1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Putusnya Urat Malu Demi Memperkaya Diri

8 Januari 2019

Tak jarang dijumpai para pelaku tindak pidana korupsi tampak tersenyum atau melambaikan tangan ke hadapan awak media ketika dimintai keterangan. Sanksi sosial diharap bisa memberi rasa jera kepada mereka.

https://p.dw.com/p/3BBHk
Ratu Atut Chosiyah Verhaftung in Indonesien
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images

12 narapidana kasus suap DPRD Kota Malang berangkat hari Senin (7/1) malam menuju Surabaya dengan menggunakan kereta api. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memindahkan mereka untuk jalani proses persidangan di PN Surabaya.  

"Nantinya mereka akan dititipkan sementara di Rutan Medaeng dan Cabang Kelas 1 Rutan Surabaya pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur," ujar Febriansyah, juru bicara KPK seperti dikutip dari Detik News. 

Adnan Topan Husodo
Adnan Topan Husodo, Koordinator ICWFoto: privat

Uniknya dalam perjalanan menuju Surabaya, KPK menyebarkan gambar kondisi 12 narapidana yang berada di dalam gerbong kereta. Dengan menggunakan rompi oranye, tampak beberapa di antara mereka menggunakan masker untuk menutupi sebagian wajahnya dan sisanya tampak santai membiarkan wajahnya terekspos.

Dalam wawancara dengan DW Indonesia, Koordinator Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo mengungkapkan hal yang wajar bila para koruptor di Indonesia tidak merasa malu atas kasus yang menjerat mereka.

"Saya meragukan hal itu, karena syarat untuk mencapai efek jera itu dua hal. Satu, ketika sistem deteksi atas berbagai praktik penyimpangan itu bekerja efektif sehingga peluang ditangkapnya sangat besar. Kalau mengandalkan KPK ya orang akan berhitung, KPK kan cuma ada di Jakarta, nggak akan menjangkau semua daerah dan semua jenis kasus korupsi, maka akan banyak yang menganggap korupsi bisa jalan terus," ungkap penggiat anti korupsi itu dan menambahkan, "Kedua, jika resiko yang diterima oleh pelaku korupsi kecil, bisa dikelola dengan kompensasi aset besar yang didapatnya."

Untuk apa malu?

3 September 2018 lalu KPK menciduk 22 anggota DPRD Kota Malang atas dugaan kasus suap dan gratifikasi. Mereka diduga menerima uang suap sebesar 12,5 - 50 juta Rupiah per orang terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Pemkot Malang TA 2015. Meski telah menyandang rompi khas milik KPK berwarna oranye, para tersangka tetap tersenyum di hadapan para awak media. Bahkan tidak jarang dijumpai para tersangka yang dengan santai melambaikan tangan ke arah kamera.

Bukan kali ini saja. Sebelumnya, Bupati Purbalingga Nonaktif Tasdi  juga menjadi sorotan karena kerap berpose ke media sambil menunjukkan salam metal. Tingkah Tasdi itu dilakukan saat dia dibawa ke KPK, tiba di KPK hingga akhirnya ditahan KPK usai OTT pada bulan Juni 2018.

Adnan Topan Husodo mengapresiasi upaya sanksi sosial yang dilakukan aparat KPK kepada para terduga pelaku korupsi, seperti misalnya menyebar foto anggoata DPRD Malang di dalam kereta.

"Ini bagus untuk mendeligitimasi mereka yang selama ini dipersepsikan berkuasa, dihormati karena jabatannya," kata koordinator ICW tersebut kepada DW Indonesia.  

Dengan menyebarkan foto-foto pelaku tindak pidana korupsi kepada publik, Adnan beranggapan ini bisa memberikan efek tekanan yang besar kepada para pelaku. Hal ini pun tentu harus selaras dengan bentuk pidana yang tepat sehinga kinerja KPK pun akan semakin efektif

Anda bisa berperan serta

Adnan berharap agar sanksi-sanksi sosial serupa bisa diterapkan kepada para pelaku kasus korupsi lainnya sehingga bisa menjadi cambuk bagi para pejabat-pejabat daerah atau elite-elite politik diluar sana.

Tercatat sepanjang tahun 2018 KPK melakukan 28 kali Operasi Tangkap Tangan atau OTT dengan menetapkan sebanyak 108 orang sebagai tersangka. Angka ini merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah. Perkara yang paling banyak ditangani komisi anti rasuah tersebut yakni kasus penyuapan sebanyak 152 perkara, kasus pengadaan barang dan jasa sebanyak 16 perkara, kemudian disusul kasus pencucian uang sebanyak enam perkara. Beberapa tersangka yang diciduk bahkan merupakan kepala daerah atau aparat negara. 

"Sepanjang hanya hukuman badan yang jadi fokus penegakan hukum, tidak akan ada efek jera, apalagi di penjara mereka bisa menyuap petugas," kritik Adnan. 

Selain penyidikan, KPK sudah menjalankan fungsi pencegahan dengan  melakukan pengawasan internal baik di dalam tubuh pemerintahan hingga partai politik, salah satunya dengan membentuk unit pengendali gratifikasi. Pada awal tahun 2019, KPK mulai melibatkan peran aktif warga dengan membuka akses dan menguji coba nomor telepon 198 untuk Layanan Inforamsi Publik. Call Center KPK itu berfungsi untuk memenuhi kebutuhan informasi publik berupa informasi gratifikasi dan pengaduan masyarakat. 

rap/ts/hp (Detik News,Tribune.com )