1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ritual Lebaran, Ritual Permaafan

22 Juni 2017

Setiap akhir Bulan Ramadlan, umat Islam di seluruh dunia merayakan “hari spesial” yang bernama Idul Fitri sebagai tanda dari berakhirnya sebulan penuh ibadah puasa. Simak opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2f2OT
Start des Fastenmonats Ramadan
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com

Kata Idul Fitri tentu saja dari Bahasa Arab ‘id al-fitr yang berarti "kembali kepada fitrah” atau kesucian sebagaimana bayi yang baru lahir di dunia ini. Dalam konsep teologi Islam, berbeda dengan Kristen, setiap bayi manusia lahir dalam keadaan "fitrah” atau "suci dan bersih” dari dosa (kullu mauludin yuladu ala al-fitrah).

Dengan demikian, kata Idul Fitri memiliki makna simbolik bahwa dengan menjalankan sebulan penuh puasa, maka kaum Muslim ibarat seperti bayi yang baru dilahirkan ke muka bumi yang "suci-murni tak berdebu” karena ibadah puasa, seperti dijanjikan oleh Allah SWT, telah menghapus dosa-dosa mereka kepada-Nya. Karena dosa-dosanya telah dihapus, maka perlu "dirayakan” sebagai ekspresi rasa terima kasih dengan mengumandangkan kalimat-kalimat pujian dan takbir kepada-Nya serta berbagai aktivitas kemanusiaan. Dalam Islam, konon tradisi dan perintah merayakan Idul Fitri ini bermula setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makah ke Madinah, seperti dikisahkan dalam sebuah Hadis yang dinarasikan oleh Anas bin Malik.

Masing-masing umat Islam memiliki cara-cara unik untuk merayakan Idul Fitri ini. Masing-masing negara dimana kaum Muslim menjadi mayoritas, termasuk Indonesia, juga mempunyai tradisi perayaan Idul Fitri yang menarik dan spesial. Di Indonesia, ritual tahunan ini disebut Hari Raya Idul Fitri atau juga populer dengan sebutan Lebaran.

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Tradisi saling memaafkan

Tidak jelas dari mana asal-usul kata "Lebaran” ini. Sebagian menganggap kata Lebaran ini berasal dari Bahasa Jawa lebar” ("usai”), Bahasa Madura lober ("tuntas”), Bahasa Sunda lebar ("melimpah ruah” atau kadang juga disebut "boboran”), atau Bahasa Betawi lebar ("luas dan dalam”). Apapun asal-usulnya yang jelas kata Lebaran mengandung makna tuntas, komplit, atau usai menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh sehingga diharapkan hati dan pikiran umat Islam menjadi semakin luas, legowo, dan melimpah 'ruah' dengan pintu maaf. Inilah makna terpenting dari Lebaran. Kata Lebaran ini bukan hanya dipakai untuk Idul Fitri atau Idul Adha (Lebaran Haji) saja tetapi juga untuk "Lebaran Cina” yaitu untuk menandai tahun baru dalam sistem kalendar Tionghoa. Menariknya, kata ini tidak dipakai untuk menyebut Hari Raya Natal. Tidak ada istilah "Lebaran Natal” tetapi cukup "Natalan”. 

Dalam tradisi Jawa khususnya, menurut budayawan Umar Khayam, tradisi lebaran seperti yang kini lazim dipraktikkan oleh kaum Muslim di Jawa dan lainnya ini bermula sejak abad ke-15, yakni sejak diperkenalkan oleh Sunan Bonang, salah satu anggota Wali Songo (atau wali sembilan) yang berjasa dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa khsusnya tetapi juga di kawasan lain (silakan simak studi Ahmad Sunyoto, Atlas Wali Songo).

Sunan Bonang inilah yang konon awalnya memperkenalkan tradisi Lebaran dengan meminta umat Islam untuk saling bermaaf-maafan sebagai "penyempurna” atas pengampunan atau permaafan yang diberikan oleh Tuhan. Dengan kata lain, dengan puasa, Tuhan telah mengampuni atau memaafkan dosa-dosa umat Islam yang dilakukan kepada-Nya, maka dengan saling memaafkan satu sama lain, dosa dan kesalahan kepada sesama juga menjadi termaafkan. Karena Islam bukan hanya mengurusi masalah relasi manusia dengan Tuhan (habl mi Allah) saja tetapi juga hubungan manusia dengan sesama umat manusia (habl min al-nas), maka permaafan dari kedua belah pihak juga sangat penting.

