1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik Baru Iran?

Jashar Erfanian12 September 2013

Presiden Iran Hassan Rohani berulangkali menekankan bahwa masalah ekonomi menjadi prioritas. Ungkapnya juga, ia inginkan hubungan lebih baik dengan Barat serta pencabutan sanksi-sanksi terhadap Iran.

https://p.dw.com/p/19fyY
Foto: MEHR

Selain sengketa nuklir, hambatan besar bagi perbaikan hubungan Iran dan Barat adalah retorika anti-Israel yang kerap dikumandangkan Mahmud Ahmadinejad. Pernyataan mantan presiden itu menyebabkan Iran tersingkir di dunia politik internasional. Citra pariah inilah yang ingin disapu bersih oleh presiden baru Iran, Hassan Rohani dengan uluran tangan damai.

Awal September sebuah pesan twitter yang diduga berasal dari Rohani sempat memicu kontroversi, akibat ucapan selamat tahun baru kepada kaum Yahudi. Penasihat Rohani menyangkal laporan itu dan bahwa Rohani memiliki akun twitter.

"Tak Pernah Menyangkal Holocaust"

Namun tak ada penyangkalan atas ucapan selamat yang disampaikan Menlu Javad Sarif pada hari berikutnya di jaringan sosial internet. Javad Sarif menyatakan „Iran tidak pernah menyangkal peristiwa Holocaust“, sebaliknya mengecam pembataian kaum Yahudi oleh kaum Nazi.

Iran Rohani Kabinett
Presiden Hassan RohaniFoto: Behrouz Mehri/AFP/Getty Images

Pemantau politik melihat isyarat lain bagi politik baru Iran. Perundingan nuklir dengan Barat akan ditangani oleh Kementrian Luar Negeri Iran, bukan Dewan Keamanan Nasional.

"Keputusan Rohani untuk menyerahkan masalah ini kepada Kementrian Luar Negeri menunjukkan bahwa pemerintah Iran tengah meniti jalan baru. Ungkap Reza Taghizadeh, Professor jurusan Hubungan Internasional Universitas Glasgow kepada Deutsche Welle. Menurut dia, pemerintahan Rohani ingin menempatkan fokus pada masalah politik dan ekonomi.

Iran inginkan Solusi

Pejabat khusus luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton akan bertemu dengan Menlu Javad Sarif di sela-sela Sidang Umum PBB September ini. Tujuannya untuk membicarakan peluang untuk sebuah perundingan dengan anggota tetap DK PBB plus satu. Sementara itu, semua pihak sadar bahwa bila Amerika Serikat melakukan seragan militer terhadap Suriah, maka langkah-langkah diplomatis ini terancam pupus sebelum berkembang.

Iran Atomanlage Teheran
Pusat Penelitian Nuklir TeheranFoto: aeoi.org.ir

Sarif sebelumnya, di bawah pemerintah Rafsanjani und Khatami, menjabat Wakil Menlu, kemudian dari 2002 hinga 2007 mewakili Iran di PBB. Pada masa itu ia berulangkali melakukan pertemuan tidak resmi dengan diplomat-diplomat AS, untuk mengupayakan normalisasi hubungan bilateral.

Pergantian pemimpin Iran membuka peluang baru dalam negosiasi nuklir yang sebelumnya buntu. Begitu menurut Reza Taghizadeh: "Negosiasi itu memang tidak mudah, karena Iran tidak akan begitu saja bersedia melepaskan program nuklirnya." Namun tambahnya, pemerintah baru berkomitmen melonggarkan sanksi terhadap Iran melalui diplomasi. "Hal ini mendukung harapan, bahwa hasil perundingan akan lebih baik daripada sebelumnya".

"Keselamatan sistim politik "

Menteri Luar Negeri Sarif terhitung orang yang “mengerti bagaimana menyampaikan pandangan Ayatollah Ali Chamenei secara diplomatis ", tutur pakar politik Mehran Barati di Berlin. Kepada Deutsche Welle dikatakannya, yang masih harus ditunggu adalah kejelasan pandangan Khamenei, sebagai pemimpin spiritual Iran.

Mohammad Javad Zarif
Menlu Javad SarifFoto: picture-alliance/dpa

Namun Mehran Barati optimis, kondisi ekonomi Iran yang terpuruk bisa menggerakkan para pemimpin Republik Islam Iran untuk mengambil jalan yang menjamin keselamatan sistem politik negara itu.

Hingga kini Iran berusaha membangun kekuasaan regional dengan program nuklirnya. „Tampaknya Iran telah berpikir ulang“, tutur Barati. "Peluang bagi Rohani dan Sarif untuk menghasilkan penyelesaian damai dalam sengketa nuklir dengan begitu juga lebih besar."