1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikInggris

Relasi Pelik Asia Selatan dengan Kerajaan Inggris

13 September 2022

Meski beban sejarah kolonialisme, Ratu Elizabeth II membina hubungan akrab dengan negara bekas jajahannya, terutama di Asia Selatan. Dia dihargai berkat kebijakan "non-intervensi" terhadap konflik India dan Pakistan.

https://p.dw.com/p/4Gjhh
Ratu Elizabeth II di India, 1961
Ratu Elizabeth II (2 dari kiri) di India, 1961Foto: United Archives/picture alliance

Ribuan pesan duka membanjiri media sosial di India dan Pakistan ketika Ratu Elizabeth II meninggal dunia, Kamis (8/9) lalu. Dia diangkat menjadi ratu pada 1952, lima tahun setelah India dan Pakistan merdeka dari penjajahan Inggris. Tidak heran, jika trauma kolonialisme masih membekas kuat pada banyak warga saat itu.

Namun begitu, diplomasi Elizabeth II justru mendulang rasa simpati dan hormat dari masyarakat di bekas wilayah jajahannya itu. "Peran Ratu Elizabeth II antara 1952 dan 1956 sangatlah pasif. Dia sengaja menjauhkan diri untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri Pakistan, kata Mazhar Abbas, ahli sejarah di Universitas Faisalabad.

Tanpa kekuasaan resmi, "dia lebih sering berurusan dengan India dan Pakistan melalui ikatan negara persemakmuran," imbuhnya.

"Politisi India mengaguminya karena perannya yang menstabilkan politik Inggris," kata sejarahwan lain, Rakesh Batabyal.

"Meski sejarah mencatat kekejaman era kolonial, hubungan kami dengan kerajaan Inggris setelah kemerdekaan berlangsung baik. Ratu berulangkali mengunjungi Pakistan dan merawat relasi yang baik dengan pemimpin-pemimipin kami," kata Shazia Marri, Menteri Pengentasan Kemiskinan Pakistan.

Asif Nazrul, Guru Besar di Universitas Dhaka, Bangladesh, menyuarakan sentimen serupa. "Meski warisan kolonialisme, banyak warga di Bangladesh berduka. Kita tidak bisa hidup di masa lalu selamanya."

Patung pasir di India untuk mengenang kematian Ratu Elizabeth II
Patung pasir di India untuk mengenang kematian Ratu Elizabeth IIFoto: REUTERS

Hubungan yang rumit

Tidak semua menyukai gaya kepemimpinannya yang dinilai abai terhadap dampak kolonialisme. Pendekatan "non-intervensi" yang dia gariskan misalnya mewarisi konflik di Kashmir yang masih bertahan hingga kini.

Elizabeth II sempat menjadi "Ratu Pakistan," sebelum Islamabad membubarkan kerajaan pada 23 Maret 1956, dan menjadi sebuah negara republik. "Dia tidak pernah memanfaatkan forum persemakmuran untuk menuntaskan konflik Kashmir antara India dan Pakistan", kata Abbas, sejahrawan Pakistan.

"Dia bisa saja memperkuat demokrasi parlementer di Pakistan. Dia misalnya bisa mengintervensi pada 1953, ketika Gubernur Jendral Pakistan, Ghulan Muhammad, memecat Perdana Menteri Khawaja Nazimuddin. Dia sempat meminta Ratu agar mencabut keputusan Muhammad," kata dia.

Sebaliknya, Nonica Datta, sejarahwan di Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, mengatakan Elizabeth mendapatkan "warisan kolonialisme Inggris yang rumit," ketika naik tahta. "Dia mewakili akhir dari kerajaan Inggris dan transisi dari bekas negara jajahan menjadi negara merdeka. Sangat jarang kita bisa menemukan figur historis yang mewakili sejarah kolonial, tapi juga terikat oleh nilai-nilai demokratis dalam tatanan dunia pasca Perang Dunia II."

Vijayasain Reddy, seorang anggota parlemen India, menulis meski Elizabeth II melewatkan kesempatan "untuk meminta maaf kepada India atas kolonialisme yang brutal, kualitas kepemimpinan dan moralitasnya berdampak besar kepada politik Inggris."

Sentimen anti-kolonialisme

Shahidul K K Shuvra, jurnalis Bangladesh, mengaku dirinya kebingungan melihat ungkapan duka warga Asia Selatan terhadap kematian Elizabeth. "Masyarakat di sini lebih tertarik pada kehidupan ratu dan keluarga kerajaan ketimbang bagaimana Inggris mengeksploitasi mereka selama 200 tahun," kata dia.

Hal senada diungkapkan Saimum Parvez, analis politik di Dhaka. Menurutnya "kematian ratu tidak berdampak kepada kehidupan kami, tidak secara sosial atau politis". Pemerintah Bangladesh sebagai reaksi mengumumkan masa berduka selama tiga hari. Meski sudah diperkirakan, langkah ini sama sekali tidak dibutuhkan, imbuhnya.

"Memang kita tidak hidup di dalam masa lalu kolonialisme," kata Parvez, "tapi kita tidak boleh melupakan apa yang kita alami di bawah kerajaan Inggris."

Sastrawan India, Rana Safvi, meyakini rasa duka atas kematian Elizabeth II tidak serta merta berarti melupakan kolonialsime. "Kita di India masih menderita karena warisan kolonialisme," ujarnya. "Kita tidak harus merayakan kerajaan Inggris."

Jurnalis Murali Krishnan (New Delhi), Haroon Janjua (Islamabad) dan Arafatul Islam (Bonn) ikut berkontribusi dalam pembuatan laporan ini. rzn/hp

 

Shamil Shams
Shamil Shams Penulis isu seputar konflik di Afganistan dan Pakistan, dan Asia Selatan.@ImamShamil