1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ciptakan Zero Waste High Performance Habitat di Tahun 2022

Rizki Akbar Putra
8 Mei 2019

Indonesia hasilkan lebih dari 60 juta ton sampah setiap tahun, dan sabet predikat penyumbang sampah plastik ke dua terbesar di dunia. Pendiri Parongpong, Rendy Wachid punya cita-cita tinggi. Simak wawancara dengan DW.

https://p.dw.com/p/3I763
Indonesien Old City of Jakarta's project
Foto: C. Boll

DW: Sebenarnya ide awal Anda mendirikan Parongpong, perusahaan pengolah sampah di Bandung, berasal darimana?

Rendy Aditya Wachid, pendiri Parongpong: Sebenarnya ini personal reason banget, jadi 2017 September itu saya keguguran sama istri. Anak pertama ini di kandungan cuma tiga bulan. Sebenarnya diluar kesedihan ini saya jadi bersyukur karena memikirkan masa depan untuk anak-anak nanti, karena sebelumnya saya arsitek pengusaha saya mengerjakan bisnis yang penting growth nya, yang penting bisa jalan dengan baik bisnisnya, tak terlalu mikir kemana-mana hingga akhirnya saya sadar kalau saya melakukan ini terus hampir semua bisnis saya menghasilkan sampah dan nanti anak saya bisa jadi generasi yang ngeberesin masalah kita.

Sementara generasi saya yang habisin air bersih, yang ngotorin udaranya, yang bikin sampah kemana-mana. Akhirnya saya sepakat sama istri kalau kita ga bisa menemukan tempat yang baik di Indonesia buat anak kami ya kita bikin sendiri tempat itu. Makanya Parongpong sebenarnya tujuan awal, bahkan tujuan akhir, kami ingin menciptakan Zero Waste Performane Habitat di 2022 yang bermula di Parongpong.

Berawal dari kegelisahan yang sama dengan para pecinta lingkungan, lantas apa yang membedakan Parongpong dengan komunitas-komunitas pecinta lingkungan serupa?

Rendy Aditya Wachid
Rendy AdityaFoto: DW/R.A. Putra

Sebenarnya banyak banget sih yang peduli sama isu sampah dan kita senang banget karena ada yang fokus sama food waste ada yang fokus sama plastic waste, tapi saya sadar ga ada yang urusin residu. Residu adalah sampah yang tidak punya nilai eknomis lagi, tidak bisa dimanfaatkan lagi dan sebetulnya di Indonesia ga ada yang mengerjakan ini. Dan prinsinya karena saya businessman saya ga mau mengerjakan yang sudah pernah ada karena sulit, artinya kalau banyak sekali yang berusaha menyelesaikan masalah itu dan ga selesai berarti ada yang salah di cara pengerjaannya, itu pertama. Yang kedua sebenarnya saya rasa Parongpong itu dibutuhkannya nanti ketika orang-orang sudah bisa milah sampah, sudah bisa ngompos organik, orang mungkin udah punya akses ke bank sampah atau bahkan bisa me-recycle sendiri, residunya kan tersisa tuh 10 persen itulah yang ingin kami olah. Saya kalau ngomong sama teman-teman pengolah sampah yang lain saya bilang ‘Kalian butuh kita sama seperti kita butuh kalian. Ketika kalian bisa mereduksi sampah sampai 90 persen, 10 persennya biar kami yang urus'.

Jadi kalau ditanya apa pembedanya kami dengan yang lain, beda sekali sih. Pertama rata-rata yang ngurusin yayasan atau komunitas, kalau kita perusahaan. Kenapa? Karena perusahaan itu sustain dan pahlawan itu sebenarnya pahlawan lingkungan itu ga sustain. Kalau memulai kegiatan ini dengan jadi orang suci atau mau jadi hero saya rasa ketika pujian berakhir tahu orang ngga peduli, orang ga angkat-angkat ya kita jadi berhenti melakukan hal baik itu. Sedangkan kalau ini dibuat jadi perusahaan, dia harus growth dia harus kasih makan dirinya sendiri dia harus cari SOP paling efisien paling efektif paling logis untuk melakukan tujuan perusahaannya yaitu untuk menyelesaikan masalah sampah.

Tadi Anda mengatakan ada yang salah dengan penanganan sampah di negeri kita. Menurut Anda mengapa isu sampah ini tidak pernah habis dan siapakah pihak yang paling harus turut serta membereskan masalah ini?

