1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Privilese, Antara 'Benefit' dan Beban

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
15 Juni 2019

Kemiskinan, kegagalan, kebodohan, apakah itu salah individunya sendiri? Ada perdebatan, apakah makin kaya seseorang makin mudah sukses, demikian sebaliknya. Rahadian Rundjan tak percaya itu. Anda sependapat?

https://p.dw.com/p/3KEDN
Symbolbild - Teezeit
Foto: Colourbox/ssuaphoto

Ada sekian banyak buah-buah filosofi mengenai eksistensi manusia, namun satu hal yang umum diakui adalah bahwa pada dasarnya hidup memang tidaklah adil. Tentu saja, apa yang dimaksud dengan "adil” adalah sebuah hal subjektif yang lebih baik untuk dibicarakan dalam konteks kasus per kasus daripada sebuah generalisasi. Misalnya, orang-orang yang terbiasa hidup dalam lingkungan individualis tentu memiliki pandangan berbeda tentang konsep keadilan daripada mereka yang terbiasa hidup dalam lingkungan sosial yang kooperatif.

Perihal keadilan ini lantas yang sering menjadi bahan pembicaraan, bahkan mungkin sumbu kemarahan, ketika sudah dikaitkan dengan masalah-masalah privilese dan kesuksesan seseorang. Semua orang niscaya tentu ingin menggapai kesuksesannya masing-masing, namun kita harus mengakui bahwa tiap orang memiliki titik mula yang berbeda-beda. Sebagian daripadanya berada di titik mula yang begitu istimewa karena berbagai macam faktor, umumnya karena mereka memang terlahir di tengah-tengah orang-orang terdekat maupun lingkungan yang ideal dan menyediakan sekian ragam modal untuk mempermudah mencapai kesuksesan.

Kita harus mengakui bahwa privilese itu memang ada, namun keistimewaan tersebut seharusnya tidak harus melulu dilihat sebagai sebuah benefit; namun seharusnya juga beban tanggung jawab untuk membantu orang lain yang juga membutuhkan.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Privilese, Kesuksesan, dan Kebahagiaan

Jika seseorang berhasil menggapai kesuksesan, maka pasti ada orang-orang lain di sepanjang jalan yang memberikannya bantuan. Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat, pernah mengatakan bahwa sangat mustahil seseorang bisa menggapai kesuksesan seorang diri tanpa faktor-faktor tambahan yang disebabkan oleh eksistensi orang lain. Semangat berjuang juga penting;Obama tidak akan menjadi presiden kulit hitam pertama di Amerika jika ia hanya bersantai-santai dan tidak bekerja keras untuk menghadapi tradisi dominasi orang-orang kulit putih dalam politik Amerika.

Sebesar atau sekecil apapun privilese seseorang, tanpa perjuangan maka ia akan sulit mencapai, atau mempertahankan, jalan kesuksesannya. Karenanya, apakah ketika seseorang yang dianggap memiliki privilese tengah berjuang, lantas orang-orang yang menganggap dirinya tidak berprivilese layak untuk mengerdilkan perjuangannya?

Belum lama ini jagat Twitter di Indonesia tengah dihebohkan dengan cuitan seorang GJH yang mempromosikan kampanye urun dana (crowdfunding) untuk seorang temannya, KJ, yang tengah kesulitan membiayai kuliahnya di Universitas Oxford, Inggris. KJ terancam tidak bisa menyelesaikan kuliah S2 di sana karena kemampuan finansialnya untuk itu mesti dialihkan untuk membiayai orang tuanya yang tengah sakit kritis. Kampanye yang bertujuan mengumpulkan dana sekitar kurang lebih 170 juta Rupiah itu pun berhasil, namun diiringi dengan beragam komentar para pengguna Twitter di Indonesia.

Misalnya, fakta bahwa kesulitan KJ tidaklah semelarat dan segenting banyak anak-anak Indonesia lain yang tengah kesulitan untuk menempuh kuliah di Indonesia akibat ketiadaan dana. Apa yang KJ lakukan, yakni kuliah luar negeri dengan biaya sendiri, dianggap sebagai kegegabahan dan kejatuhannya sekarang ini adalah resiko yang harus ditanggungnya sendiri. Terlebih ia dianggap memanfaatkan kepopuleran GJH, seorang cucu pendiri bangsa yang belakangan namanya dikenal publik. Lantas, apakah usaha urun dana yang dilakukannya untuk keluar dari masalah adalah langkah hina?

