1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rahasia Kelam di Balik Rumah Tahanan Imigran Jepang

Martin Fritz
27 November 2019

Permohonan suaka mereka ditolak. Para imigran yang tidak diinginkan di Jepang ini ditahan dalam jangka panjang. Beberapa dari mereka mogok makan. Telah ada korban tewas, tapi sepertinya keadaan tidak akan segera berubah.

https://p.dw.com/p/3Tknj
Japan Flüchtlinge
Foto: Picture alliance/NurPhoto/A. Di Ciommo

"Kami ini manusia dan ingin hak asasi kami dilindungi!" Pada tanggal 2 November, Behzad Abdollahi, dengan menggunakan pengeras suara berorasi di depan stasiun Shinjuku Tokyo. Ia dan sekelompok pendukungnya menuntut dipenuhinya hak-hak mereka. Warga Iran ini telah menghabiskan tiga tahun dan 10 bulan masa hidupnya di pusat deportasi Ushiku, sekitar 80 kilometer di timur laut ibu kota Jepang.

Pihak berwenang membebaskannya untuk sementara waktu setelah Abdollahi mengakhiri aksi mogok makan. Tetapi, lima hari berselang setelah protesnya di depan stasiun Shinjuku, Abdollahi ditahan lagi dan harus kembali ke selnya. "Tubuh dan jiwa saya hancur; saya tidak mau makan dan saya tidak bisa tidur," katanya.

Apa yang dihadapi Abdollahi tidak asing dilakukan oleh otoritas Jepang terhadap orang asing yang tidak memiliki izin tinggal. Kebanyakan dari mereka adalah pengungsi yang permohonan suakanya ditolak. Jika mereka menolak untuk dideportasi, Kementerian Kehakiman mencoba untuk mematahkan perlawanan mereka dengan menahan mereka secara berkepanjangan.

Saat ini, lebih dari setengah tahanan yang berjumlah sekitar 1.100 orang berada di 17 pusat deportasi. Para tahanan ini telah berada di balik jeruji besi selama lebih dari enam bulan. Cukup banyak dari mereka yang melakukan mogok makan. Sejak tanggal 6 November 2019, setidaknya 10 penghuni jangka panjang di pusat penahanan Osaka, telah melakukan mogok makan. Pada akhir September, telah ada 198 orang melakukan aksi mogok makan. Menurut Departemen Kehakiman, kebanyakan yang melakukan aksi ini adalah orang-orang asal Iran.

Baca juga: Jepang Perbanyak Visa Pekerja Asing, Warga Lokal Khawatirkan Proses Integrasi

'Rahasia kelam' di pusat-pusat tahanan deportasi

Otoritas imigrasi Jepang bereaksi terhadap kejadian ini dengan cukup sinis. Pihak otoritas imigrasi menjanjikan kepada para tahanan bahwa mereka akan dibebaskan jika berhenti mogok dan mau kembali makan. Tawaran ini dibuat untuk narapidana yang telah mogok makan selama lebih dari 10 hari dan telah kehilangan berat badan lebih dari 10 kilogram, kata organisasi bantuan Ushikunokai.

Namun, harapan mereka untuk tetap bebas dengan cepat menjadi hancur. Banyak dari mereka harus kembali ke tahanan dalam waktu dua minggu kemudian. Yang lainnya mesti dengan teratur melapor ke polisi, namun mereka terus-menerus ketakutan akan bisa ditahan lagi sewaktu-waktu. Mereka juga tidak diizinkan bekerja.

"Menekan orang-orang yang menunggu deportasi yang berada di dalam tahanan dan memaksa mereka untuk menghentikan mogok makan adalah bentuk penyiksaan," ujar Takeshi Ohashi, pengacara yang mewakili beberapa dari mereka yang ditahan. 

Japan Flüchtlinge
Rendahnya jumlah pencari suaka yang diterima di Jepang menjadi sasaran kritik para aktivis.Foto: Picture alliance/NurPhoto/A. Di Ciommo

Dalam wawancara dengan DW, Asosiasi Pengacara Tokyo menyerukan diselenggarakannya diskusi tentang hak asasi manusia. Dalam konferensi pers pada tanggal 31 Oktober, anggota majelis Teruo Tojo menuntut agar dibatasinya jumlah deportasi yang tertunda. Sampai saat ini, pihak berwenang tidak berkewajiban memberikan alasan untuk melakukan penahanan atau pembebasan.

"Menahan orang asing tanpa dokumen selama bertahun-tahun adalah tidak masuk akal; itu melanggar hak pribadi," Kanae Doi dari Human Rights Watch Japan mengatakan kepada DW.

Talam tajuk rencananya, surat kabar Mainichi yang berhaluan liberal mempertanyakan apakah pemerintah Jepang bahkan sadar akan hak asasi manusia. Koran itu sebelumnya menggambarkan kondisi di pusat-pusat deportasi sebagai "rahasia kelam."

Dalam artikel yang sama, dikatakan sekitar 15 orang asing telah meninggal saat ditransfer atau setelah ditahan oleh otoritas imigrasi Jepang. Ini menjadi preseden buruk bagi Jepang yang memuji dirinya sendiri sebagai negara dengan berpikiran terbuka menjelang Olimpiade 2020 di Tokyo.

Mati kelaparan

Kementerian Kehakiman Jepang memiliki strategi baru dalam menghadapi para pemogok makan setelah seseorang asal Nigeria mati kelaparan pada akhir Juni. Ia telah dipenjara selama 3,5 tahun di pusat deportasi Omura. Rupanya, pria itu meninggal karena tidak dicekoki makanan akibat kurangnya tenaga medis. Pada awal Oktober, pihak berwenang mengklaim bahwa staf mereka telah bertindak dengan benar.

"Kami wajib mendeportasi," Kepala Kantor Imigrasi, Shoko Sasaki, mengatakan kepada wartawan asing. "Kami tidak ingin orang-orang berada dalam tahanan seperti itu di negara kami." Kantornya lalu mengatakan bahwa sebanyak 43 persen orang yang menolak dideportasi telah melakukan tindak kejahatan. 

Ini memberikan kesan bahwa pembebasan mereka akan membahayakan keselamatan publik, kata pengacara Masako Suzuki. Padahal, hukum pidana Jepang tidak mengatur penahanan preventif terhadap orang yang berpotensi melakukan tindak kejahatan, katanya.

Sementara itu, Jepang juga sedang mencari cara baru untuk melakukan deportasi. Pada bulan Juli, pemerintah berhasil membujuk Turki untuk memulangkan kembali warga negara Turki yang tidak memiliki paspor. Sebagai imbalannya, Turki diizinkan ikut dalam program visa untuk para pekerja asing.

Jepang telah menawarkan kesepakatan yang sama kepada Iran. Sepertiga dari orang yang berada di dalam penahanan untuk deportasi di Jepang adalah warga negara Iran. Namun sejauh ini, pemerintah di Teheran bersikeras bahwa warganya memiliki hak untuk menolak deportasi. (ae/rap)