Thailand mencabut dakwaan dan membebaskan semua aktivis yang ditahan. 

“Janji pemerintah Thailand untuk mendengarkan suara kritis terbukti palsu, ketika aksi penangkapan terhadap aktivis pro-Demokrasi terus berlanjut tanpa henti,” kata Brad Adams, Direktur Regional Asia di Human Rights Watch. 

“Otoritas Thailand sebaiknya meluruskan kekeliruan mereka dan segera mencabut dakwaan serta melepas Arnon Nampha dan aktivis lain,” imbuhnya. 

Amarah murid sekolah

Aksi protes pada Kamis diikuti sekitar 400 murid sekolah yang mengenakan seragam berhiaskan pita putih, simbol gerakan protes. Mereka ikut memberikan penghormatan tiga jari, meniru lambang perlawanan dalam film The Hunger Games, yang sering digunakan demonstran. 

Ketika Menteri Pendidikan, Nataphol Teepsuwan, hadir buat berbicara dengan pemimpin demonstrasi di barisan depan, dia diteriaki para murid dan diminta mundur ke belakang. Nataphol menurut dan duduk di belakang. Di sana dia dengan sabar mendengar dan mencatat keluhan dan pesan para demonstran, sembari mengusap keringat yang mengucur deras di bawah terik matahari sore. 

Enam tahun silam, Nataphol ambil bagian dalam aksi demonstrasi besar-besaran yang diikuti kudeta militer dan membawa Payuth ke puncak kekuasaan. Ketika dia berbicara, sejumlah murid meniupkan peluit sebagai tanda protes. Taktik tersebut pertamakali digunakan oleh Nataphol saat berdemonstrasi tahun 2014

“Saya senang mereka berani berbicara dan bahwa mereka tertarik kepada politik di usia muda, selama ide-ide mereka berguna buat negara,” kata dia sebelum pergi. “Mereka adalah masa depan dan masa depan saya bergantung pada mereka.” 

Tapi ucapan tersebut gagal meredakan amarah para murid. Dia meninggalkan area protes sembari diiringi sorak sorai dan aksi acungan jempol ke bawah.   

rzn/as (ap, rtr)