1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pragmatisme Perwira dan Aspirasi Demokrasi

2 Oktober 2017

Mencari jabatan atau kesejahteraan tetap bisa dilakukan melalui kelembagaan TNI, namun semua itu harus berdasar prestasi yang sudah teruji, transparan, dan bisa diketahui publik. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2kmES
Jakarta Indonesien Militär Soldaten Wahl Präsidentschaftswahl 8.7.14
Foto: Reuters

TNI di era reformasi memang sedikit berbeda, dibanding masa Orde Baru dulu. Salah satunya soal daya tarik pemberitaan, dimana berita seputar TNI tidak lagi menjadi prioritas. Jauh berbeda dengan masa lalu, ketika pergantian pangdam saja, khususnya Pangdam Jaya dan Pangdam III/Siliwangi, bisa masuk halaman pertama sebuah surat kabar nasional.

Oleh sebab itu perkembangan apa yang sedang terjadi saat ini pada institusi TNI, kurang diketahui publik, selain publiknya sendiri mungkin juga abai, mengingat perhatiannya lebih tertuju pada kehebohan perilaku pejabat publik. Dari pengamatan sekilas, serta sedikit pembicaraan informal dengan beberapa perwira generasi baru, saya sendiri merasa tenang, karena perwira generasi baru ini memiliki visi sendiri, yang sedikit berlainan dengan generasi sebelumnya, yakni generasi perwira yang lulus dan dibesarkan di masa Orde Baru.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Fokus pendidikan

Perbedaan itu terletak pada pandangan mereka terhadap kekuasaan, yang harus selalu bisa dihubungkan dengan aspirasi demokrasi.

Kira-kira begini penjelasan singkatnya, bahwa mencari jabatan atau kesejahteraan tetap bisa dilakukan melalui kelembagaan TNI, namun semua itu harus berdasar prestasi yang sudah teruji, transparan, dan bisa diketahui publik. Tanpa bermaksud mengurangi otoritas TNI, beberapa jabatan strategis seperti Pangdam, Komandan Lanud (utamanya Lanud kelas A), Komandan Korem, dan seterusnya, adalah posisi yang mirip pejabat publik, dengan kata lain perwira yang mengisi jabatan tersebut juga firm di mata publik.

Persoalannya sekarang, jalur apa yang bisa dijadikan uji kompetensi, setelah berkurangnya palagan tempur. Bagi generasi yang lulus setelah tahun 2000, faktor pengalaman tempur dalam promosi mereka, menjadi kurang relevan lagi, karena palagan untuk itu memang sudah tidak ada.

Palagan yang masih ada sifatnya lebih "lunak”, seperti operasi pengamanan perbatasan dan pasukan perdamaian di bawah payung PBB. Oleh karenanya perlu dicari "palagan” lain untuk mematangkan perwira. Salah satu palagan dimaksud adalah melalui jalur pendidikan.

Lembaga pendidikan memiliki andil untuk mencetak figur perwira yang berkarakter dan berintegritas tinggi, bahkan di masa sekarang memperoleh tambahan fungsi, sebagai ajang seleksi menuju promosi. Keberadaan lembaga pendidikan match dengan kompleksnya permasalahan TNI, antara lain soal rendahnya kesejahteraan prajurit, kronisnya alutsista, provokasi negara tetangga, ancaman terorisme global, melanjutkan reformasi internal dan seterusnya. Semua masalah ini bisa dikaji secara ilmiah di lembaga pendidikan TNI (Sesko matra dan Sesko TNI), termasuk Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional).

Dalam lingkungan TNI AD, ada ungkapan bernada satire, menggambarkan betapa pentingnya arti pendidikan, dalam hal ini adalah Seskoad (Sekolah Staf dan Komando TNI AD). Kira-kira begini bunyinya: "Seskoad memang tidak ada apa-apanya, namun kalau tidak masuk Seskoad, mau jadi apa…”

Di masa Orde Baru, bagi perwira yang tidak sempat mengikuti Seskoad, masih bisa "diselamatkan” dengan masuk formasi birokrasi sipil. Namun kini sudah tidak bisa lagi, mengingat doktrin kekaryaan sudah ditinggalkan TNI. Masih di masa Orde Baru, dengan hanya "berbekal” ijazah Seskoad, sudah cukup untuk menghantarkan perwira masuk jajaran pati (jenderal).

