1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Qanun Jinayah Aceh Rugikan Perempuan?

23 Oktober 2017

Koalisi LSM Kemanusiaan kembali mengritik Hukum Jinayah di Aceh merugikan perempuan dan bias gender. Namun DPRD Aceh mempertanyakan kenapa keluhan tersebut belum juga dibawa ke ranah hukum.

https://p.dw.com/p/2mLGX
Indonesien öffentliche Bestrafung einer Frau in Banda Aceh
Foto: Reuters/Beawiharta

Tiga tahun setelah diberlakukan, Hukum Jinayah di Aceh menuai kritik dari organisasi Hak Azasi Manusia. Koalisi sejumlah LSM yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menilai penerapan Qanun tersebut berpotensi "menguatkan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan," menurut isi pernyataan pers, Minggu (22/10).

Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal 52 yang mewajibkan korban menghadirkan alat bukti dan saksi ketika melaporkan tindak perkosaan. "Padahal korban perkosaan sering mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan mereka sulit menungkapkan apa yang terjadi pada diri mereka,” tulis Jaringan Masyarakat Sipil.

Dalam satu kasus, klaim Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisa Yura, korban perkosaan merupakan penyandang difabel yang malah dituduh melakukan zinah karena tidak mampu menunjukkan bukti. "Akibat pasal itu, korban dan keluarganya tidak berani melaporkan kasusnya kepada kepolisian, karena keterbatasan yang dimiliki korban", ujarnya seperti dilansir BBC Indonesia.

Repotnya terduga pelaku perkosaan bisa dibebaskan dari jerat hukum hanya dengan melakukan sumpah sebanyak lima kali, seperti yang tertera di Pasal 55.

Husni Mubarak, dosen doktorat bidang studi Hukum Syariah dari Universitas Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, mengakui hukum Jinayah masih jauh dari sempurna. "Sebab baik Aceh maupun Indonesia tidak memiliki pengalaman dalam penerapan hukum pidana Islam," tulisnya kepada DW.

"Bentuk hukuman belum memberi perlindungan kepada korban, misalkan untuk kasus perkosaan," tuturnya. Lantaran minimnya  dukungan untuk rehabilitasi korban perkosaan, "maka terasa betul perempuan sebagai korban." 

Hukuman cambuk terus meningkat sejak Hanun Jinayah diberlakukan pada tahun 2014. Menurut pantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sepanjang 2016 Mahkamah Syariah Aceh telah memutuskan 301 putusan perkara jinayat antara Januari hingga November. Sepanjang 2016, ICJR mencatat 339 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh.

Sementara, di tahun 2017, ICJR mencatat 188 orang yang dihukum cambuk antara Januari hingga September 2017.

Kepada BBC Indonesia, anggota DPRD Aceh Nur Zahr, mengritik Jaringan Masyarakat Sipil lantaran tidak pernah mengambil langkah hukum buat membenahi Hukum Jinayah. "Jangan berpolemik di media saja, tapi di ranah hukum," ujarnya.

Hal senada diungkapkan Menteri Agama Lukman Saifudin. Ketika Jaringan Masyarakat Sipil mempermasalahkan Syariah Islam di Aceh 2015 silam, dia mempersilakan untuk menempuh jalan hukum. "Kalau ada pihak yang menganggap Qanun itu tidak sesuai dengan prinsip perundangan nasional, bisa mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung," katanya.

rzn/yf (Kompas, BBCIndonesia, Merdeka)