Jelasnya, publik Twitter pun beramai-ramai mempertanyakan, menolak, bahkan mengolok-olok usaha tersebut sebagai bentuk eksploitasi orang-orang berprivilese terhadap yang tidak berprivilese. Meski secara moral maupun etika upaya KJ memang wajar diperdebatkan, namun semua itu berada dalam jalur hukum yang legal dan tanpa paksaan bagi calon-calon donaturnya. Terlebih KJ melampirkan secara detil rencana-rencana ke depannya setelah lulus, termasuk rencananya untuk membalas budi kelak.

Hal ini juga menunjukkan bahwa terkadang ketika membicarakan orang-orang yang dianggap memiliki privilese dan tengah berjuang menuju suksesnya, maka mereka cenderung sering direspon secara antipati alih-alih simpati. Mereka dianggap memiliki kemudahan yang berlebih-lebih dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki privilese serupa, sehingga perjuangan mereka tidak layak didukung. Padahal, privilese itu bermacam-macam dan belum tentu seseorang yang dianggap memiliki privilese A juga memiliki privilese B, C, dan seterusnya. Menganalisa privilese dalam realita selalu lebih rumit daripada sekedar menjadikannya bahan pembicaraan.

Lihatlah sosok Elon Musk, orang yang paling bertanggung jawab dalam kemajuan Tesla dan SpaceX, dua perusahaan yang tengah mengguncang dunia dengan teknologi mobil-mobil listrik dan roket-roket luar angkasanya. Sebagai salah satu orang yang paling bertanggung jawab dalam menginspirasi pembangunan masa depan teknologi umat manusi, belum ditambah dengan pundi-pundi kekayaaan yang melimpah ruah, nyatanya Musk kesulitan membangun keluarga yang bahagia. Ia berkali-kali kawin cerai, dan salah satu alasannya adalah karena ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sehingga perhatiannya terhadap keluarga terbengkalai.

Masa lalu Musk juga tidak selamanya bahagia, hubungannya dengan ayahnya terbilang sangat dingin. Ia juga mendapat perlakuan tidak enak dari teman-temannya semasa sekolah, mulai dari perundungan sampai kekerasan fisik. Bahkan, saat Elon berumur 17 tahun, ia nyaris mati tertabrak truk ketika mengendarai sepeda motor; itu meninggalkan trauma mendalam sampai-sampai ia dengan tegas menolak untuk membangun sepeda motor listrik sebagaimana ia membangun mobil-mobilnya di Tesla.

Pelajaran dari kisah Musk ini menunjukkan bahwa terkadang  memiliki privilese bukan berarti perjalanan hidup seseorang akan terus-menerus bahagia. Privilese berjalan seiringan dengan ekspetasi, dan semakin besar privilese tersebut, maka semakin besar pula ekspetasi dari orang-orang. Dan tidak semua orang 100 persen berbahagia kala memiliki privilese tersebut. Baik itu Bill Gates, Joff Bezos, maupun Steve Jobs tentu memiliki masalahnya masing-masing di sepanjang jalan terlepas dari privilese yang mempermudah mereka dalam meraih kesuksesan.

Bagaimana Baiknya Membicarakan Privilese?

Privilese memang bukan persoalan sederhana, namun setidaknya ada dua hal yang patut dilakukan ketika membicarakannya. Pertama, seseorang yang berprivilese baiknya mengakui bahwa privilese miliknya adalah  sebuah modal yang mempermudahnya menggapai kesuksesan, bukan hanya sekedar menyampaikan retorika ‘kerja keras' kala menjelaskan kunci kesuksesan mereka kepada orang lain. Kerendahan hati, dan berbagi kesuksesan mereka untuk orang-orang yang tidak lebih beruntung, bagi saya adalah jalan terbaik pemanfaatan sebuah privilese. Seseorang memang tidak bisa membantu banyak orang, tapi banyak orang dapat membantu seseorang.

Kedua, rasanya sangat tidak elok jika seseorang menyalahkan privilese orang lain secara membabi buat sebagai bentuk pelampiasan atas rasa tidak puas terhadap kondisi mereka sendiri, seperti kasus KJ di atas misalnya. Walau memang harus diakui pula, bahwa kesenjangan di Indonesia telah membuat masyarakatnya kehilangan akal sehat dalam menimbang-nimbang suatu masalah, bahkan malah kadang lebih sering menunjukkan kedengkian tak beralasan kepada orang lain yang tengah berjuang untuk sukses, alih-alih membenahi diri sendiri.

Apapun privilese yang kita punya seharusnya adalah sebuah modal untuk mempermudah kita untuk berbagi lebih banyak. Privilese tidaklah baku sebagai kunci kesuksesan, terlebih ketika sejarah memperlihatkan bahwa banyak orang-orang tidak berprivilese yang terbukti mampu menggapai kesuksesannya dan menjadi berguna bagi orang-orang lain.

Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.