1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Protes Membesar Karena Rasa Dikhianati Membesar

Indonesien Blogger Alif Nurlambang
Alif Nurlambang
28 September 2019

Jokowi gagal membangun kohesi sosial di ujung pemerintahannya yang pertama. Orang malah mulai curiga terhadap demokrasi dan mudah menuduh setiap aksi pernyataan aspirasi yang berbeda sebagai jalan menjatuhkan kekuasaan.

https://p.dw.com/p/3QMRg
Indonesien Jakarta | Studentenproteste vor dem Parlament
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Mahasiswa turun ke jalan di berbagai kota bak air bah, disusul persekutuan dengan pelajar, mengagetkan banyak orang. Termasuk kelompok-kelompok yang rajin bekerja di tingkat basis warga. Protes terhadap rencana pengesahan serangkaian rancangan undang-undang berujung pada kekerasan oleh aparat kepada pengunjuk rasa. Pemerintah menanggapi dengan anjuran menempuh jalur formal. Salah satunya lewat peninjauan yudisial ke Mahkamah Konstitusi.

Proses demikian tentu dianggap berlangsung lambat. Sementara pengunjuk rasa tak bisa menunggu. Tak mungkin pula menunggu pemilihan berikutnya untuk menghasilkan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat.

Tapi, penyebab utama dari kemarahan di jalanan adalah perasaan dikhianati. Pertama oleh politisi yang telah dipilih dan dipercaya karena memberikan janji-janji apik selama kampanye. Terlepas apakah lima tahun lalu kaum muda ini ikut dalam pemilihan umum atau tidak. Juga pernyataan-pernyataan politisi itu di media massa, dan media sosial. Kita mafhum, hampir semua politikus memiliki akun media sosial yang pernyataan atau penampakan imaji mereka sangat keren.

@AirlambangBekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement.
Penulis: Alif NurlambangFoto: Alif Nurlambang

Perasaan dikhianati kedua adalah oleh pemilih (voters) itu sendiri, terutama para warga senior. Berapapun jarak usia yang ada, warga senior dianggap tak secara cermat dan tepat menempatkan suara mereka: memilih karena bias pesona kandidat, kedekatan emosi, dan mudah dimanipulasi oleh penampakan-penampakan kandidat di media. Apapun rujukan media kaum muda ini, perasaan diabaikan muncul dalam dua rancangan undang-undang yang secara tergesa mau disahkan: revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Kedua produk legislasi itu menyentuh kepentingan semua orang. Tak terkecuali anak-anak muda yang juga enggan dengan perilaku korup dan keingingan penguasa untuk mengatur ranah pribadi yang masuk dalam hak azasi manusia. Logika sederhana yang bisa diterjemahkan dari pernyataan-pernyataan lapangan mereka, seperti artikulasi Greta Thunberg kepada pengambil keputusan dunia: kuasa ada pada kalian, tapi tak kalian gunakan.

Kuasa itu merujuk kepada kepentingan yang lebih mendasar untuk hidup yang lebih baik. Mahasiswa dan pelajar merasa bahwa mereka akan berhadapan dengan tantangan-tantangan hidup yang berbeda dengan kaum tua dan lebih rumit lagi. Sebagai warga muda yang tinggal di negara dengan kualitas pendidikan tak terlalu tinggi; tak memiliki temuan teknologi berarti dan hanya menjadi konsumen hi-tech; tingkat pendapatan yang dipercaya hanya mampu menjadi backpacker saat berwisata, kecuali lahir di keluarga beruntung; tak urung menciptakan kecemasan diam-diam akan hari depan. Tatkala mereka yang memiliki kuasa menghasilkan keputusan yang baik bagi hidup sehari-hari abai, maka kecemasan itu berubah menjadi kemarahan.

Pendek kata, ada kesenjangan yang dilupakan—sengaja atau luput: antara mereka yang memiliki kuasa untuk bertindak dan mereka yang harus hidup dengan konsekuensinya. Apapun yang dihasilkan kekuasaan, konsekuensinya ditanggung bersama. Itu sebab, pernyataan mahasiswa dan pelajar di jalanan senada dengan Thunberg: how dare you? Kok, kalian tega? Kok, bisa-bisanya?

Di sisi lain, kemarahan mahasiswa dan pelajar itu tak ditangkap sebagai kritik oleh kebanyakan kelompok pendukung kandidat yang memenangkan pemilihan umum. Aksi mahasiswa dan pelajar dianggap sebagai bahaya bagi kelangsungan kekuasaan yang mereka unggulkan. Bahasa yang disampaikan bisa: ingin menggagalkan Pelantikan Presiden pada 20 Oktober mendatang, atau mereka ditunggangi oleh oposisi (sekarang istilahnya masih "pihak yang kalah pemilu”). Dengan alasan yang sama bahwa sebagai warga dari negara yang hanya penting di mata dunia sebagai pasar dan sumber alam mentah, kelompok ini ingin Indonesia unjuk gigi. Mitos-mitos masa lalu sebagai bangsa besar digarisbawahi. Ambisi untuk bisa menang bersaing secara global menjadi obsesi setiap bangun pagi.