Sebetulnya orang banyak bilang sama saya ‘Siapa sih atau tempat mana yang jadi role model Parongpong, atau bikin Parongpong karena apa?'. Sebetulnya kami ke Kamikatsu, kota di Jepang yang 80 persen sampahnya itu bisa mereka olah. 80 persen itu angka yang luar biasa, karena kalau di dunia, kalau negara Taiwan nomor satu dan itu mereka baru bisa 55 persen dan Kamikatsu ini bisa 80 persen. Lalu Kamikatsu itu bahkan diantara kota-kota lain di Jepang itu meninggalkan jauh, karena di jepang rata-rata baru 40 persen.

Kalau ditanya salahnya dimana, sebenarnya saya selalu percaya waste is a very complex problem, there's no easy solution. Jadi memang ketika kita mau melakukan ini, betul-betul harus lihat dari berbagai sisi. Tidak ada solusi yang mudah, kita sudah merdeka dari 1945 satu-satunya metode pengolahan sampah kita hanya memmbuang ke landfill, open dumping. Di Bantar Gebang menerima 7.500 ton per hari, katanya di Bandung menghasilkan 1.600-1.700 ton per hari ini kan jumlah yang besar sekali dan siapa yang harus beresin? Kalau kita mengacu pada PP 97 tahun 2017 ya semua orang, karena semua orang hasilin sampah.

Tapi di Indonesia sepertinya kesadaran masyarakat akan penanganan sampah masih rendah, tanggapan Anda?

Contoh yang paling mudah adalah kalau semua orang bisa milahin sampahnya sebenarnya kita ga usah keluarin biaya pengangkutan tinggi sekali ke TPA. Tapi di sisi lain kalau orang sudah memilah sampah siapa yang mau mengolahnya, karena kalau ga diolah dicampur lagi ya itu yang menimbulkan patah hati. Kalau Parongpong prinsipnya gini, ketika ditimbang mencari salah siapa kita lebih fokus ke masalah real nya apa terus kita beresin. Contoh ada satu kasus menarik banget, di pulau remote island mungkin saya ga bisa sebut nama pulaunya karena proyeknya belum di-launch, tapi di pulau ini masalah sampah plastikya tinggi sekali.

Lalu ketika teman-teman ajak Parongpong untuk terlibat di proyek ini mereka bilang tolong dikasih waste management ke mereka, lalu saya bilang kita harus lihat masalah utamanya apa. Setelah kami ngobrol sama satu rekan kami yang sudah mendalami pulau ini bertahu-tahun ternyata ketahuan masalah mereka adalah mereka tidak bisa masak. Karena mereka tidak bisa masak, mereka beli indomie, beli jajanan, beli macem-macem. Kenapa ga bisa masak, karena ga ada yang bisa dimasak, bahan-bahannya ga ada. Ikan-ikan kasih ke turis, tanahnya ga cukup baik untuk bisa bercocok tanam. Jadi kalau mereka tanya ke saya gimana caranya beresin maslah sampah di pulau itu? Ya ajarin mereka masak, ini kan sesuatu yang out of the box banget. Kalau kita presentasiin ke pemerintah atau instansi manapun secara setengah-setengah mereka akan mikir kita orang aneh. Masalahnya sampah kok, kok program yang dilakukan ajarin masak.

Tapi dengan pemikiran yang sama kalau orang tanya ke kita kenapa Parongpong mau bikin habitat adalah kalau kita punya  satu desa yang  kita semua farm to table, masak sendiri mengolah sendiri semua kita ga perlu food delivery, hampir ke sebut nama mereknya, tapi itu kan ngetren banget di Indonesia. Laper sedikit pakai apps, mau jajan pakai apps, sadar ga sih pesan soto satu, soto plastik sendiri, nasi plastik sendiri, sambalnya kecapnya segala macam plastic itu berjibun cuma dari food delivery doang. Jadi saya berpikir bahwa kalau kita bisa farm to table mungkin menyelesaikan masalah sampah karena untuk kita bisa memanfaatkan sampah kita butuh kebun. Tadi kita bicara sampah organik, sampah organik bisa dikompos loh tapi kalau kita ga berkebun komposnya mau dikemanain. Jadi sungguh kompleks dan sungguh seru ketimbang kami campaign dengan marah, sedih sharing berita-berita yang kita lihatnya ga tega, kita lebih milih untuk kasih harapan.

