1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Proyek Pembangkit Batu Bara Asia Ancaman Bagi Target Iklim

30 Juni 2021

Rencana pembangunan ratusan pembangkit listrik batu bara oleh 5 negara Asia termasuk Indonesia dinilai akan mengancam pemenuhan target iklim. Pemerintah didorong untuk meletakkan fondasi bagi sistem energi terbarukan.

https://p.dw.com/p/3voNf
Foto ilustrasi pembangkit listrik di Dezhou, Cina
Foto ilustrasi pembangkit listrik di Dezhou, CinaFoto: Da Qing/dpa/picture alliance

Carbon Tracker, sebuah wadah pemikir nirlaba yang berbasis di London, melaporkan pada Rabu (30/06), lima negara Asia bertanggung jawab atas 80% pembangkit listrik batu bara baru yang direncanakan dibangun di seluruh dunia.

Kelima negara itu adalah Cina, India, Indonesia, Jepang dan Vietnam yang menurut laporan tersebut berencana membangun lebih dari 600 pembangkit listrik batu bara baru dengan gabungan kapasitas lebih dari 300 gigawatt.

Meskipun ada solusi energi terbarukan yang lebih murah, poyek-proyek ini terus dikebut sehingga mengancam upaya pemenuhan target Perjanjian Iklim Paris yang ingin membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, kata laporan tersebut.

"Benteng terakhir kekuatan batu bara ini seakan ‘berenang melawan arus', padahal ada energi terbarukan yang menawarkan solusi yang lebih murah untuk mendukung target iklim global,” ujar Catharina Hillenbrand Von Der Neyen, ketua penelitian Carbon Tracker.

Proyek batu bara tidak menguntungkan secara ekonomi?

Carbon Tracker yang turut menganalisis transisi global ke energi bersih, dalam laporannya menabutkan,  92% dari proyek pembangunan pembangkit istrik batu bara yang direncanakan di lima negara Asia itu tidak akan menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya, proyek dinilai hanya memboroskan anggaran hingga $150 miliar.

"Investor harus menghindari proyek-proyek pemabngkit lsitrik batu bara baru, banyak yang kemungkinan besar akan menghasilkan pengembalian negatif sejak awal,” jelas Catharina Hillenbrand Von Der Neyen.

Menurut laporan Carbon Tracker itu, hampir tiga perempat pembangkit listrik batu bara yang beroperasi secara global saat ini ada di lima negara Asia tersebut. Lebih dari setengahnya berada di Cina. Namun, Carbon Tracker mengatakan sekitar 27% dari pembangkit yang ada itu justru tidak menguntungkan secara ekonomi, sementara 30% lainnya berada di titik break even (pulang pokok).

Laporan tersebut juga menyebutkan,  pembangkit listrik batu bara senilai $220 miliar yang ada saat ini berpotensi terbengkalai jika target Perjanjian Iklim Paris tercapai. 

Selain itu, di tahun 2024 sumber energi terbarukan akan menjadi lebih murah dibanding batu bara di setiap wilayah utama, dan di tahun 2026 biaya untuk mengoperasikan hampir 100% dari pembangkit batu bara dunia akan lebih mahal dibanding membangun atau mengoperasikan pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan, jelas laporan tersebut.

Setelah Cina, Indonesia duduki posisi teratas di Asia

Dari lima negara Asia, Cina menduduki posisi puncak sebagai negara dengan rencana pembangunan pembangkit listrik batu bara terbanyak. Meskipun Presiden Xi Jinping telah berjanji, Cina akan netral karbon pada tahun 2030, Cina justru berencana membangun 368 pembangkit listrik batu bara dengan total kapasitas 187 gigawatt.

Disusul Indonesia dengan 107 proyek pembangkit listrik batu bara. Sementara India yang merupakan negara dengan konsumsi batu bara nomor dua terbesar di dunia, merencanakan  92 proyek dengan total kapasitas 60 Gigawatt, lalu Vietnam 41 proyek dan Jepang 14 proyek.

Hillenbrand Von Der Neyen pun menyerukan agar pemerintah di lima negara tersebut menggunakan anggarannya untuk "meletakkan fondasi bagi sistem energi berkelanjutan.”

"Batu bara tidak lagi masuk akal, baik secara finansial maupun lingkungan,” katanya.

gtp/as (Reuters, AFP)