Tradisi Lebaran yang juga unik di kalangan masyarakat Islam Jawa adalah "sungkeman” dan "kupatan”. Sungkeman adalah tradisi meminta maaf, doa, dan berkah kepada orang tua, kakek-nenek, atau tokoh dan orang-orang yang dituakan (sesepuh) dengan cara jongkok bersimpuh di hadapan mereka sambil memegang dan mencium tangan mereka. Banyak yang sampai menangis waktu mempraktikkan tradisi sungkeman ini karena merasa terharu atau merasa bersalah selama ini. Tradisi sungkeman ini juga menunjukkan atau sebagai simbol dedikasi dan penghormatan dari yang muda terhadap yang tua.

Selanjutnya, tradisi kupatan ini juga memiliki makna simbolik. Kupat atau ketupat, yang konon awalnya diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, berasal dari kata "ngaku lepat” dalam Bahasa Jawa yang berarti "mengakui kesalahan”. Nasi putih adalah simbol "kesucian” semenetara janur yang menyilang-nyilang yang dipakai untuk membungkus ketupat tadi adalah simbol "dosa dan kesalahan”. Maka, pada waktu Lebaran, janur-janur itu (baca, "dosa dan kesalahan”) harus dibuka dan dilepas agar nasi putih (baca, kesucian) bisa terbebas, tidak lagi terbelenggu. Dengan memakan ketupat, diharapkan umat Islam bisa membuang segala hal yang batil, dosa, dan khilaf, untuk kemudian menjadi "manusia baru” yang bersih dari dosa, kesalahan, dan keangkaramurkaan.

Spirit Lebaran yang bermakna

Jadi jelaslah bahwa baik Idul Fitri maupun Lebaran beserta simbol-simbol tradisi dan budayanya memiliki atau mengandung makna filosofi yang sangat dalam. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dewasa ini, mengimplementasikan makna Idul Fitri dan Lebaran dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat mendesak, penting dan fundamental. Apalagi belakangan ini, masyarakat Indonesia seperti tersegregasi atau terpecah-belah karena ulah sejumlah tokoh rasis-sektarian (baik tokoh politik, tokoh agama, maupun tokoh ekonomi dan bisnis) yang demi mewujudkan kepentingan individu dan kelompoknya, rela mengorbankan kepentingan masyarakat publik yang lebih luas.

Nafsu kekuasaan, syahwat politik, kerakusan berdagang, serta gairah yang menggebu-gebu untuk menyeragamkan pemikiran dan praktik keagamaan orang lain telah mengakibatkan mereka menjadi gelap mata melakukan apa saja, termasuk merusak moralitas publik-masyarakat, asal ambisinya tercapai, nafsunya terpenuhi, syahwatnya terlampiaskan, dan kerakusannya terwujud.

Ini belum termasuk ulah para pengguna medsos yang tidak bertanggung jawab yang demi mewujudkan cita-cita dan kepentingannya, rela meritualkan hajatan hujatan dan makian antarsesama umat manusia. Mereka bahkan rela memusuhi keluarga dan sudaranya sendiri hanya karena perbedaan pendapat dan pemikiran serta afiliasi politik dan organisasi keagamaan. Akibatnya, Islam yang menggarisbawahi tentang pentingnya silaturahmi, persaudaraan, dan persahabatan antarmanusia ini seolah menjadi sirna berganti menjadi permusuhan, kebencian, dan pertengkaran bukan hanya dengan "umat lain” saja bahkan dengan sesama pemeluk agama itu sendiri.

Di sinilah spirit Lebaran dan Idul Fitri ini menjadi sangat penting dan bermakna, khususnya bagi umat Islam, untuk mengubah pemikiran, gagasan, pandangan, dan perspektif yang tadinya dipenuhi rasa benci, curiga, dan antipati menjadi rasa cinta, percaya, dan empati kepada orang dan umat lain apapun agama dan etnis mereka. Maaf adalah "kata magis” yang bisa meluluhlantakkan ego dan superioritas. Saya berharap spirit Lebaran dan Idul Fitri ini menjadi momentum nasional untuk membudayakan maaf kepada siapa saja yang telah melakukan kesalahan dan kekhilafan demi Indonesia dan umat manusia yang rukun, damai, dan sentosa. Wallahu a'lam bi shawwab.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby (ap/yf)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.