1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pro Kontra Hukum Mahar di India

Tanushree Sharma Sandhu / Richard Connor4 Oktober 2012

Pemberdayaan perempuan India telah dilancarkan selama beberapa dekade, namun lelaki tetap mendominasi masyarakat. Tapi kini kaum Adam mengeluhkan diskriminasi hukum.

https://p.dw.com/p/16JGn
Foto: picture-alliance/dpa

Masyarakat India boleh saja didominasi lelaki, namun dalam hal hukum, tidak semua warga akan sepakat bahwa kaum lelaki diuntungkan.

Hukum yang selama ini digunakan untuk memberdayakan perempuan kini dikritik sebagai tidak adil bagi kaum Adam karena kerap berujung pada tuntutan palsu dan bahkan aksi bunuh diri.

Undang-undang yang paling sering disalahgunakan dikenal sebagai "Section 498a." Undang-undang yang diamandemen 30 tahun lalu dengan tujuan melindungi seorang istri dari tuntutan mahar secara terus-menerus dari pihak keluarga suami. Pada kasus-kasus ekstrem, seorang pengantin perempuan dapat dibunuh oleh keluarga pengantin lelaki atau didorong untuk bunuh diri.

Ein Gatter vor einem blauen Himmel mit Wolken
Lelaki dapat dipenjara tanpa proses hukum apabila melanggar hukum maharFoto: picture alliance / Romain Fellens

Namun pada kasus rumah tangga yang bermasalah atau pertikaian, muncul kritik bahwa hukum kerap disalahgunakan untuk membuat hidup sang suami serta keluarganya menderita.

Melanggar hukum mahar dianggap sebagai tindak pidana di India. Dalam hal ini, suami maupun anggota keluarganya apabila dituding berkelakuan brutal dapat langsung dijebloskan ke penjara tanpa surat perintah penahanan maupun kemungkinan bebas dengan uang jaminan.

Undang-undang spesifik

Lebih lanjut, ada 15 undang-undang lainnya yang spesifik untuk melindungi para istri dan menantu perempuan yang disebut-sebut kerap disalahgunakan. Yakni hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan pelecehan seksual. Para aktivis hak kaum lelaki juga menilai tidak ada satu undang-undang pun yang melindungi kaum Adam.

Suhaib Ilyasi, seorang produser, direktur dan pembawa acara realitas televisi, India's Most Wanted, menganggap dirinya sebagai korban sistem hukum yang cacat. Ia terseret ke dalam kasus uang mahar setelah istrinya bunuh diri.

"Masyarakat secara keseluruhan yakin bahwa hanya kaum perempuan yang menjadi korban kejahatan," jelas Ilyasi kepada DW.

Ilaysi telah menjadi produser dan menyutradarai sebuah film yang terinspirasi insiden dalam kehidupan nyata yang menunjukkan bahwa sejumlah undang-undang yang dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan justru disalahgunakan. "Melalui film kami menuntut terciptanya hukum yang netral jenis kelamin," tambahnya.

Dinilai diskriminatif

Menurut biro catatan kriminal nasional India, pada tahun 2011 angka bunuh diri lelaki yang sudah menikah dua kali lipat dibandingkan perempuan yang sudah menikah. Pada kelompok usia 45 hingga 49 tahun, jumlahnya bahkan hampir mencapai 3 kali lipat.

Braut in Indien
Amandemen hukum mahar dimaksudkan melindungi pengantin perempuanFoto: AP

Atit Rajpara, presiden Asosiasi Hak-Hak Lelaki (MRA) yang berbasis di Pune, mengklaim kesenjangan terjadi akibat penyalahgunaan hukum terhadap lelaki. Asosiasi tersebut menerima 15-20 pengaduan lewat telpon per hari dari para suami atau lelaki yang belum menikah yang merasa dirugikan.

"Tampaknya tidak ada yang peduli untuk mendengarkan keluhan lelaki, sementara semua orang siap mendengarkan permasalahan perempuan," ungkap Rajpara yang mengalami sendiri penyalahgunaan hukum. "Hal ini membuat kaum lelaki tak berdaya."

Rajpara mengaku mendukung pemberdayaan perempuan namun tidak setuju bahwa hak-hak istimewa lelaki harus dirampas.

"Pemberdayaan harusnya melalui pekerjaan, pendidikan, dan peluang kerja. Hukum tertentu harus tetap netral jenis kelamin," tandasnya. "Kami ingin membuat masyarakat mengerti bahwa tidak semua lelaki kriminal. Prasangka terhadap lelaki harus dihapus," ujar Rajpara.

Pendapat Neena Dhulia, anggota dan koordinator Forum Perlindungan Ibu Mertua di India, senada dengan Rajpara. Ia beserta suami dan anak lelakinya pernah dikenai tuntutan palsu mengenai mahar dan kekerasan domestik oleh sang menantu perempuan.

"Tidak salah untuk mengatakan bahwa hukum yang dimaksudkan untuk memberdayakan perempuan ini lebih baik disebut hukum anti-lelaki," tegas Dhulia.

Kekerasan mahar

Indische Rupien
Ketentuan mahar dapat memberi tekanan finansial bagi keluarga pengantin perempuanFoto: AP

Namun, Ranjanana Kumari, direktur Pusat Riset Sosial, menilai para aktivis yang memperjuangkan hak-hak lelaki luput dalam mengangkat permasalah yang lebih besar, yakni kekerasan terhadap perempuan yang kerap dilancarkan demi mendapatkan uang mahar.

"Mereka melupakan realitas beragam kekerasan yang dihadapi perempuan India. Mereka tidak menghiraukan 8000 perempuan yang terbunuh setiap tahunnya di India hanya karena sengketa mahar," tukasnya.

Meski Kumari tidak menampik bahwa perlakuan terhadap lelaki terkadang berlebihan. Ia menyerukan kepada para korban tuntutan palsu beserta keluarga untuk memulai kampanye melawan sistem dengan berjanji untuk tidak memberi ataupun menerima mahar.