Syarat untuk mencapai keunggulan itu seolah hanya satu pintu: persatuan. Mutlak. Perbedaan pendapat—apalagi disampaikan dengan cara lantang—dianggap mengganggu kohesi sosial. Tidak solid, tidak bersatu, tidak segendang sepenarian, mana bisa loncat menjadi bangsa besar yang dipandang dunia. Kira-kira begitu anggapannya.

Diam-diam demokrasi pun menjadi sasaran kritik bagi kelompok kedua ini. Sebab, demokrasi memungkinkan suara-suara terbuka. Termasuk suara tanpa sopan santun, tanpa unggah-ungguh, dan menerabas jalur formal. Demokrasi lalu dianggap kurang adekuat menjamin kestabilan.

Parahnya, seringkali suara berbeda yang tak sopan itu dilabeli: pengkhianat. Veronica Koman adalah contoh terbaik untuk sangkaan tak terpelajar ini. Ia dianggap subversi untuk pembelaannya terhadap kepentingan hukum warga Papua yang ia wakili. Orang abai bahwa Veronica adalah pengacara publik yang wajib menjalankan tugas profesional dan panggilan kemanusiaan.

Ada dua ucapan berbeda yang saling beradu. Pertama, adalah bahasa nasionalisme—yang diwakili oleh pendukung stabilitas. Kelompok ini juga waswas karena masih terjebak dalam gulatan politik identitas. Di seberangnya adalah kaum muda yang sebetulnya telah mampu menjaga jarak dari pertarungan politik identitas itu, meski mereka ikutan jadi korban. Kaum muda, seperti biasa, berbahasa lebih lugas: hidup kami sehari-hari di masa depan.

Nasionalisme sendiri kerap menjebak. Perangkap yang sudah diwanti George Orwell, Mei 1945: sentimen yang mengganggu cara pikir. "Sebab setiap nasionalis,” kata Orwell, "memilih satu sisi, meyakinkan diri sendiri bahwa sisi yang ia pilih lebih kuat, mengabaikan alasan-alasan mereka yang berlawanan.” Orwell mungkin berlebihan dan sedikit keliru. Tentu saja tidak setiap nasionalis. Gejala gangguan berpikir akibat sentimen nasionalisme semacam itu agaknya hanya terjadi pada kebiasaan-kebiasan nasionalisme banal.

Pekerjaan rumah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) periode kedua dengan demikian terlampau berat. Ia bukan lagi "akan memerintah tanpa beban”. Tanpa menunggu waktu pelantikan tiba, Joko Widodo harus menunjukkan kepemimpinan yang tak goyah. Model kepemimpinan ini bukan berarti kukuh tanpa tawar pada apa yang telah telanjur ia ucapkan.

"Saya hanya melengkung, tidak patah,” kata Soekarno menjawab kritik Subardjo karena dianggap lemah menyikapi "kudeta diam-diam” Sjahrir, saat Republik masih amat bayi.

Kemauan mendengarkan suara jalanan tak akan membuat Jokowi dipandang lemah. Ia justru beroleh legitimasi kuat dari sana. Sebab, dapat dimaklumi Jokowi tak bisa terus menerus hanya mengandalkan dukungan partai politik yang bukan tanpa bayaran mahal. Lima tahun lalu, Jokowi muncul karena dukungan gerakan massa. Ia mestinya kembali ke garis itu.

Ia harus dapat membuktikan tajuk-tajuk media massa menjelang pemilihan presiden 2014: Jokowi adalah harapan. Dan harapan, seperti diucap Thunberg—remaja belia di hadapan raksasa dunia: baru ada karena tindakan. Pembuktian.

"Memerintah tanpa beban” agaknya mesti diterjemahkan pada kemampuan kukuh berhadapan dengan tawar menawar di koalisi. Jokowi hanya mampu mengalahkan kekuatan tawar ini bila ia membangun satu fraksi baru: massa. Alih-alih menempatkan aksi-aksi massa sebagai gangguan stabilitas, Jokowi diharapkan berkawan dan memimpin mereka berhadapan dengan pragmatisme partai politik di DPR.

Syaratnya jelas, tak boleh ada kekerasan terhadap aksi protes. Penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa, kekerasan yang dilakukan oleh aparat, harus dijawab dalam hitungan hari. Presiden mesti pula mengabaikan pendukung yang tak mau menerima perbedaan. Kelompok ini hanya akan membuang waktu lantaran terus-menerus cemas dan curiga. Mereka menghalangi Jokowi menyemai demokrasi yang progresif.

Sesungguhnya ia piawai bergaul dengan massa. Karena ia lahir dari sana. Putusnya tali pusar Jokowi dan massa dalam beberapa tahun terakhir yang harus dicari penyebabnya.

@Airlambang

Bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.