Jadi ketimbang bilang ada paus mati diamana gara-gara nelan plastik kita lebih suka bilang ‘Bukannya seru tinggal di desa  yang ga ada sampah, anak-anak bisa main keluar, pergi ke sungai, bercocok tanam. Setiap kita makan minum kita tahu ga ada micro plastic disana'. jadi yang mau kita share justru adalah harapan dan suatu hari nanti semua jadi normal. Bawa tumbler normal, milah sampah normal, bawa kantong belanja sendiri itu normal. Ga ada keren-kerennya karena di Negara, dunia, pertama  itu hal yang diajarkan dari kecil. Itu mengapa Parongpong mau bikin habitat karena harapan kami, anak-anak saya dan teman-teman sebayanya punya pola pikir yang jauh lebih baik daripada kita yang bahkan mereka buang samaph pada tempatnya ga cukup, setelah dibuang pada tempatnya, dipilah ngga, diolah ngga, ada tempat pengolahan limbahnya ngga. Jadi mereka sudah berpikir lebih jauh lagi dari itu dan itu ga akan lihat orang lagi buang puntung rokok  sembarangan atau buang plastik sembarangan dari mobil.

Apakah Indonesia bisa mencontoh Negara-negara maju dalam hal mengolah sampah, dari hal simpel misalnya yakni memilah sampah?

Jadi memilah itu seru jadi kalau kita melihat fasilitas publik Indonesia sudah mulai tuh tempat pembuangan sampah dibagi dalam beberapa kategori. Nah kategori ini menurut saya, kalau iseng dibuka kan ada organik, lalu ada kertas, dan itu selalu ga ada standarnya beda-beda terus. Dan lalu ada lainnya, others. Bukalah tempat sampah yang isinya others dan lainnya, isinya paling banyak yang sebenarnya ga gitu. Di rasio sampah 60 persen organik 30 persen anorganik 10 persen residu ini akan beda-beda di semua tempat tapi kurang lebih angka yang kita pegang di sekitaran itu. Nah bayangkan kalau kita buang ke others ya kita cuma nambahin residu doang.

Kalau di Parongpong sebenarnya sampah itu cuma dibagi tiga. Bisa dikompos, tidak bisa dikompos, sama residu. Nah ini ga bisa diajarin ke anak kecil kali ya, kan harus diajarkan ke orang dewasa. Gimana sih bisa tahu dikompos apa ngga, kunyah aja. Kalau sedotan plastik kalian kunyah dan dia terkunyah berarti bisa dikompos bukan masalah enak ga enak, simple banget. Jadi misalnya kalau tidak bisa di kompos dan kita tahu kita tidak punya fasilitas untuk bisa mendaur ulang barang-barang yang tidak bisa di kompos tersebut , jangan hasilkan. Jadi kalau tahu ga bisa ngolah sedotan plastik jangan pakai sedotan plastik. Kalau tahu ga bisa ngolah kantong plastik ya jangan pakai kantong plastik. Dan juga terakit residu, yang sudah tidak kita bisa manfaatkan udah ga bisa kita jual, misalnya popok pembalut tisu yang sudah kotor.

Nah orang lain ga bisa mengolah ini tapi Parongpong bisa. Jadi kita beruntung banget punya teman-teman yang mengembangkan teknologi ini dan kita happy banget di 2019 ini Parongpong sudah punya fasilitas hydrothermal sendiri dan itu sebenarnya yang mau kita share walaupun akirnya betul manusianya yang harus diubah. Kapasitas mesin ada batasnya tapi kapasitas manusia sebenarnya ga terbatas. Kalu misalnya kita mau pasti bisa, yang saya selalu cerita kereta api. Baru berapa tahun lau loh kita orang-orang naik di atas atap, orang-orang tidur di lantai, padagang keluar masuk, orang-orang ga bayar. Terus orang-orang pada bilang ‘Kereta api Indonesia emang gini, orang-orang Indonesia emang gini'.

Dan itu mengapa Parongpong kerjasamanya dengan perusahaanan. Karena yang diikuti sama semua  stake holdersnya, PT. KAI bukti nyata banget dimana revolusi mental itu memang bisa dilakukan, perubahan mindset itu memang bisa dilakukan cuma memang ceritanya harus utuh. Karena kalau kita sudah campaign orang ga ikut ceritanya segala macam lalu mereka merasa ada yang ga jalan mereka ga akan mendukung. Contohnya kita bilang pilah pilah pilah, tapi kita sendiri ga bilang setelah milah, olahnya  gimana orang akan curiga jangan-jangan nanti digabung lagi buat apa saya pilah.

Lantas bisa dijelaskan prinsip kerja Parongpong?

