1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

220310 Palästinenser Siedlungen

23 Maret 2010

Pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat Yordan termasuk halangan terbesar bagi perdamaian Timur Tengah. Pemerintahan Netanyahu dibanjiri kritik akibat proyek pemukiman di Yerusalem.

https://p.dw.com/p/Ma3t
A general view of the east Jerusalem neighborhood of Ramat Sholmo, Wednesday, March 10, 2010. Israel's new plan to build 1,600 homes for Jews in Palestinian-claimed east Jerusalem overshadowed Vice President Joe Biden's visit to the West Bank on Wednesday. Biden was to hold talks with Palestinian President Mahmoud Abbas and Prime Minister Salam Fayyad, in part to ease their doubts about the latest U.S. peace efforts. (AP Photo/Dan Balilty)
Pemukiman Yahudi, Ramat Sholmo, di Yerusalem.Foto: AP

Hampir setengah juta pemukim Yahudi tinggal di wilayah Palestina, yaitu Tepi Barat Yordan dan Yerusalem yang diduduki Israel. Dan sesuai kehendak pemerintah Israel, sebagian besar pemukim akan tetap tinggal di sana. Karena Israel ingin mempertahankan kawasan pemukimannya yang terbesar, juga jika perdamaian dengan Palestina tercapai.

Di bawah tekanan pemerintah AS, November lalu PM Israel Benyamin Netanyahu menghentikan pembangunan pemukiman selama 10 bulan. Terkecuali di Yerusalem, karena Israel menuntut keseluruhan kota itu sebagai ibukota negara. Israel ingin mencegah Palestina menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibukota, jika kelak berdiri negara Palestina merdeka.

Sebelum berkunjung ke AS, PM Benyamin Netanyahu mengatakan, Israel tetap ingin membangun pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur.

"Politik kami sama seperti semua pemerintah Israel dalam 42 tahun terakhir. Menurut kami, membangun di Yerusalem sama seperti membangun di Tel Aviv “, kata Netanyahu.

Sementara itu, di pemukiman sebelah timur Yerusalem, penduduk Palestina semakin dipersulit dan dibatasi geraknya, kata Helga Baumgarten, ilmuwan Jerman yang mengajar di Universitas Birzeit, Ramallah, dan tinggal di Yerusalem Timur.

"Seluruh bagian kota dibersihkan dari warga Palestina. Sementara ini kami menghadapi situasi paling menegangkan di Yerusalem. Saya pikir, apa yang terjadi saat ini adalah penerapan slogan 'Yerusalem sebagai ibukota yang tak terpisahkan selamanya dari negara Yahudi'. Dalam bentuk seperti itu, tidak ada tempat lagi bagi warga Palestina yang sejak dulu bermukim di Yerusalem", tutur Baumgarten.

Rakyat Palestina menanggapi politik pemukiman yang progresif itu dengan pahit. Tepi Barat Yordan dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan lagi berdirinya sebuah negara yang dapat hidup berdampingan dengan Israel. Ini dikatakan pakar politik Palestina Nur Masalha yang mengajar di London.

"Bagaimana bisa ada negara Palestina, jika dibagi-bagi sampai sekitar 5% dari wilayahnya? Israel secara sitematis merongrong solusi dua negara. Mereka memastikan tidak ada kemungkinan riil bagi berdirinya negara Palestina“, kata Masalha.

Situasi di Timur Tengah dan masa depan proses perdamaian juga diprihatinkan pemerintah Jerman. Sepekan lalu, Kanselir Angela Merkel, yang merupakan sahabat Israel, secara mengejutkan berbalik menentang politik pemukiman Israel.

Saat PM Libanon Saad Hariri berkunjung, Kanselir Merkel mengatakan, "Kita mengalami kemunduran berat akibat pengumuman pemukiman baru di Yerusalem Timur. Dalam pembicaraan telepon dengan PM Netanyahu, saya tegaskan, bahayanya terletak pada fakta bahwa keseluruhan proses perdamaian kembali terganggu."

Nentanyahu mengeluarkan komentar berbeda. Kepada wartawan di Yerusalem ia mengatakan bahwa ia memberitahu Merkel tentang aktivitas pembangunan Israel di Yerusalem Timur. Pernyataan yang memberi pengertian bahwa Merkel mendukung posisi Israel, dan hal itu merusak suasana antara Berlin dan Yerusalem.

Bettina Marx/ Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk