1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikFilipina

Putra Marcos Dalam Misi Memulihkan Nama Keluarga

8 Februari 2022

Peluang kembalinya keluarga Marcos ke Istana Malacanang, 36 tahun setelah revolusi rakyat, memicu polemik di Filipina. Dia dituduh memoles citra dengan menggusur sejarah kekejian mendiang Marcos dari kesadaran publik.

https://p.dw.com/p/46dbH
Aksi protes pegiat HAM menolak pencalonan Ferdinand Marcos Jr. dalam pilpres Filipina, November 2021.
Aksi protes pegiat HAM menolak pencalonan Ferdinand Marcos Jr. dalam Pemilu Kepresidenan di Filipina, November 2021.Foto: Eloisa Lopez/REUTERS

Ketika masa kampanye pemilu kepresidenan di Filipina dimulai resmi pada Selasa (8/2), Ferdinand Marcos Junior sudah mengantongi keunggulan elektoral sebesar dua angka dibandingkan para pesaingnya. 

Oleh analis politik, pencalonan Marcos Jr. dinilai sebagai hasil pencitraan selama satu dekade untuk mengubah persepsi publik tentang keluarga bekas diktator tersebut. Mereka mengkritik keluarga Marcos ingin menulis ulang sejarah.

"Apa yang kita saksikan saat ini tidak lain adalah kontra revolusi,” kata Richard Heydarian, penulis dan pengamat politik Filipina. "Keluarga Marcos hadir untuk menghapus sejarah revolusi rakyat 1986, dan memulihkan kemegahan serta merehabilitasi citra rezim Marcos.”

Sejak kepulangan dari eksil pada 1990an, keluarga Marcos mencampuri politik Filipina dengan lebih dulu menguasai Provinsi Ilocos Norte, kantung pendukung mendiang Ferdinand Marcos, sebelum memenangkan kursi senat pada 2010.

Ferdinand "Bongbong" Marcos Junior
Ferdinand "Bongbong" Marcos JuniorFoto: Artur Widak/picture alliance/NurPhoto

Saudara perempuan Marcos Jr. saat ini menjabat sebagai senator dan pernah menjadi gubernur di Ilocos Norte. Adapun ibunya, Imelda, saat ini duduk di kongres untuk masa jabatan keempat.

Trauma masa lalu

Bagi sebagian penduduk Filipina, kembalinya Marcos ke Istana Kepresidanan Malacanang memercik trauma masa lalu. Hal serupa tidak berlaku bagi separuh dari 60 juta pemilih di Filipina yang belum berusia 40 tahun dan artinya tidak merasakan rezim otoriter mendiang Marcos secara langsung.

Bersama isterinya, Marcos senior berkuasa dengan tangan besi selama hampir dua dekade. Keduanya dikenal menjalani gaya hidup mewah dengan koleksi benda seni, perhiasan dan sepatu seharga total lebih dari USD 10 milliar. 

Selama kekuasaannya, 70.000 orang dibui akibat aktivitas politik, 34.000 di antaranya mengalami penyiksaan dan 3.400 tewas dibunuh, menurut catatan Amnesty International.

Setelah kejatuhannya dalam Revolusi 1986, pemerintah FIlipina memberikan uang ganti rugi bagi 11.100 korban pelanggaran HAM yang diambil dari akun bank milik keluarga Marcos di Swiss

Termasuk di antaranya adalah Loretta Ann Rosales, bekas pegiat politik yang disiksa dan mengalami kekerasan seksual di penjara. Dia termasuk kelompok yang mengajukan petisi melarang pencalonan Marcos dan ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum.

"Kami berpikir kita sudah berhasil mengenyahkan keluarga Marcos,” kata bekas direktur Komisi Hak Asasi Manusia Filipina itu. "Saya ingin agar dia didiskualifikasi.”

Tren autoritarianisme

Marcos Jr. menolak angka pelanggaran HAM yang dikumpulkan Amnesty. Dia dan keluarganya dikenal selalu menepis pertanyaan wartawan tentang kekejaman di masa lalu, dan sebaliknya mengampanyekan era Marcos sebagai ‘masa keemasan' bagi Filipina.

Sosok yang kerap dipanggil dengan sebutan Bongbong itu sering memuji sang ayah sebagai "idola,” sembari mengungkapkan kekagumannya atas "cara kerja,” dan "kecintaannya kepada warga Filipina.”

"Dia punya pemahaman yang jelas tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana mencapainya. Saya kira ini adalah kualitas terbaiknya sebagai seorang pemmpin,” kata Marcos Jr. Dalam sebuah wawancara di YouTube, tahun lalu. "Masalah yang kita hadapi saat ini adalah lemahnya kepemimpinan.”

Video wawancaranya yang diberi judul "Pelajaran Terbaik yang Didapat Bongbong Marcos dari Ayahnya,” itu sudah ditonton 13 juta kali sejak dirilis September 2021 silam.

Demonstran merusak lukisan Ferdinand Marcos dalam revolusi 1986.
Demonstran merusak lukisan Ferdinand Marcos dalam revolusi 1986.Foto: AP

"Popularitasnya naik karena kita mengalami pandemi disinformasi,” kata Victor Manhit, analis politik di wadah pemikir Filipina, Stratbase. "Dia mendominasi diskursus politik di media-media sosial.”

Organisasi verifikasi fakta, Vera FIles, melaporkan Desember silam, betapa Marcos termasuk "yang paling diuntungkan” dari hujan informasi palsu yang menguntungkan popularitasnya, serta mendiskreditkan rival politiknya.

"Karena Anda dikeleilingi di media sosial oleh akun-akun yang mengunggah hal serupa tentang mendiang Marcos sebagai pemimpin yang baik, murah hati, revolusioner, dan narasi serupa lainnya,” kata Marie Fatima Gaw, Guru Besar Komunikasi di Universitas Filipina.

Marcos Jr. bersikukuh dirinya tidak terlibat dalam kampanye disinformasi di media sosial.

Sebaliknya bagi warga Ilocos Norte, Marcos menikmati dukungan yang nyaris tak berbatas. "Dia sudah banyak berbuat di sini, dan membantu tukang becak seperti saya hidup dari pariwisata,” kata Raphie Respicio, 48 tahun. "Kami seratus persen mendukung Bongbong.” rzn/hp 

Karen Lema/Reuters.