Saya tidak setuju adalah pengolahan yang mengganti kilogram ke rupiah karena menurut saya tidak mendidik. Kita bilang ke orang-orang ‘Kurangin sampah ya', sementara kita sendiri bread and butternya dari jumlah sampahnya mereka kan jadi conflict of interest atau bahkan kontra. Jadi Parongpong pendekatannya adalah kita punya satu fasilitas didalamnya ada edukasi juga yang kalau setiap client kami mengurangi jumlah sampahnya jadi fasilitas ini bisa dipakai lagi oleh lebih banyak client jadi kami dengan ikhlas dan juga sesuai tujuan perusahaan memang harus nurunin sampah jadi itu yang membedakan.

Melihat perjalanan Parongpong sejak 2017, ada pesan khusus kah dibalik aktivitas Parongpong selama ini?

Sebenarnya saya jengah melihat mereka yang bilang ‘Kita pahlawan sampah' lalu ngumpul rame-rame terus pakai kaos panita terus nama acaranya juga mereka lebih ke selebrasi, sebenarnya gapapa juga. Cuma dalam ranah waste awareness bagus banget tapi dia juga bukan solusi. Karena kita bagi-bagi kaos panitia saja ga kita lakukan, satu kaos itu butuh 2.700 liter air buat kapasnya doang dan itu kayak kita minum tiga tahun jadi kenapa kita setengah-setengah? Yang kedua adalah setelah dikumpulkan kemana sih sampahnya, tempat ke landfill juga. Yang ketiga, kadang-kadang kantong sampah plastik yang dibagikan juga cukup besar. Yang saya paling ga mau di Parongpong adalah kami mengerjakan sesuatu yang sangat sepele yang impactnya kecil tapi kita gembar-gemborkan sebagai sesuatu yang hebat dan segala macam itu yang kita ga mau. Jadi kalau bisa sih gembar-gembornya kecil aja sederhana aja tapi ya impactnya besar. Orang kalau ada adopsi kebiasaan buang sampah pakai kantong yang bisa dipakai berkali-kali ini juga kan bisa kurangi kantong plastik banget karena usaha untuk mengurangi kantong plastik sangat saya hargai, cuma itu kan baru di ranah supermarket retail-retail besar yang masih banyak pakai kantong plastik sebenarnya warga juga, penggunaannya buat apa ya buat plastik sampah juga. Beberapa teman saya juga masih menerima kantong plastik dari supermarket karena sederhana banget sih karena 'Kalau saya ga ngambil ini kantong plastik nanti saya buang sampahnya pakai apa?'. Hal-hal yang kayak gini yang kita ingin coba ajak masyarakat untuk lihat sekitar kita, banyak banget loh media untuk kita manfaatkan jadi ga usah beli.

Jadi Anda  lebih suka disebut sebagai businessman atau pegiat lingkungan?

Businessman, saya akan sangat proud saya businessman yang percaya banget sama three bottom pillars, people planet profit. Nabi Muhammad juga pedagang kok, yang selalu diangkat-angkat, sebenarnya banyak sekali nabi-nabi kita yang jarang diangkat kenabiannya tapi profesinya. Jadi saya pikir saya bangga sekali sebagai pengusaha yang mau nunjukkin ke anak-anak muda lain ga musti nunggu dana dari luar negeri loh untuk dapat funding, ga mesti juga bikin komunitas terus minta donasi kemana-mana. Karena kalau kita ga amanah orang kasih uang ke kita mungkin ga benar kita manfaatkan. Saya pernah negur satu komunitas anak muda yang sedan bikin satu website, saya tanya programnya apa, nyari-nyari ga jelas tapi ada di websitenya ada tombol donasi. Terus saya bilang ke mereka, ‘Kalian ga takut ya masuk neraka, yang kalian janjikan belum ada loh. Terus kalian nerima donasi. Kalian jurusan apa? Kerja deh, dapat uang dari 9-5 sisihkan sebagian terus danai program-program kamu ini. Jangan takut untuk uangnya habis buat danain program kok kalau misalnya kalian niat baik pasti rezeki  datang saja tapi justru lucu kalau kamu bilang ga ada uang'. Ya kalau saya sih jangan bantu orang ya kalau ga bisa bantu diri sendiri, kita harus mapan dulu supaya kalau kita ingin melakukan hal baik niatnya baik ngga tergeser kepentingan-kepentingan pribadi. Simpel banget, logic banget. (rap/vlz)

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra

Rendy Aditya Wachid adalah pendiri Parongpong. Parongpong adalah sebuah perusahaan manajemen daur ulang sampah yang berlokasi di Bandung dan berdiri sejak tahun 2017. Parongpong mempunyai visi yaitu sebagai menciptakan Zero Waste High Performance Habitat pada tahun 2022 di Indonesia.