1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dapatkah Pembunuhan Munir Terungkap?

28 Agustus 2018

Pembunuhan Munir masih akan tetap menjadi sorotan pada setiap Pemilu Presiden. Setelah Pollycarpus bebas murni, masihkah ada peluang misteri pembunuh pahlawan HAM ini terkuak? Opini Monique Rijkers

https://p.dw.com/p/32fDf
Indonesien Pollycarpus Priyanto Ex-Pilot
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Terpidana kasus pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto akan bebas murni pada 29 Agustus 2018 mendatang. Saat ini status hukum Polycarpus adalah bebas bersyarat sejak 28 November 2014 berdasarkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SKPB) yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM tanggal 13 November 2014.

Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Bandung Budiyana yang dihubungi penulis mengakui Pollycarpus sudah kembali beraktivitas sebagai warga masyarakat biasa dengan kewajiban melapor setiap bulan, meski tidak dilakukan setiap bulan.

Berdasarkan daftar absensi, Pollycarpus hanya melapor sebanyak 25 kali. Selama masa Pembebasan Bersyarat, menurut Budiyana tidak ada laporan pelanggaran hukum, perbuatan yang meresahkan masyarakat atau tidak terpuji yang dilakukan oleh Pollycarpus.

Dihubungi terpisah, Pollycarpus, mantan pilot Garuda Indonesia itu membenarkan ia akan bebas murni Agustus 2018. Saat ini Pollycarpus mengaku sebagai pegawai kontrak hingga Oktober 2018 di PT.Gatari Air Service, milik Tommy Soehartodengan posisi Asisten Direktur.

Penulis:  Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Selain itu ia bekerja sebagai Direktur Operasi Gyrocopter Indonesia yang bergerak di pengadaan dan layanan helikopter ringan di Indonesia. Ketika ditanya oleh penulis, "Apakah siap diusut jika kasus Munir dibuka kembali?” Pollycarpus menjawab, "Siap.” Dengan demikian, Pollycarpus hanya menjalani masa 8 tahun penjara dari 14 tahun vonis yang ia terima.

Kasus pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis HAM yang meninggal pada 7 September 2004 dalam penerbangan dengan pesawat maskapai nasional Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, hingga saat ini masih menyimpan misteri dalang pembunuhan ini. Hasil autopsi mengindikasikan penyebab kematian adalah racun arsenik.

Mengulik racun arsenik di jus jeruk

Dalam persidangan yang dimulai 9 Agustus 2005, Pollycarpus dituding sebagai otak pembunuhan dengan cara mencampurkan racun arsenik ke dalam jus jeruk yang diminum Munir di dalam pesawat.

Pollycarpus juga dituduh memalsukan surat penugasan sebagai ekstra kru Garuda Indonesia penerbangan yang ditumpangi Munir. Direktur Garuda Indra Setiawan saat kejadian dihukum 1 tahun penjara terkait penugasan anak buahnya.

Meski Pollycarpus dituduh sebagai otak pembunuhan Munir, namun sejumlah kesaksian di pengadilan menyebutkan informasi yang patut ditelusuri kembali seperti kesaksian mantan Deputi Bidang Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelejen Negara Budi Santoso.

Budi Santoso menyatakan pernah ada rapat internal lembaganya membahas Munir. Budi Santoso mengaku Munir yang saat ini menjabat sebagai Direktur Imparsial akan menjual negara dengan data-datanya yang akan ia bawa ke Belanda untuk studi hukum di Utrecht Universiteit.

Tempo 11 Desember 2014 menulis, "Seorang petinggi BIN meminta upaya Munir itu dicegah,” mengutip Budi Santoso. Informasi itu dimuat oleh Tempo sebagai berita dengan judul, "Munir Dibunuh Karena Sejumlah Motif, Apa Saja?”

Saat kasus Munir terjadi, Kepala BIN periode 2001-2004 adalah A.M Hendropriyono. Namun Hendropriyono menyangkal mengincar Munir karena menilai Munir bukan orang yang membahayakan. Tetapi pada 2016 silam, mengutip Kompas, mantan Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan Munir, Marsudhi Hanafi mengakui nama Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir yang diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2005.

