1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Pro dan Kontra Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

4 November 2019

Ekonom senior INDEF, Prof. Didik Rachbini, menilai layanan BPJS Kesehatan harus tetap hadir bagi masyarakat Indonesia karena merupakan amanah langsung dari Undang-Undang Dasar.

https://p.dw.com/p/3SQIL
Indonesien |  Health Care and Social Security Agency
Foto: DW/Rizki Akbar Putra

Presiden Joko Widodo telah tetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar dua kali lipat mulai 1 Januari 2020 mendatang. Kebijakan ini pun menjadi perdebatan dalam beberapa waktu terakhir. Banyak pro dan kontra seputar hal tersebut.

Tarif iuran kelas III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Selain itu, iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per bulan. Sementara iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dua kali lipat dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per bulan untuk tiap peserta.

Menanggapi ini, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Didik Rachbini, menyampaikan bahwa jaminan layanan kesehatan seperti BPJS Kesehatan harus tetap hadir bagi masyarakat Indonesia karena merupakan amanah langsung dari Undang-Undang Dasar.

"Jika presiden mengurangi atau menghentikan dana desa, dana alokasi khusus, subsidi BUMN dengan nama PMN, atau mengurangi raskin, maka tidak ada delik khusus karena tidak ada secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar. Tetapi jika BPJS berhenti, presiden melanggar pasal 28H, ditambah lagi pasal yang memperkuat, yakni pasal 34 ayat 2," terang Didik dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia, Senin (04/11).

Didik prihatin dengan kondisi jaminan sosial dan kesehatan yang berlaku di Indonesia karena defisit yang kian membengkak. Di negara lain, menurut Didik, jaminan sosial dan kesehatan dapat diimplementasikan dengan baik.

"Padahal bisa mencontoh banyak negara lain, yang sudah menjalankan kebijakan jaminan sosial dan kesehatan ini sudah sampai satu abad lamanya. Kita baru saja menjalankannya tapi sudah bermasalah berat yang bisa membangkrutkan BPJS," tambahnya.

Didik berpendapat, golongan mampu tidak diperkenankan mendapat subsidi dari pemerintah, dan BPJS bisa menerapkan kebijakan dengan skema komersial bagi mereka. "Kelompok ini adalah golongan profesional akuntan, arsitek, dokter, pegawai negeri golongan atas, guru dengan tunjangan profesi yang tinggi, pegawai swasta dengan gaji tinggi. Skema komersial mesti dijalankan dan golongan kaya tidak boleh masuk skema subsidi sehingga BPJS bisa bernafas," jelasnya.

Ia juga menambahkan agar pemerintah mengurangi pos anggaran yang tidak relevan dengan kesejahteraan rakyat sehingga dapat dialokasikan kepada BPJS. "Contohnya, kurangi dari subsidi kepada BUMN yang menelan puluhan triliun dana negara, dari alokasi dana khusus yang tidak efisien, ditarik dari ratusan dana daerah yang dipendam di perbankan," pungkas Didik.

Baca jugaSiap-siap! Nunggak Iuran BPJS Tak Bisa Urus SIM dan Paspor

Tagar boikot BPJS

Diketahui hari ini, laman media sosial Twitter diramaikan oleh cuitan netizen yang menagarkan #BoikotBPJS. Netizen mengeluhkan soal kenaikan iuran BPJS sebesar dua kali lipat. Mereka juga mengkritik pernyataan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris sebelumnya, soal menabung Rp 5.000 per hari untuk membayar tagihan BPJS yang dinilai sebagai bentuk pemaksaan.

Menanggapi ini, Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf mengingatkan masyarakat bahwa BPJS Kesehatan merupakan solusi bersama untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.

"Jika diboikot, sama saja kita menyetujui untuk menghilangkan kesempatan masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan yang terbentuk dari iuran pesertanya,” jelas Iqbal dilansir Kompas.com, Senin.

Iqbal menambahkan, selama beberapa tahun terakhir ini BPJS Kesehatan telah menolong banyak orang yang membutuhkan jaminan kesehatan. Iqbal pun mengimbau agar masyarakat memilih kelas BPJS Kesehatan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

"Makanya bisa sesuai kemampuan untuk pilihan kelasnya. Jika memang tidak memiliki kemampuan membayar atau masuk kriteria PBI (Penerima Bantuan Iuran), bisa di-cover pemerintah yang membayarkan iurannya," ujarnya.

Baca jugaKebijakan Reformasi Anggaran Pemerintah Dikritik

Dana Rp 14 triliun dari Kemenkeu

BPJS Kesehatan tahun ini diprediksi akan mengalami defisit sekitar Rp 32 triliun. Angka tersebut akan ditutupi sebagian dari penyesuaian iuran khusus PBI pusat dan derah yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2019. Sehingga dalam lima bulan terakhir, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan akan membayarkan selisih iuran dari Rp 25.500 ke Rp 42.000 sekaligus kepada BPJS Kesehatan.

Begitu juga dengan penyesuaian iuran yang diberlakukan kepada PPU Pemerintah. Dalam Perpres, kenaikan iuran baru berlaku pada Oktober 2019. Dengan begitu, kementerian yang dipimpin Sri Mulyani ini akan mencairkan sekitar Rp 13,56 triliun kepada BPJS Kesehatan. Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk membayar tunggakan BPJS kepada rumah sakit-rumah sakit mitra BPJS.

rap/ae (dari berbagai sumber)