1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Prospek Investasi Jerman di Malaysia

24 Juni 2010

Zona perdagangan bebas ASEAN, AFTA didirikan oleh Indonesia, Malaysia, Singapura , Filipina dan Thailand, ditambah Brunei Darussalam. Bagaimana kesempatan Jerman untuk berbisnis di kawasan itu, khususnya Malaysia?

https://p.dw.com/p/O2Qh
Kuala LumpurFoto: dpa - Fotoreport

Sejak awal tahun 2010 negara-negara Asia Tenggara telah memiliki perjanjian perdagangan bebas AFTA, sebuah zona perdagangan bebas dengan setengah milyar konsumen dan ekonominya yang terus bertumbuh.

Malaysia menempati urutan ketiga negara-negara ASEAN yang mempunyai hubungan dagang dengan Jerman, di bawah Indonesia dan Singapura. Malaysia berniat untuk menanggalkan perannya sebagai subkontraktor perusahaan-perusahaan elektronik negara-negara barat. Untuk mampu bersaing dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, Malaysia berupaya mengatasi ketergantungan akan minyak dan gas bumi, yang dibutuhkan oleh 45% produksi ekonomi negara tetangga Indonesia itu. Oleh sebab itu, pemerintahan di Kuala Lumpur ingin memperkuat industri pengolahan di negaranya. Yang menarik adalah sektor energi terbarukan, ujar kepala kamar dagang Jerman-Malaysia, Alexander Stedfeld di Kuala Lumpur: „bila kita menimbang bahwa Malaysia 40 persen pembangkit energinya berasal dari gas, maka kuota itu masih terlalu tinggi. Itu artinya, jika kita bicara dalam segmen infrastruktur ini, kita melihat kesempatan contohnya dalam energi terbarukan dan di Malaysia paling lambat tahun depan sudah membangun pasar yang sesungguhnya.“

Pada bulan Maret 2010, Malaysia mengadopsi hukum penyediaan energi Jerman, yang akan mulai diterapkan tahun 2011. Sebagaimana halnya di Jerman, dalam sepuluh tahun terakhir, percepatan ekonomi di Malaysia akan terpicu, yaitu pada perusahaan-perusahaan yang menawarkan teknologi energi terbarukan. Demikian diyakini para pakar kamar dagang Jerman-Malaysia.

Perusahaan teknik tenaga surya Q Cells, mengetahu potensi ini dan sudah sekitar setahun mempekerjakan 400 pegawai dalam memproduksi pemanfaatan sel surya, di lokasi yang tak jauh dari Kuala Lumpur: „Oleh karenanya, Q Cells merupakan pendekatan awal yang menarik, sebab kita ingin melangkah lebih jauh. Orang melihat Malaysia sebagai lokasi, yang dapat kita bangun bagi perusahaan ini menjadi seperti sebuah pusat di Asia, yang tentu saja akan tergantung pada pihak-pihak lainnya juga. Jika kita bergerak di bidang panel surya, kita juga akan membutuhkan lempeng kaca yang pas untuk panel surya itu. Itu artinya, kita membutuhkan industri kaca yang mampu diandalkan, kita juga memerlukan pemasok di sektor lainnya. Struktur dasarnya sudah ada, kini hanya tergantung pada sedikit faktor apakah ini bisa berhasil dan saya optimistis, bahwa pemerintah Malaysia mengetahui kesempatan ini dan akan menggapainya.“

Di luar sektor tersebut, Malaysia juga mempunyai industri kesehatan besar milik pemerintah dan memiliki sejumlah klinik swasta. Negara tersebut memang mempunyai penduduk berusia sangat muda, tetapi mereka bertambah umur dan dengan bertambahnya kesejahteraan, maka tuntutan atas standar layanan kesehatan yang baik juga semakin meningkat.

Sementara industri otomotif Jerman, apabila ingin melebarkan sayapnya, masih harus bersabar, sampai mereka dapat mendirikan pabrik yang lengkap di salah satu negara ASEAN. Karena pasar otomotif saat ini juga diatur dengan sangat ketat dalam perjanjian awal zona perdagangan AFTA: „Bagi perusahaan otomotif Jerman, hingga kini masih belum menguntungkan untuk membangun pabrik mobil di sana. Pabrik yang lengkap harus memproduksi hingga 50 ribu unit, namun tak ada pasarnya.“

Demikian ujar Alexander Stedfeld. Namun seiring berjalannya waktu, akan tiba saatnya pasar terbuka, demikian diyakini orang nomor satu perwakilan ekonomi Jerman di Malaysia itu. Paling tidak antara tahun 2015 dan 2020, batasan perdagangan terakhir ini akan runtuh.

Thomas Kohlmann / Ayu Purwaningsih

Editor : Marjory Linardy