1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Menakar Prospek Jamu di Masa Depan

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
4 Agustus 2023

Apakah generasi muda Indonesia juga minum jamu tradisional? Sumanto al Qurtuby tentang masa depan jamu Indonesia.

https://p.dw.com/p/4K0Fk
Beberapa jenis minuman jamu beserta bahan-bahannya
Jamu-jamuan khas IndonesiaFoto: privat

Dalam sebuah acara bertajuk "Iinternational Online Summer Course” tentang jamu yang diadakan oleh Universitas Diponegoro, ada seorang peserta yang menanyakan sulitnya mencari jamu di mall/supermarket. Ada juga yang menanyakan tentang kiat agar jamu tradisional bisa diapresiasi oleh generasi milenial dan generasi Z. Peserta lain menanyakan tentang strategi agar jamu tradisional bisa berkompetisi dengan produk obatan-obatan modern.

Sejumlah pertanyaan tersebut menggelitik karena bisa jadi hal ini merupakan refleksi atas kondisi atau eksistensi jamu saat ini yang kurang baik atau cukup mengkhawatirkan. Saat itu saya menyampaikan tema tentang simbol, mitos, dan fungsi jamu tradisional khususnya di Jawa (tetapi juga Madura dan Bali). Selain itu, saya juga memaparkan tantangan eksistensi jamu(termasuk industri perusahaan jamu) di masa depan di tengah serbuan obat-obatan kimiawi modern (termasuk industri/perusahaan farmasi) atau ramuan tradisional herbal mancanegara, khususnya dari Cina.

Tantangan eksistensi dan perkembangan jamu

Memang harus diakui perkembangan jamu atau industri jamu tidak bisa disejajarkan dengan, misalnya, industri farmasi. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah maupun masyarakat yang peduli terhadap eksistensi dan perkembangan jamu tradisional di masa mendatang.

Menurut data dari kementerian kesehatan dan industri, pasar farmasi Indonesia itu terbesar di Asia Tenggara dengan total "market value” sebesar 10,11 miliar dolar AS. Kementerian juga mencatat ada ratusan perusahaan besar yang bergerak di bidang farmasi, sementara perusahaan besar jamu bisa dihitung dengan jari. Sebut saja Perusahaan Jamu Air Mancur, Jamu Sido Muncul, Jamu Jago, Nyonya Meneer, atau Jamu Iboe.

Dari data singkat ini saja sudah bisa diketahui kalau jamu tradisional Nusantara terseok-seok jika bersaing dengan obat-obat modern. Belum lagi serbuan obat-obat herbal-tradisional Cina yang begitu deras menjangkau pasar-pasar lokal Indonesia karena harganya yang relatif murah sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan kelas sosial serta dipercaya ampuh menyembuhkan aneka penyakit. Konsumen obat-obat herbal Cina di Indonesia bukan hanya masyarakat Cina (Tionghoa) tetapi juga masyarakat atau warga non-Cina. 

Di antara obat-obat herbal Ciina yang legendaris adalah Lo Han Kuo (untuk mengobati paru-paru dan panas dalam), Pien Tze Huang (obat anti biotik yang dijuluki "raja obat” karena dianggap mampu mengatasi infeksi/peradangan, mempercepat penyembuhan akibat luka, atau memelihara fungsi hati), Yunnan Baiyao (untuk mengatasi luka luar), Fufang Ejiao Jiang (untuk menambahkan trombosit dan hemoglobin darah), dlsb.

Baik dari segi modal/kapital, sumber dana/finansial, atau jaringan global-internasional, jamu tradisional sulit disandingkan dengan produk obat modern atau obat herbal Cina. Fenomena ini persis seperti home industry (industri rumahan) yang kalah bersaing dengan industri nasional, global, dan transnasional. Atau, agama dan kepercayaan lokal Indonesia yang kembang-kempis eksistensinya lantaran diserbu oleh agama-agama besar dunia, khususnya Islam dan Kristen (dulu Hindu dan Buddha). Atau aneka kesenian daerah yang hidup segan mati tak mau karena kalah bersaing dengan kesenian modern.

