1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

191010 Happiness Study

16 November 2010

Kebahagiaan lebih banyak berkaitan dengan pilihan pribadi seseorang ketimbang ditentukan oleh kode genetika. Demikian hasil penelitian yang dilakukan selama lebih dari 25 tahun di Jerman.

https://p.dw.com/p/Q9An
Foto: picture-alliance/dpa

Fokus pada keluarga, melakukan aktifitas sosial, berolahraga, taat beragama dan melakukan hal-hal yang dianggap benar, merupakan pilihan bagus untuk meraih kebahagiaan. Demikian analisis para penelti internasional, dari riset yang dilakukan German Socio-Economic Panel Survey SOEP terhadap 60.000 responden selama lebih dari 25 tahun. Mayoritas responden juga menyatakan, tujuan sosial bagi orang lain lebih penting ketimbang uang. Walaupun hasil penelitiannya sudah dipublikasikan, riset lanjutan tetap dilaksanakan untuk menemukan faktor-faktor penentu yang lainnya.

Tingkat Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah salah satu sasaran mendasar dari kehidupan manusia. Apakah orang-orang berusaha mengejar puncak karir, pendapatan lebih tinggi, kesehatan yang lebih prima, kehidupan berkeluarga yang stabil, memenangkan medali emas Olimpiade atau hadiah Nobel, motivasi di belakangnya lazimnya adalah mencari rasa bahagia.

Para peneliti psikologi sejak beberapa dekade terus mempertanyakan, apa yang memicu kebahagiaan individu ini? Pada tahun 1970-an sejumlah ilmuwan membuat asumsi, bahwa setiap orang memiliki tingkat kebahagiaan tertentu. Apa yang disebut teori Set-Point mendefinisikan, seseorang akan kembali ke tingkat kebahagiaannya yang baku, terlepas dari naik atau turunnya kondisi kehidupan mereka. Para ilmuwan mengajukan teorinya, hal itu ditentukan oleh kode genetika seseorang serta pengalaman masa kecilnya.

Salah seorang penulis hasil riset tersebut, Professor Gert Wagner, pakar ekonomi dari Institut Jerman untuk Riset Ekonomi di Berlin, sekaligus peneliti di Institut Max Planck untuk perkembangan manusia, menyampaikan kesimpulan dari riset panjang itu. Wagner mengatakan, hasil riset menunjukkan teori Set-Point berlaku untuk 50 persen populasi. Sekitar 50 persen lainnya berubah-ubah rasa kebahagiaannya, tergantung dari perubahan yang terjadi sepanjang waktu. "Sepertiga perubahan adalah yang negatif, seperti sakit atau meninggalnya pasangan hidup. Duapertiganya perubahan positif, tapi kecil," papar Gert Wagner lebih lanjut.

Pilihan dan Prioritas Hidup

Gert Wagner menjelaskan, hasil riset itu menunjukkan, orang lebih mudah menjadi tidak bahagia akibat pengalaman hidupnya yang traumatis. Juga orang-orang lebih sulit meningkatkan rasa kebahagiaan dalam hidupnya, dengan membuat pilihan yang tepat. Area mengenai kemungkinan pilihan ini, menjadi tema penelitian yang juga amat menarik perhatian para peneliti.

"Yang baru dari study kami adalah, kami melihat pilihan yang dimiliki. Dan kami membuktikan, pilihan membuat perbedaan," dikatakan Wagner. Artinya, apa yang menjadi prioritas dalam kehidupan seseorang, itulah kunci bagi kebahagiaannya. Temuan ini untuk sejumlah peneliti dan responden tidaklah mengejutkan. Menurut Wagner, alasannya adalah, "Tujuan sosial lebih penting ketimbang tujuan material. Dan amat bagus tetap sehat atau ingin sehat, bagus untuk Anda jika melakukan sedikit sport."

Kedengarannya amat logis. Tapi pertanyaannya, apakah kebahagiaan itu amat mudah diraih atau ditemukan? Mungkin dalam beberapa hal, jawabannya adalah ya. Setiap hari, kita melakukan hal-hal yang membuat bahagia. Banyak orang sepakat dengan teori dari Prof. Wagner.