Dokumen tersebut dibagikan ke Kapolri, Jaksa Agung, Menkumham dan Menteri Sekretariat Negara. Namun Sekneg era Joko Widodo mengaku tidak memiliki dokumen TPF itu sedangkan menurut Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Prabowo pada 27 Oktober 2016 yang dikutip Kompas, salinan dokumen TPF Munir itu sudah diterima Istana Kepresidenan pada 26 Oktober 2016 sekitar pukul 15.30-16.30 yang dibawa oleh kurir.

Sejauh ini keberadaan hasil temuan TPF masih misterius sebab keluarga Munir, yang paling berkepentingan terhadap hasil penyelidikan TPF belum menerima salinan dokumen tersebut.

Pada Oktober 2016, Komisi Informasi Publik memenangkan gugatan masyarakat sipil melalui Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) atas Kementerian Sekretariat Negara (Sekneg) agar pemerintah mempublikasikan dokumen temuan TPF Munir.

Tetapi pada Februari 2017, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat tersebut. Istri almarhum Munir, Suciwati, sudah mengajukan kasasi atas permohonan informasi dokumen TPF Munir, tetapi pada Agustus 2017 Mahkamah Agung telah menolak kasasi itu.

Apakah ini kesengajaan?

Kekacauan distribusi dokumen negara berupa hasil temuan TPF Munir disinyalir sebagai kesengajaan dan sempat muncul wacana melaporkan ke Ombusman Republik Indonesia namun hingga saat ini menurut bagian pelaporan Ombusman Republik Indonesia, Awid belum ada pihak yang memasukkan laporan terkait dokumen TPF Munir.

Ninik Rahayu, anggota Ombusman Republik Indonesia yang dihubungi penulis menegaskan hasil TPF Munir seharusnya diungkapkan ke publik oleh presiden.

Penemuan keberadaan dokumen hasil temuan TPF sangat vital bagi pengungkapan kasus pembunuhan Munir karena bisa menyeret pihak yang bertanggung jawab ke muka hakim.

Adapun rekomendasi TPF untuk presiden adalah: menindaklanjuti proses pencarian fakta di lingkungan intelejen negara, merekomendasikan presiden untuk memerintahkan kapolri mengaudit kinerja tim penyidik kasus Munir dan meyelidiki kemungkinan keterlibatan beberapa petinggi.

Kesimpulan TPF Munir meninggal karena permufakatan jahat (rekomendasi dan kesimpulan TPF dimuat oleh Tirto.id pada Maret 2018).

Hingga kini pemerintahan di bawah pimpinan Preisden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akan berakhir tahun depan belum berhasil melaksanakan rekomendasi dan membuktikan kesimpulan TPF Munir terkait adanya permufakatan jahat.

Kasus pembunuhan Munir seharusnya menjadi salah satu ukuran kinerja penguasa yang pro-HAM yang serius mencari dalang atau aktor utama yang bertanggung jawab dalam penghilangkan nyawa Munir Said Thalib.

Namun nyatanya kasus pembunuhan Munir hanya berhasil menyeret operator lapangan dan mentok dalam menyentuh otak sesungguhnya yang menghendaki Munir dihabisi meskipun ada sejumlah temuan fakta.

Sepuluh tahun SBY berkuasa dan lima tahun pertama masa kepemimpinan Jokowi pun gagal memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia dan terutama keluarga Munir dan para penggiat HAM tanah air.

Dengan status Pollyacarpus yang akan bebas murni Agustus 2018, rasa keadilan masyarakat akan kembali terusik. Apalagi memasuki pemilihan umum tahun 2019, isu kematian Munir pasti akan kembali menguak ke permukaan menyusul rapor HAM pemerintahan Jokowi.

Mereka yang terindikasi mengetahui kasus pembunuhan Munir dan menjadi pihak yang berkuasa di masa peristiwa itu terjadi, suka tidak suka akan kembali dikorek-korek keterkaitannya.

Faktanya, pembunuhan Munir adalah perkara hukum yang mustahil dilakukan atas dasar motif pribadi melihat kerumitan eksekusi dan indikasi konspirasi yang menyelimutinya.

Tak heran jika kasus pembunuhan Munir masih akan tetap menjadi sorotan pada setiap Pemilu Presiden. Karena itu guna mengurangi beban di pundak Jokowi dalam melangkah memasuki pertarungan 2019, sebaiknya Jokowi mengumumkan hasil TPF Munir serta menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir tersebut sebagai bukti kesungguhan Jokowi dalam mengungkap perkara HAM masa lalu.

Penulis:

Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.