1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Protes di Thailand Bidik Militer dan Kerajaan

17 Agustus 2020

Belasan ribu warga Thailand berdemonstrasi menentang pemerintahan Prayuth Chan-ocha dan menuntut pelucutan kekuasaan monarki. Pemerintah menebar pesan damai, sembari menangkapi aktivis pro-demokrasi. 

https://p.dw.com/p/3h3oj
Para demonstran di Thailand menuntut pembubaran parlemen dan pemerintah, serta menuntut pemilihan umum baru, 16/8
Para demonstran di Thailand menuntut pembubaran parlemen dan pemerintah, serta menuntut pemilihan umum baru. Mereka juga menuntut pelucutan kekuasaan monarki terhadap konstitusi, militer dan keuangan.Foto: Reuters/S.Z. Tun

Lebih dari 10.000 penduduk Thailand turun ke jalan sembari meneriakan yel-yel “jatuhkan kediktaturan” dan “negara milik rakyat” di Bangkok, Minggu (16/8). Aksi tersebut merupakan demonstrasi anti-pemerintah terbesar sejak kudeta 2014. 

Kelompok mahasiswa yang ikut bergabung dikabarkan ikut menuntut pelucutan kekuasaan Monarki Thailand, sesuatu yang selama ini dianggap tabu. Mereka juga menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, konstitusi baru dan pengehentian praktik penganiayaan terhadap aktivis oposisi. 

“Kami ingin pemilu dan parlemen baru dari rakyat,” kata aktivis mahasiswa, Patsalawalee Tanakitwiboonpon. “Yang terakhir, mimpi kami adalah memiliki monarki yang berada di bawah konstitusi.” 

Hampir setiap hari mahasiswa memimpin aksi protes anti-pemerintah di Bangkok sejak beberapa bulan terakhir. 

Prayuth memenangkan pemilu tahun lalu, yang oleh oposisi diyakini telah dimanipulasi. Amarah penduduk semakin tersulut oleh dugaan korupsi, penangkapan sejumlah aktivis mahasiswa dan dampak ekonomi pandemi corona. 

10 tuntutan reformasi

“Perdana menteri mengirimkan pesan kepada aparat keamanan dan demonstran agar mencegah kekerasan,” kata Traisulee Traisoranakul, jurubicara pemerintah. Dia mengatakan Prayuth telah memerintahkan kabinetnya untuk ikut membangun jembatan antargenerasi. 

Mahasiswa mengajukan 10 tuntutan reformasi terhadap kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn, termasuk membatasi kewenangan monarki atas konstitusi, kas kerajaan dan militer. “Jatuhkan feodalisme, hidup Rakyat,” teriak sejumlah demonstran. “Kami tidak ingin lagi menjadi debu bagi siapapun.” 

Konstitusi Thailand sebenarnya mengancam hukuman kurung hingga 15 tahun bagi yang mengritik atau menghina monarki. Tapi Prayuth menjamin kerajaan telah meminta pemerintah agar tidak menggunakan pasal tersebut untuk saat ini. 

Pada saat yang bersamaan, sekelompok loyalis monarki berdemonstrasi sembari membawa potret besar raja dan anggota keluarga kerajaan lainnya. “Saya tidak peduli jika mereka memrotes pemerintah, tapi mereka tidak bisa menyentuh kerajaan,” kata Sumet Trakulwoonnoo, Koordinator Perhimpunan Mahasiswa Vokasi untuk Perlindungan Institusi Nasional (CVPI). 

Nafas panjang kelompok pro-demokrasi

Kerajaan dituduh ikut membantu militer memperluas kekuasaannya di pemerintahan Thailand. Tapi jika aksi demonstrasi di masa lalu sering berujung bentrokan dengan aparat keamanan, kali ini situasinya lebih kondunsif. “Saya sudah tua sekarang dan saya tidak mampu mengejar mimpi saya,” kata Ueng Poontawee, 62, yang dulu ikut berdemonstrasi melawan kudeta terhadap bekas PM Thaksin Shinawatra. 

“Sekarang ada banyak wajah baru. Saya senang mereka mau keluar,” imbuhnya. 

Sejauh ini kepolisian sudah mendakwa tiga pemimpin mahasiswa atas dugaan melanggar larangan berdemonstrasi. Ketiganya dibebaskan dengan uang jaminan. Namun polisi mengatakan sudah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap 12 tokoh lain. 

Dukungan bagi kelompok demonstran di Thailand juga datang dari Taiwan, di mana sejumlah orang berdemonstrasi di ibu kota Taipei sebagai bentuk “solidaritas dan dukungan bagi mereka yang mengimpikan kemerdekaan, kebebasan dan demokrasi di Asia,” tulis kelompok demonstran dalam siaran persnya.  

rzn/vlz (ap, rtr, afp)