Pasangan Hidup dan Kebahagiaan

Pada dasarnya kebahagiaan dapat didefinisikan sebagai derajat, dimana orang-orang menilai positif situasi kehidupannya. Hal itu bukan hanya sekedar tingkat emosi yang sederhana. Dan semuanya tergantung dari masing-masing individu serta juga keragaman karakteristik sosialnya. Seberapa penting karakteristik sosial ini terhadap masing-masing individu, amat tergantung dari peringkat kemasyarakatannya.

Juga relasi antar manusia menjadi faktor yang amat penting. Namun Wagner juga menyebutkan, salah memilih mitra hidup yang keliru, dapat membuat hidup menjadi tidak bahagia. Contohnya, jika memilih mitra yang mengidap gangguan emosional. Akan tetapi memilih relasi yang sehat juga tidak selalu mudah. Betapa sulit dan rumitnya memilih relasi atau mitra hidup yang tepat, seperti diutarakan Wagner.

Pendapat ini juga didukung oleh professor Jaap Denissen, guru besar perkembangan kepribadian di Universitas Humboldt di Berlin, yang juga ikut menyusun hasil study tersebut, "Jika kita sebelumnya mengalami relasi buruk, kita dapat memperkirakan pengalaman yang sama akan berlanjut. Tentu saja juga tergantung seberapa banyak kita berpikir bahwa kita menemukan pasangan yang baik. Diketahui, bahwa orang yang kepercayaan dirinya rendah, tidak menganggap dirinya sebagai umpan yang bagus di pasar untuk mencari pasangan. Jadi mereka memilih yang lebih buruk, misalnya pasangan yang berbicara kasar atau bertindak kasar."

Membuat apa yang disebut pilihan yang tepat, bagi kebahagiaan personal bukanlah sesuatu yang sederhana seperti makan kue. Setiap keputusan yang kita buat, selalu berdasarkan gabungan yang rumit dari sejumlah faktor. Tapi Denissen menegaskan, kebahagiaan adalah sesuatu yang diupayakan hendak diraih oleh siapapun. "Saya pikir semua orang memilih kebahagiaan. Secara mendasar hal ini berlaku umum di semua kebudayaan. Tentu saja derajat kesuksesannya merupakan soal lain. Berdasarkan teori, hal itu tergantung dari derajat lingkungan yang mendukung kebutuhan dasar tersebut."

Genetika dan Lingkungan Turut Berperan

Berdasarkan hasil penelitian terbaru itu, sejumlah ilmuwan kini mulai menjauh dari teori set-point yang sudah dianut sekitar empat dekade itu. Denissen menjelaskan lebih lanjut, "Dalam dekade terakhir, terdapat perubahan besar di kalangan psikolog. Dan saya akan membantah bahwa opini arus utama saat ini konsisten dengan teori set-point."

Professor Jaap Denissen menambahkan, amatlah tidak konstruktif untuk membenturkan tema warisan alam atau genetika dengan pengaruh lingkungan. Para psikolog menegaskan, bahwa kedua faktor itu memainkan peranan yang dinamis dan saling berkaitan dalam perasaan bahagia individu. "Efeknya, misalnya lingkungan, dapat berbeda-beda pada gen masing-masing. Juga efek gen seseorang, dapat tergantung dari lingkungan. Contohnya pengaruh genetika tertentu tidak akan muncul, jika orangnya dilahirkan dalam kondisi pendidikan anak tertentu pula," papar Jaap Denissen lebih lanjut.

Dengan kata lain, kebahagiaan merupakan proses yang amat rumit yang dipengaruhi oleh banyak faktor individu dan pengaruh lingkungan. Akan tetapi, pada akhirnya bagaimana perasaan kita, apakah bahagia atau tidak, sebagian besar amat tergantung dari persepsi kita sendiri.

Cinnamon Nippard/Agus Setiawan

Editor: Yuniman Farid