1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeEropa

Prancis Tutup Sebuah Masjid Terkait Serangan Teror di Paris 

20 Oktober 2020

Prancis menutup sebuah masjid di Paris lantaran diduga terlibat dalam aksi teror pemenanggalan seorang guru, pekan lalu. Presiden Macron berjanji menggiatkan dinas intelijen untuk membasmi jaringan teror di dalam negeri 

https://p.dw.com/p/3kBTn
Masjid di Pantin yang ditutup pemerintah Prancis terkait serangan teror pemenggalan seorang guru di Paris.
Masjid di Pantin yang ditutup pemerintah Prancis terkait serangan teror pemenggalan seorang guru di Paris.Foto: Christophe Archambault/dpa/picture alliance

Pemerintah Prancis mengumumkan, bakal menutup sebuah masjid di Paris dalam operasi penggerebekan terhadap kantung kaum radikal usai teror pemenggalan pekan lalu, demikian laporan kantor berita AFP. 

Masjid tersebut berada di sebuah kawasan padat penduduk di Paris. Menjelang pembunuhan keji terhadap guru sejarah Samuel Paty, laman Facebook masjid tersebut mengunggah kecaman terhadap sang guru, lantaran menunjukkan gambar kartun Nabi Muhammad kepada muridnya. 

Kementerian Dalam Negeri memastikan, masjid di Pantin yang punya hingga 1.500 orang jemaah itu akan ditutup selama enam bulan sejak Rabu (21/10) malam. 

Mendagri Prancis, Gerald Darmanin dalam pernyataannya mengatakan, “pihaknya tidak akan kendur sedikit pun terhadap musuh-musuh republik.” 

Perintah penutupan dilayangkan setelah kepolisian melakukan penggerebekan di sekitar Paris buat membidik jejaring kaum Islamis, Senin (19/10) lalu.  

Paty yang berusia 47 tahun dibunuh dalam perjalanan pulang usai mengajar di sekolah menengah pertama Conflans-Sainte-Honorine, yang cuma berjarak 40km dari ibu kota Prancis. Foto korban beserta sebuah pesan berisi pengakuan ditemukan polisi di ponsel milik pelaku, seorang pria Chechnya berusia 18 tahun, Abdullakh Anzorov. 

Usai melakukan tindakan keji itu, dia mengunggah jasad tanpa kepala milik korban di Twitter. Anzorov kemudian tewas ditembak polisi. 

Warga berkumpul di jalan ibu kota Paris untuk mengenang Samuel Paty dan membela kebebasan berekspresi di Prancis, 18/10.
Warga berkumpul di jalan ibu kota Paris untuk mengenang Samuel Paty dan membela kebebasan berekspresi di Prancis, 18/10.Foto: Christophe Simon/AFP/Getty Images

Perang melawan “Islamisme-siber” 

Pembunuhan terhadap Samuel Paty mengingatkan Prancis terhadap pembantaian di kantor Charlie Hebdo pada 2015, di mana 12 orang meninggal dunia usai dihujani peluru oleh para pelaku yang anggota kelompok teror Islamis. Serupa dulu, puluhan ribu orang turun ke jalan pada Minggu (18/10) untuk mengenang korban, dan membela kebebasan berekspresi. 

Tokoh-tokoh Islam Prancis ikut berdatangan ke sekolah menengah pertama Conflans-Sainte-Honorine untuk menyatakan bela sungkawa dan memfatwa haram tindakan keji pelaku.  

Presiden Emmanuel Macron dalam pernyataannya menegaskan bahwa “rasa takut akan segera berpindah pihak,” sebagai slogan terbaru kampanye antiteror di dalam negeri. Wakil Mendagri, Marlene Schiappa, memanggil perwakilan media sosial untuk membahas “Islamisme-siber” yang sedang marak. 

Pemenggalan Paty merupakan serangan senjata tajam kedua, setelah proses persidangan para pelaku kasus pembantaian Charlie Hebdo dimulai bulan lalu. Pada serangan teror September silam, dua warga mengalami luka-luka di luar bekas kantor mingguan karikatur tersebut. 

Upacara penghormatan bersama keluarga Paty menurut rencana akan digelar secara terbuka pada Rabu (21/10) di kompleks Universitas Sorbonne, Paris. Presiden Macron dikabarkan bakal turut hadir dalam acara tersebut. 

Pemerintah juga meminta semua sekolah di Prancis agar mengheningkan cipta selama satu menit untuk mengenang Paty, saat murid kembali bersekolah usai liburan musim gugur. Kementerian Pendidikan juga menyiapkan muatan kurikuler tambahan terkait peristiwa tersebut untuk diajarkan di sekolah. 

“Ini adalah perang senyap,” kata Menteri Kehakiman Eric Dupond-Moretti, Selasa (20/10). “Ada gerakan teror terorganisir yang sedang kami pantau,” kata dia. Tapi pemuda asal Chechnya berusia 18 tahun itu tidak termasuk dalam radar intelijen. 

rzn/as (afp,rtr)       

Lautan Bunga Lavender di Prancis Selatan