1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Bukan Salah Orangnya Jika Gagal Tak Sesuai Cita

Uly Siregar Blogger
Uly Siregar
15 Juni 2019

'Jika saya kaya, saya bisa mewujudkan impian saya jadi dokter, atau pengusaha'. Pernahkah hal itu terbersit di benak Anda? Uly Siregar meyakini bukan salah individunya jika ia gagal, tapi kemiskinan struktural. Setuju?

https://p.dw.com/p/3KEDz
Symbolbild Gegensatz von Armut und Reichtum
Foto: picture alliance/U. Baumgarten

"Hebat, ya, dia. Sukses dari usaha kecil sekarang sudah jadi perusahaan bernilai miliaran rupiah.” Sudah jamak bila seseorang meraih sukses yang luar biasa ketika ditanya kunci kesuksesannya, jawabannya akan berkisar pada kerja keras, ketekunan, ide-ide yang otentik, passion, semangat pantang menyerah, dan sebagainya. Jarang ada orang sukses yang dengan sukarela menjawab ‘keberuntungan' apalagi ‘privilese' sebagai faktor penentu kesuksesan. Mengapa? Entahlah. Mungkin karena jawaban seperti itu tak kedengaran heroik dan tak membuat seseorang terlihat sangat istimewa.

Padahal, harus diakui, privilese atau hak istimewa memiliki peran penting dalam kesuksesan. Bahkan dalam cerita sukses yang sepertinya penuh dengan ide cemerlang dan kerja keras semata, seringkali ada privilese yang menyertai cerita sukses tersebut. Ambil contoh kisah sukses Bill Gates. Beserta Jeff Besos (Amazon), Steve Jobs (Apple), Larry Page (Google), dan beberapa nama besar lainnya, mereka disebut-sebut memulai perusahaan raksasa yang mendunia dari garasi rumah. Bagian ini diromantisisme sedemikian rupa, membuat mereka yang tak sukses jadi merasa kurang berarti, bahkan minder.

Penulis;: Uly Siregar
Penulis;: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Yang kadang lupa disebutkan bahwa ibu Bill Gates, Mary Gates, adalah salah satu direktur di perusahaan IBM dengan akses yang besar ke perusahaan tersebut. Jadi, Bill Gates bukan anak orang kaya saja, tapi anak orang kaya yang memiliki akses ke perusahaan komputer. Ayah Bill Gates bekerja sebagai pengacara--profesi yang dikenal berpenghasilan besar--di Seattle. Tak hanya itu, Kakek Bill Gates dari ibunya, Willard Maxwell, adalah bagian dari eksekutif manajemen di Pacific National Bank. Mary Gates sempat mendiskusikan perihal perusahaan yang dibangun anaknya kepada CEO IBM, John R Opel. Hasilnya, beberapa pekan kemudian, IBM pun memberi kesempatan pada perusahaan yang dibangun Bill Gates, Microsoft, untuk mengembangkan sistem operasi pada komputer personal pertama mereka.

Atau sebut saja Kaesang Pangarep, putra Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Ia berjualan pisang nugget yang diberi nama Sang Pisang. Di usianya yang masih berkepala dua, ia sudah memiliki usaha yang semakin hari semakin maju. Selain puluhan cabang Sang Pisang di Indonesia, ia kini pun memperluas jualannya dengan varian keripik pisang. Apakah Kaesang Pangarep akan sesukses sekarang bila ia hanya anak orang kebanyakan dengan modal jualan awal lima juta rupiah? Ini contoh ekstrem, memang. Anak presiden manapun tentu memiliki privilese berlipat-lipat dari warga kebanyakan.

Privilese tersembunyi

Seringkali kita terkagum-kagum dengan kesuksesan orang lain. Atau sering jumawa dengan kesuksesan diri sendiri. Yang bikin lupa, sukses sering terjadi karena ada privilese tersembunyi yang menyertai. Yang mungkin bukan ingin diingkari, tapi tidak disadari. Tentu saja bukan berarti mereka yang sukses besar dengan bantuan privilese jadi kurang elok keberhasilannya. Toh banyak juga mereka yang memiliki privilese tapi tak sesukses Bill Gates.

Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan kesuksesan orang-orang besar, tapi lebih terbuka untuk melihat bahwa ada banyak faktor yang membantu suksesnya seseorang, faktor yang tak dimiliki orang kebanyakan. Saya selalu menegaskan pada anak-anak saya bahwa mereka lahir dengan tempelan beragam privilese, meskipun bukan privilese yang ‘wah'. Pertama, mereka lahir di Amerika Serikat, negara yang diberi label first world. Lantas, mereka juga lahir dari keluarga harmonis di tengah tingginya angka perceraian, dengan penghasilan orangtua sebagai provider jauh di atas median nasional penghasilan warga AS. Belum lagi kesempatan menuntut ilmu hingga tamat kelas 12 secara gratis, dan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi tanpa perlu memikirkan student loan. Bandingkan dengan anak-anak Indonesia lain yang tak memiliki beragam privilese tersebut.

Privilese ras kulit putih

Sejarah privilese, seperti disebutkan W. E. B. Du Bois tahun 1930-an yang menulis soal ‘psychological wage' adalah bagaimana kaum kulit putih merasa superior terhadap kaum kulit hitam pada era penegakan hak-hak sipil. Saat itu banyak aktivis yang meneriakkan soal privilese kaum kulit putih. Namun konsep privilese itu baru benar-benar dijadikan studi saat Peggy McIntosh, akademia yang belajar tentang kajian perempuan, menulis paper yang berjudul "White Privilege and Male Privilege” (Privilese Kaum Kulit Putih dan Pria). McIntosh menuliskan 46 contoh sederhana dari privilese kaum kulit putih. Di antaranya: tak perlu menerima beban menjadi representasi dari ras kulit putih, bisa belanja di toko tanpa diikuti dan dicurigai, tak perlu khawatir ketika distop polisi atau diaudit petugas pajak, dan banyak lagi hal-hal yang sepertinya remeh tapi menjadi sandungan bagi mereka yang bukan ras kulit putih di Amerika.

Di Indonesia, privilese sejenis pun terjadi. Mereka yang memeluk agama mayoritas lebih mungkin menduduki jabatan tinggi di pemerintahan. Itu salah satu privilese yang kadang dianggap remeh namun menjadi kekuatan yang tak disadari. Laki-laki memiliki privilese berlebih dibandingkan perempuan, dan makin menguat ketika beragam privilese yang tak dimiliki perempuan ditambahkan, menjadi faktor yang menguntungkan.

Privilese memang muncul dalam beragam bentuk. Dari mulai privilese ras (etnisitas), privilese soal sosial-ekonomi, privilese memiliki agama mayoritas, privilese jenis kelamin, hingga ke privilese orientasi seksual. Kaum heteroseksual, misalnya, jelas memiliki privilese dibandingkan kaum homoseksual, dari soal penerimaan masyarakat.

Beragam bentuk dan ukuran sukses

Ketika ditunjukkan privilesenya, banyak orang yang merasa tersinggung dan menjadi defensif. Padahal, memiliki privilese bukan berarti seseorang itu buruk atau tak memiliki tantangan dan cobaan dalam hidupnya. Atau bukan berarti mereka yang memiliki privilese tak bekerja keras untuk meraih sukses. Seseorang yang meraih sukses dengan bantuan privilese tak perlu merasa bersalah dengan kesuksesannya.

Privilese memberikan pijakan yang berbeda pada dua orang yang bertarung untuk memperebutkan hal yang sama. Privilese artinya ada sistem yang tak adil, yang memberikan keuntungan bagi seseorang dibandingkan yang lain, meskipun mereka memiliki potensi yang sama. Yang bisa dilakukan mereka yang memiliki privilese adalah tidak menutup mata akan adanya tekanan yang menghalangi kesempatan orang lain untuk sama-sama maju, dan ikut menyuarakan ketidakdilan tersebut.

Tapi tak perlu merasa terobsesi dengan kesuksesan orang lain yang diembel-embeli faktor privilese. Sukses datang dalam beragam bentuk dan ukuran. Bagi yang kebetulan tidak memiliki banyak privilese bukan berarti jalan tertutup. Artinya, kerja yang dibutuhkan untuk sukses menjadi lebih keras. Dan tak perlu merasa gagal bila kesuksesan diperoleh tak fantastis sampai membuat orang terkagum-kagum. Ukuran kesuksesan, toh, bukan hanya Bill Gates, atau bos Go-Jek, Nadien Makarim. Sukses bisa juga berarti seperti ditunjukkan Raeni, wisudawati Universitas Negeri Semarang dengan predikat cum laude yang datang ke lokasi acara wisuda dengan menggunakan becak yang dikendarai oleh ayahnya, Mugiyono. Atau sesederhana sukses tukang bubur gerobak di Bogor yang mampu berangkat haji dari keuntungan hasil berjualan bubur.

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah ini.