1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Travel

PHRI: Pariwisata Indonesia Berpotensi Rugi Rp 21 T

Rizki Akbar Putra
12 Maret 2020

Industri pariwisata Indonesia diprediksi mengalami kerugian sebesar 1,5 miliar dolar AS karena wabah corona. Pemerintah siapkan relaksasi pajak hotel dan restoran untuk bantu ringankan beban pelaku industri.

https://p.dw.com/p/3ZGrR
Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur
Foto: Imago Images/Westend61

Ketua Umum Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B. Sukamdani, memprediksi potensi kerugian industri pariwisata Indonesia akibat wabah virus corona COVID-19 dari awal Januari hingga hari ini, Kamis (12/03), mencapai 1,5 milliar dolar AS atau setara dengan Rp 21 triliun. Hariyadi mengatakan anjloknya jumlah turis asal Cina menjadi penyumbang terbesar angka potensi kerugian ini.

"Turis dari Tiongkok itu tahun lalu 2 juta orang. Mereka spending-nya per sekali datang itu 1.100 US dollar (15,4 juta rupiah). Kita ambil peak season-nya turis dari Cina adalah bulan Januari - Februari pada saat mereka (merayakan) Chinese New Year. Mulai dari awal Februari sudah tidak ada pesawat dari Tiongkok ke sini, itu asumsi baru yang hilang separuhnya," ujar Hariyadi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Daerah-daerah tujuan wisata yang paling merasakan penurunan jumlah wisatawan yaitu Manado, Bali, dan Batam. Keadaan ini juga diperparah dengan dibatalkannya pameran pariwisata terbesar di dunia, ITB Berlin.

"Yang paling kita tidak bisa prediksi bahwa travel market terbesar di dunia yaitu ITB Berlin itu dibatalkan kemarin. Kalau pasarnya tidak ada, tempat transaksi tidak ada, ya mau bagaimana?" imbuh Hariyadi

Hariyadi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ini mengatakan industri manufaktur juga terkena dampak atas mewabahnya virus corona.

Seperti diketahui, bahan baku manufaktur di Indonesia mayoritas berasal dari Cina. Dengan diperketatnya proses impor dari Cina oleh pemerintah Indonesia, praktis industri manufaktur di Indonesia juga mengalami kerugian. Namun, ia tidak merinci berapa besar kerugian yang dialami manufaktur Indonesia.

"Karena impor kita itu dari Tiongkok itu kalau tidak salah sekitar 37 miliar dolar AS (sekitar Rp 538 triliun), ekspor kita 26 miliar dolar AS (sekitar Rp 378 triliun). Anda bisa bayangkan sebegitu banyaknya hanya untuk bahan baku, tapi saya belum hitung kalau untuk manufaktur," papar Hariyadi.

Relaksasi pajak

Kepada DW Indonesia, Deputi Bidang Industri dan Investasi Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf, Fadjar Hutomo, menyebut ada dua sektor yang paling dirasakan akibat wabah virus corona di indusri pariwisata Indonesia.

"Yang pertama dari sisi supply dan yang kedua dari sisi demand, yang kemudian membuat orang jadi takut berpergian," katanya.  

Untuk merespon hal tersebut, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat ini tengah menggodok kebijakan-kebijakan untuk membantu pelaku industri pariwisata yang "menderita" dari sisi pemasukan. Fadjar mengatakan relaksasi pajak menjadi salah satu kebijakan yang tengah dikaji oleh pemerintah.

"Yang saat ini sedang disiapkan adalah hibah untuk sektor pariwisata terkait dengan pembebasan pajak hotel dan restoran," ungkap Fadjar.

Nantinya pajak hotel dan restoran akan dibuat menjadi 0 persen selama enam bulan sebagai upaya meningkatkan wisatawan domestik. Namun kebijakan ini hanya berlaku di 10 destinasi wisata karena terbatasnya anggaran. Daerah tersebut meliputi Batam, Denpasar, Yogyakarta, Labuan Bajo, Lombok, Malang, Manado, Silangit, Tanjung Pinang, dan Tanjung Pandan.

Jangan panik

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M. Fiqih, mengimbau masyarakat agar tetap tenang dalam menyikapi wabah virus corona. Merujuk kepada laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), Daeng menyebut tingkat kematian virus corona COVID-19 terhitung kecil, berkisar di angka 2-3 persen. Menurutnya ini jauh di bawah tingkat kematian yang disebabkan penyakit TBC dan demam berdarah (DBD).

"Artinya 97 persen itu sembuh. Angka kematiannya itu hanya berkisar 2-3 persen. Beda dengan DBD, DBD sudah 14.000 yang meninggal sudah sampai 100," ungkap Daeng di Jakarta, Kamis (12/03).

Lebih lanjut ia mengatakan mayoritas pasien COVID-19 yang meninggal bukan murni karena infeksi virus corona tersebut, namun karena adanya penyakit penyerta. Seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik, mampu sembuh dengan lebih cepat.

"Misalnya dia punya gagal ginjal, punya diabetes, terinfeksi, semakin berat menimbulkan kematian. Artinya sebenarnya virus ini berkaitan dengan tingkat kekebalan tubuh yang turun. Dan itu yang menyebabkan fatalitas kematian," jelasnya.

Daeng mengimbau kepada masyarakat agar menghindari orang-orang yang diduga terpapar, khususnya warga negara yang baru datang dari negara-negara yang positif virus corona.

Rutin menjaga kebersihan terutama cuci tangan dengan sabun atau memakai hand sanitizer yang mengandung antiseptik, istirahat yang cukup, makan makanan bergizi, dan olahraga rutin untuk menjaga daya tahan tubuh bisa menjadi langkah-langkah proteksi dini dari infeksi virus corona.

rap/ae