Namun dengan berkembang pesatnya pengetahuan dan lingkungan yang berubah di masa kini, modalitas Seskoad menjadi kurang memadai. Generasi perwira lulusan Akademi TNI 1990-an, sudah banyak yang melanjutkan studi pascasarjana di negara-negara Eropa Barat dan AS.

Lembaga pendidikan semacam Seskoad atau Sesko TNI, memiliki peran strategis. Bahwa lembaga semacam itu, bukan sekedar meningkatkan pengetahuan perwira, namun yang lebih penting lagi adalah membentuk karakter para siswanya. Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, itu sebabnya senantiasa dibutuhkan figur yang betul-betul kuat, untuk memandu TNI mengarungi pusaran waktu.

Aspirasi Demokrasi

Pragmatisme perwira generasi baru juga terlihat bagaimana respons mereka terhadap aspirasi demokrasi. Mereka bisa memahami sepenuhnya aspirasi demokrasi, semata-mata untuk pengembangan kariernya. Perwira generasi baru seolah lihai dalam meniti buih, yaitu antara aspirasi demokrasi yang tumbuh di masyarakat dan lembaga TNI yang sejatinya memang tidak demokratis.

Tidak demokratisnya TNI semakin terlihat hari-hari ini, ketika Panglima TNI dengan caranya sendiri tetap memaksakan pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI”. Bila Jenderal Gatot Nurmantyo menafikan aspirasi kalangan akademisi atau komunitas yang lain, masih bisa dimengerti, namun Jenderal Gatot juga sudah menafikan kehendak seniornya di TNI AD, yaitu Jenderal (Purn) Ryamizard dan Letjen (Purn) Luhut Panjaitan. Bagian ini yang sulit diterima nalar, mengingat tradisi TNI senantiasa menghormati para senior, tanpa memandang pangkat dan jabatan.

Namun kita masih boleh tenang, segala manuver yang dilakukan Panglima TNI akhir-akhir ini berada pada ruangan tersendiri. Ruang yang terpisah dengan ruangan lain, tempat sejumlah besar perwira generasi baru tetap fokus menempuh pendidikan. Mengingat prestasi pendidikan adalah pertaruhan karier mereka di masa depan.

Rasionalisasi Kecabangan Tempur

Untuk mendukung visi generasi baru TNI pasca-reformasi, pola pikir (mindset) juga perlu diubah, dalam hal ini soal masih dominannya peran kecabangan tempur, khususnya korps infanteri. Niat itu bisa dimulai dengan mengurangi secara bertahap jumlah taruna yang masuk korps infanteri. Dominannya peran infanteri tak bisa dipisahkan dari faktor sejarah, bahwa hampir semua figur-figur utama TNI berasal dari korps infanteri, dengan demikian politisasi peran korps infanteri sudah berlangsung dari generasi ke generasi.

Bagi Indonesia hari ini, ketika pembangunan infrastruktur dan industri begitu mengemuka, sudah saatnya TNI juga menyesuaikan, salah satu wujudnya dengan menambah lulusan Akmil dari kecabangan bantuan tempur, yaitu zeni, peralatan dan komunikasi (perhubungan). Dengan penambahan pendidikan yang prima di kemudian hari, mereka akan bisa menyesuaikan dengan perubahan organisasi TNI seperti apa pun. Seandainya mereka ingin pensiun dini, dengan kompetensi yang dimiliki, mereka akan cepat terserap sektor industri dan jasa.

Satu lagi yang perlu ditambahkan bagi generasi perwira masa depan adalah kemampuan imajinasi. Miskinnya imajinasi dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan dengan teman segenerasi mereka, yakni generasi milenial, yang dicirikan dengan kecepatan mengolah gagasan. Kemiskinan imajinasi perwira TNI di masa lalu, bisa dilihat ketika begitu terbatasnya daftar lagu yang mereka bawakan ketika harus tampil di depan publik, tak jauh-jauh dari My Way (dipopulerkan oleh Frank Sinatra).

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis