1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

PRT di Singapura Sering Alami Eksploitasi dan Intimidasi

Ann-Christin Ann-Christin Herbe
29 Maret 2019

Baru-baru ini pasangan Singapura dibui karena menganiaya pembantu rumah tangga (PRT). Kasus ini menjadi sorotan media lokal yang menyebutnya sebagai "bentuk perbudakan modern."

https://p.dw.com/p/3Fu2z
Hausangestellte in Indonesien
Foto: AFP/Getty Images/R. Gacad

Moe Moe Than, 21 tahun, hanya diizinkan makan nasi dengan gula merah oleh majikannya. Menurut laporan media lokal, perempuan dari Myanmar itu sering mengeluh tidak diberi makan dengan benar. Dia diberi makanan campuran lewat selang. Setelah itu dia merasa mual dan sering muntah. Dia juga sering diperlakukan kasar dan dilecehkan, dicambuk dan harus membersihkan rumah dengan pakaian dalam saja.

Kasusnya kemudian mendapat sorotan luas di Singapura dan di luar negeri. Majikannya dijatuhi hukuman penjara. Majikan perempuan Chia Yun Ling dihukum 47 bulan penjara, suaminya Tay Wee Kiat, mantan manajer perusahaan teknologi informasi, dihukum 24 bulan penjara. Namun ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain, yang tidak pernah jadi perhatian media.

Menurut sebuah studi tahun 2017 oleh lembaga independen Research Across Borders, enam dari sepuluh PRT di Singapura mengalami pelecehan dan intimidasi. Bentuknya mulai dari ancaman verbal hingga dipukuli atau dibiarkan kelaparan. Beberapa pekerja bahkan hanya bisa menggunakan toilet pada jam-jam tertentu.

Masalah serius

Studi itu menggambarkan adanya eksploitasi secara sistematis serta "hubungan kekuasaan yang sangat tidak setara" antara PRT asing dan majikan mereka. Sekalipun demikian, banyak pekerja asing, lelaki dan perempuan, yang terus berdatangan ke Singapura untuk mencari pekerjaan.

"Kami berbicara tentang para pekerja migran dari Myanmar, Filipina atau Indonesia, yang situasi pekerjaannya tidak terlalu baik," kata Sheena Kanwar, direktur eksekutif HOME, sebuah organisasi yang membantu PRT yang mengalami pelecehan.

"Seperti kebanyakan migran, mereka ingin mencari uang untuk dapat mendukung keluarga mereka di negaranya. Mereka sering mempertaruhkan keselamatan mereka demi janji kehidupan yang lebih baik," katanya kepada DW.

Modern Slavery in Singapore

Sebagian besar PRT asing datang ke Singapura melalui agen perekrutan yang minta bayaran tinggi. Selama enam atau tujuh bulan pertama, biaya itu dipotong dari gaji mereka.

"Ini menciptakan bentuk perbudakan yang sangat tidak sehat sejak awal," kata Sheena Kanwar.

Selain itu, kontrak PRT asing di Singapura hanya punya opsi live-in, artinya karyawan tinggal bersama majikan dan selalu harus siap melayani keinginan majikan.

"Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di balik pintu tertutup. Para pekerja praktis tidak terlihat," kata Kanwar.

Tanpa perlindungan hukum

Banyak PRT berakhir dalam situasi pekerjaan yang berbahaya. Mereka adalah satu-satunya kelompok pekerja migran yang tidak dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan Singapura, melainkan berada di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan Asing.

Ini berarti, sekitar 250.000 PRT asing di Singapura secara formal tidak memiliki perlindungan hukum. Syarat-syarat seperti gaji, jam kerja dan hari istirahat dapat diputuskan sendiri oleh majikan, tidak ada ketentuan yang mengikat secara hukum.

"Ini adalah bentuk perbudakan modern", tukas Sheena Kanwar.

Banyak pembantu rumah tangga yang akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dari majikan mereka dan mencari bantuan. Tapi kebanyakan mereka mengalami trauma dan takut untuk bersaksi di pengadilan atau menuntut kompensasi. (hp/ml)