1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pribumi, Antara Ada dan Tiada

24 Oktober 2017

Penat dengan klaim-klaim pribumi? Klaim bahwa ada orang Indonesia yang asli, yang berhak dengan sendirinya atas tanah-air dan orang Indonesia yang tak lebih dari sekadar tamu dan tak berhak apa-apa? Opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2mICd
Symbolbild Grundsatzurteil USA zur Patentierung menschlichen Erbguts
Foto: Fotolia/majcot

Anda penat dengan klaim-klaim pribumi? Klaim bahwa ada orang Indonesia yang asli, yang berhak dengan sendirinya atas tanah dan airnya, dan orang Indonesia yang tak lebih dari sekadar tamu dan tak berhak apa-apa?

Anda bisa menghadapi klaim ini dengan memaparkan temuan penelitian bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pendatang. Mereka datang dari Formosa, Taiwan sekitar 5.000-6.000 tahun silam. Dan bila Anda cukup getol menelisiknya lebih ke belakang lagi, Anda akan mendapati nenek moyang dari para nenek moyang kita ini pun berasal dari tempat yang lain lagi. Anda juga bisa menyuruh mereka yang meyakini klaim ini memeriksa DNA-nya. Sebelum pengujian dilakukan, kita bisa menjamin, DNA mereka tak mungkin hanya mengandung DNA orang Indonesia. Bahkan, tak sedikit kemungkinan, sekecil-kecilnya, mereka mempunyai DNA etnis yang mereka benci termaktub dalam dirinya.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Tapi, semua cara di atas tentu saja merepotkan.

Belum lagi, ia pun belum tentu dipahami. Cara yang lebih mudah untuk meyakinkan orang lain dengan reyotnya klaim pribumi? Bandingkan klaim tersebut dengan klaim ojek pangkalan. Saya yakin, kebanyakan kita tak pernah mendengar adanya istilah ojek pangkalan sebelum adanya ojek daring. Ojek pangkalan, sebagai suatu identitas, lahir karena kehadiran ojek daring. Demikian halnya dengan identitas pribumi. Tidak ada identitas pribumi sebelum mereka yang diidentifikasi sebagai pendatang hadir. Dan sebagaimana halnya klaim ojek pangkalan menjadi cara para ojek melindungi penghidupannya, klaim pribumi merupakan reaksi melindungi diri dari serobotan-serobotan pihak asing.

Pada tahun 90-an di Maluku, idiom alifuru, yang berarti agama suku, tak lekat dengan konotasi positif. Sampai dengan hari ini di tempat lain seperti Minahasa, idiom tersebut bahkan terdengar merendahkan lantaran keidentikannya dengan keyakinan purba sebelum agama-agama yang dianggap benar masuk. Namun, bila hari ini Anda menjumpai saudara-saudari kita dari Maluku, mereka tidak akan enggan mengedepankan diri dengan satu panggilan ini. Asal-usul pergeseran dramatis ini? Konflik Ambon. Pada saat itu, ketakutan bahwa mereka akan dimusnahkan oleh para pendatang luar biasa merajalela. Dus, kala Forum Kedaulatan Maluku berdiri pada tahun 2000 dan mendeklarasikan identitasnya sebagai alifuru, khalayak luas kontan menyambutnya.

Contoh klaim datang dari tetangga?

Tetapi, contoh yang lebih telanjang—serta ironis—menunjukkan watak rekaan dari klaim pribumi datang dari negara tetangga kita, Singapura. Nenek moyang dari mayoritas penduduk Singapura mendiami tempat ini belum lebih dari seratus tahun silam. Namun, ketika Perdana Menterinya, Goh Cok Tong, pada tahun 1998 mengemukakan Singapura harus menjadi rumah bagi warga Singapura sekaligus para wirausaha, investor, profesional asing, reaksi pertama warganya adalah marah. Mereka tidak terima kalau-kalau pemerintahnya mengecer kewarganegaraan kepada orang-orang yang punya kocek namun belum tentu punya loyalitas dengan bangsanya—dan pada akhirnya, menyeroboti pekerjaan mereka.

Pada momen tersebut, warga Singapura, yang acap dianggap kosmopolit itu, ternyata membutuhkan identitas pribumi.

Di sini kita melihat satu fakta yang tegas. Memang, pribumi bukanlah identitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Anda bahkan dapat mengatakannya tak punya dasar bila Anda mau. Tetapi, ia menyusu dari kengerian hebat, dan emosi ini menjadikan klaim yang fiktif sekalipun terasa nyata. Apa yang tidak ada menjadi ada. Dan mereka yang mampu memanfaatkannya, akibatnya, mengantungi kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia ini.

Jadi, adakah mereka yang bisa disebut pribumi di Indonesia? Saya akan menjawab, ada sekaligus tiada. Mereka hadir di mana-mana sekaligus tidak ada di mana pun.

Mereka adalah khayalan yang menggerakkan kenyataan kita.

Penulis: Geger Riyanto (ap/vlz)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.