Meskipun sejumlah pihak yang komitmen terhadap eksistensi dan perkembangan jamu sudah berusaha untuk menciptakan berbagai slogan (dan "mitos”) untuk menaikkan pamor, daya jual, dan daya pikat jamu tradisional, "ramuan rusantara” ini tetap saja sulit bersaing merebut pasar global/nasional dan hati masyarakat luas. Ada slogan-slogan yang populer didengungkan terkait jamu, misalnya jamu bisa meningkatkan seksualitas (lelaki maupun perempuan seperti ramuan madura atau kuku bima), meningkatkan kecerdasan atau intelektualitas, jamu sebagai minuman raja-raja Jawa, atau jamu sebagai obat segala macam penyakit.  

Simbol dan fungsi jamu

Fenomena ini tentu saja sangat disayangkan mengingat jamu memiliki sejumlah simbol penting yang berkaitan dengan ke-Indonesia-an atau ke-Nusantara-an. Misalnya, oleh masyarakat Indonesia, jamu dianggap sebagai lambang kehidupan manusia sehari-hari. Rasa jamu yang beraneka ragam – pahit, asam, kecut, manis – adalah simbol dari kehidupan manusia yang warna-warni: adakalanya getir tapi pada waktu yang lain sangat manis. Jamu juga sebagai lambang kemampuan teknologi kesehatan tradisional serta pengetahuan praktik pengobatan tradisional. Selanjutnya, jamu juga simbol "kearifan lokal” (local wisdom),  peradaban klasik Indonesia, identitas Nusantara serta keramahan terhadap alam lingkungan.

Selain memiliki sejumlah simbol, jamu juga mempunyai sejumlah fungsi penting, baik fungsi kesehatan maupun sosio-kultural dan ritual-keagamaan. Di antara fungsi jamu adalah untuk mengobati penyakit tanpa efek samping, mencegah dan mengatasi masalah (problem) yang berkaitan dengan penyakit, serta menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Selain itu, jamu juga berfungsi untuk melestarikan tradisi, budaya dan kearifan lokal serta digunakan untuk upacara ritual keagamaan untuk mengobati atau menyembuhkan aneka bencana dan penyakit yang disebabkan oleh "kekuatan supernatural” seperti pagebluk, kesurupan, kutukan, dlsb.

Diperlukan kerja keras semua pihak

Diperlukan usaha ekstra keras dan dukungan semua pihak-pemerintah, pebisnis, edukator, praktisi medis, dan masyarakat luas-agar jamu tidak punah dari bumi Nusantara. Mereka harus kreatif membuat atau meramu jamu agar bisa memikat semua kalangan, termasuk generasi muda, kelas menengah-atas, dan masyarakat urban. Hal ini bukan persoalan yang mudah. Harus diakui jamu selama ini masih identik (atau diidentikkan) dengan generasi tua, kelas bawah, dan masyarakat pedesaan.

Sejauh ini, jamu belum bisa "naik kelas” dan menjadi selera kalangan muda (generasi milenial dan Z), kelas menengah-atas, dan masyarakat perkotaan, khususnya "generasi terpelajar.” Oleh karena itu dibutuhkan maestro jamu kontemporer yang bisa meramu aneka ragam sumber-sumber herbal atau botanikal Nusantara (daun, bunga, akar, kulit pohon, madu, dlsb) menjadi sebuah jamu yang berkelas sehingga bisa menarik dan menjangkau segmen pasar yang lebih luas.

Di dunia jamu tradisional dibutuhkan sosok-sosok maestro kreatif nan jenius yang mampu membangkitkan industri jamu dan menaikkan pamor jamu tradisional seperti sosok almarhum Didi Kempot di dunia musik campursari, almarhum Ki Seno Nugroho di dunia wayang, atau Endah Laras di dunia keroncong. Sangat disayangkan seandainya jamu yang sangat historis serta erat dengan identitas dan kearifan lokal nusantara ini kemudian lenyap di kemudian hari lantaran sepi dukungan, sepi peminat, kurangnya modal sosial-finansial, tak mampu bersaing dengan obat modern dan herbal Cina, atau tiadanya maestro peramu jamu kontemporer.

 

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.