1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Problem Ekonomi Pasca Musim Semi

Andreas Becker5 November 2012

“Musim Semi Arab“ memaksa empat kepala negara terlempar dari kekuasaan. Mesir kini memiliki pemerintahan yang terpilih secara demokratis. Tapi apa makna “Musim Semi Arab” bagi ekonomi?

https://p.dw.com/p/16c4i
Foto: AP

Pemberontakan di Timur Tengah dan Afrika Utara lebih banyak terkait dengan politik dibanding ekonomi. Negara-negara seperti Mesir bukanlah sebuah negara dengan sistem ekonomi sosialis terpusat.

“Jika dibandingkan dengan standar internasional, bank-bank Mesir ada dalam kondisi baik,“ kata Volker Perthes, Direktur German Institute for International and Security Affairs di Berlin. "Tapi mereka hanya memberikan pinjaman kepada sekitar 30 keluarga yang punya hubungan baik dengan rezim.“

Salah satu konsekuensinya adalah 99 persen perusahaan di Mesir adalah bisnis kecil yang dijalankan keluarga yang pemiliknya tak punya pilihan lain kecuali mandiri, demikian menurut Markus Loewe dari German Development Institute. Bagi mereka, gejolak politik membuat mereka melakukan pemotongan drastis.

Pertumbuhan yang Rendah

"Pada hampir semua bagian sejauh ini, yang kami lihat hanyalah efek negatif dari revolusi,” kata Loewe. ”Di semua negara-negara ini (yang terkena revolusi-red), pertumbuhan ekonomi hancur.”

Beberapa sektor yang produksi utamanya ditujukan bagi pasar dalam negeri telah runtuh.

“Itu karena para kepercayaan konsumen telah menurun dengan tajam,“ kata Loewe melanjutkan. “Ketidakpastian tentang perkembangan masa depan telah memainkan peranan utama.“

Ketidakpastian itu juga telah menyurutkan para investor luar negeri dan menurunkan daya saing, kata Loewe.

“Banyak upah yang nilainya dekat dengan garis kemiskinan,” tambah dia. “Namun karena banyak pekerja yang tidak memiliki pelatihan dan pendidikan yang memadai, produktifitas menjadi lebih rendah secara signifikan di negara-negara ini, dibanding hampir semua negara-negara lain di Asia Timur.“

Mohammed Morsi
Presiden Mesir Morsi turut berada di bawah tekananFoto: AP

Pemerintah baru di Mesir kini sedang berjuang mengatasi defisit anggaran yang terus berkembang. Ini disebabkan antara lain karena ekonomi yang melemah dan naiknya pengeluaran seiring tingginya subsidi negara untuk energi dan makanan.

“Subsidi jumlahnya seperlima dari seluruh pengeluaran pemerintah,“ kata Hanan Morsy dari European Bank for Reconstruction and Development. "Diperlukan segera investasi swasta di bidang infrastruktur yang selama ini terabaikan.”

Masalah Energi dan Air

Pemerintah Mesir ingin mereformasi program subsidi dan melakukan itu adalah sebuah syarat awal yang ditetapkan untuk mendapat pinjaman yang nilainya hampir 5 milyar dollar Amerika dari Lembaga Keuangan Internasional IMF.

Investasi yang diperlukan dalam infrastruktur daerah juga merupakan sebuah kesempatan. Negara-negara seperti Mesir, khususnya tertarik menjalin kerjasama bisnis dalam bidang energi dan teknologi lingkungan, kata Bruno Wenn, pimpinan perusahaan pengembang keuangan DEG.

"Mesir memiliki celah energi yang besar,” kata dia. ”itu saja sudah membuat para investor menjauh. Selain itu, negara ini akan mempunyai masalah besar dengan air dalam dua atau tiga tahun ke depan, karena air di sana semakin terkena polusi.“

Pyramiden Ägypten Gizeh
Turisme Mesir menderita setelah revolusiFoto: AP

Negara ini, oleh karena itu memerlukan investasi pembangkit listrik, fasilitas pengolahan air dan sistem irigasi, demikian pendapat Wenn.

“Kita sebagai orang Jerman memiliki pengalaman dan teknologi yang diperlukan,“ pungkas dia. “Kita harus menggunakannya di Mesir.“

Wenn menambahkan jika ada jaminan hukum yang lebih kuat di banyak negara Arab, maka akan lebih mudah bagi para pebisnis untuk membuka usaha, sebagaimana di negara-negara BRIC yakni Brasil, Rusia, India dan Cina.

Bisnis dan Politik

Manajer keuangan Fabrice Callet juga menekankan kesempatan yang tersedia di wilayah ini bagi para investor. Callet bekerja untuk Abraaj Capital yang berbasis di Dubai, sebuah perusahaan investasi yang mengkhususkan diri di negara-negara berkembang.

Callet menncoba untuk mengikuti salah satu aturan terutama saat mengambil keputusan investasi di negara-negara Arab: ”Kami tidak ingin menjalankan bisnis di sana jika tidak punya pengaruh politik.”´

Jika sebuah perusahaan tergantung pada perkembangan ekonomi, kata dia, maka akan sulit bagi seorang investor untuk menilai perkembangan selanjutnya.

“Terlebih lagi, di sana juga ada resiko korupsi dan usaha menjajakan pengaruh politik, yang tidak kami inginkan,“ tambah Callet.

Sebelum revolusi, militer Mesir telah memiliki pengaruh besar dalam ekonomi negara tersebut.

"Setelah terpilihnya Presiden baru Mesir Mohammed Morsi, kami melihat adanya semacam gencatan senjata antara tentara dengan para pemimpin politik,” kata Perthes. ”Presiden telah mencopot pimpinan militer dari jabatannya. Pada saat bersamaan, dia memberikan pekerjaan yang relatif menguntungkan bagi orang-orang yang dipensiunkan.”

Perthes menambahkan bahwa pesan bagi militer jelas: “Kami ingin anda setia. Dan kami tidak akan mengganggu hak-hak istimewa ekonomi anda.“