1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Robotereinsatz auf gefährlichem Terrain

Fabian Schmidt26 September 2012

Robot pintar dan otonom kini semakin sering dikerahkan untuk tugas-tugas yang bagi manusia amat berbahaya. Misalnya membersihkan ranjau, bocoran bahan kimia atau pada kecelakaan atom.

https://p.dw.com/p/16Edl
Foto: DW/Fabian Schmidt

Robot-robot pintar dengan kemampuan dan bentuk amat beragam, untuk menangani kawasan atau kondisi berbahaya ditunjukkan dalam kompetisi robot M-ELROB di Swiss yang digelar baru-baru ini. Robot-robot semacam itu mengikuti kompetisi untuk tugas yang berbeda-beda dan harus menunjukkan kehandalannya.

Misalnya saja, sebuah mobil VW Touareg yang dipenuhi perlengkapan teknik berupa sensor kamera, scanner laser dan komputer, ikut dalam kompetisi yang disebut skenario keledai. Mobil canggih tanpa pengemudi itu dirancang oleh Thorsten Lüttel, insinyur sistem otonom di cabang dirgantara dan antariksa pada akademi angkatan bersenjata Jerman di München.

Sensor kamera memindai situasi sekitar, scanner laser mengukur jarak dan menciptakan poin-poin awan tiga dimensi, sementara komputer bertugas menganalisa data, dan dengan itu mengendalikan mobil secara otonom, dalam arti mengoperasikan gas, rem, setir dan perpindahan gigi perseneling.

Dalam kompetisi ini, mobil harus mengikuti mobil di depannya. "Mobil robot itu tidak tahu harus melaju ke mana. Yang diketahui, harus mengikuti mobil di depannya, tidak peduli ke mana", kata peneliti dari Universitas München itu.

Peta tercipta dalam perjalanan

Dalam kompetisi lainnya, robot diuji dalam skenario kemandirian mencari rute menuju target yang ditentukan. Robot hanya diberi koordinat posisi GPS dari lokasi sasaran, tapi samasekali tidak ada peta atau informasi lainnya.

Sebuah kendaraan kecil dengan penggerak roda berantai seperti tank, buatan Frank Höller dari Institut Fraunhofer untuk Komunikasi, analisa Informasi dan Ergonomie (FKIE) ikut serta dalam kompetisi tsb.

Robot kecil ini harus menemukan sasarannya di medan sulit yang berbukit dan berlembah. Untuk itu, robot memanfaatkan citra laser yang dibuat sendiri menjadi sebuah peta. Semakin jauh jarak jelajahnya, semakin besar peta yang tercipta. "Robot terus berusaha bergerak ke arah target sesuai posisi koordinat GPS. Jika memasuki jalan buntu, robot membaca peta, untuk menemukan rute lain, bergerak ke sana dan kembali berusaha mencapai target", kata Höller.

Wachtberg Fraunhofer Institut Kommunikation Informationsverarbeitung und Ergonomie
Scanner laser robot bergerak memutar dan menangkap citra lingkungan sekitar.Foto: DW/Fabian Schmidt

Panitia kompetisi juga dapat menambah kesulitan. Misalnya dengan menghalangi jalan mundur robot dengan batangan kayu. Atau juga hambatan yang jauh lebih sulit dikenali robot. Misalnya kolam air yang permukaannya kelihatan padat atau ditutupi lumpur.

Juga rumput yang sebetulnya tidak berbahaya, kadang-kadang tidak dapat dikenali oleh robot semacam itu. Holler mengenang ujicoba sebelumnya terkait kendala rumput ini.

"Rutenya dipertinggi dan rumput tumbuh di kiri kanan jalan. Tinggi rumput, sama persis dengan tinggi jalan. Saat penala laser membuat citra keseluruhan areal, komputer tidak dapat mengenali lagi jalan yang ada. Bagi komputer kenampakan areal itu seluruhnya datar", ujar Holler.

Akibatnya robot bergerak ke arah rerumputan dan terjebak tidak bisa bergerak di sana. Inilah salah satu kelemahan teknik di masa lalu, yang kini berusaha terus diperbaiki.

Mencari dan menemukan

Dalam kompetisi lainnya, robot harus menemukan rambu peringatan berbentuk bujur sangkar berwarna oranye. Rambu semacam ini biasanya ditempelkan pada truk pengangkut bahan beracun dan berbahaya. Robot bertugas memotret rambu itu dan selanjutnya membuat peta rute ke rambu itu.

Pakar informatika Torsten Fiolka memasuki kompetisi di cabang ini. Ia memanfaatkan scanner laser, yang fungsinya tidak hanya mampu mengukur jarak antara dua benda, melainkan juga intensitas pantulan sinar lasernya.

"Rambu tanda bahaya itu, secara umum memancarkan refleksi amat kuat, jauh lebih kuat dibanding obyek lainnya. Jadi, di awan data poin laser saya mencari obyek yang refleksinya amat kuat dan mengujinya, apakah dimensinya sebesar rambu tanda peringatan bahaya itu", kata Fioloka menjelaskan metodenya.

Wachtberg Fraunhofer Institut Kommunikation Informationsverarbeitung und Ergonomie
Robot ini mampu melacak kebocoran gas beracun atau emisi gas dari tempat sampah.Foto: DW/Fabian Schmidt

Semua itu bukan sekedar permainan. Sasaran kompetisi ini adalah, mengembangkan robot-robot yang bertugas membantu militer, polisi atau pemadam kebakaran pada situasi gawat darurat. Karena itulah M-ELROB digelar di bawah pengawasan ketat dari calon-calon pelanggang potensial.

Panitia penyelenggara kompetisi Frank Schneider dari Institut Fraunhofer untuk Komunikasi, analisa Informasi dan Ergonomie (FKIE) mengatakan, bagaimanapun juga amat penting mengembangkan robot dengan lebih banyak berorientasi pada kepentingan operasi dalam kondisi berbahaya atau gawat darurat.

"Pasalnya komunikasi antara sistem dan pengguna, dalam arti interaksi antara manusia dan mesin sejauh ini masih dianak tirikan", papar Schneider.

Manusia punya pancaindera lebih unggul

Terdapat alasan mendasar, mengapa penggunaan robot dalam operasi keamanan atau gawat darurat masih dipandang secara kritis. Terutama pada penugasan pemadam kebakaran, dalam situasi gawat darurat, robot-robot penolong itu kebanyakan masih bergerak amat lamban dan tidak fleksibel.

"Manusia bereaksi jauh lebih cepat, dan dalam skenario bencana, setiap detiknya amat menentukan", kata Frank Schneider. "Robot hanya dikerahkan dalam situasi amat berbahaya . Selebihnya, selalu para petugas penolong yang mengenakan pakaian pelindung, yang terjun langsung dengan peralatannya", ujar pakar komunikasi, informasi dan ergonomi itu. .

Menimbang situasi semacam itu, Andreas Ciossek dari Firma Telerob mengembangkan robot untuk menjinakkan bom serta mengukur kadar gas berbahaya atau kadar radioaktivitas. Tapi diakui, sebuah robot tidak dapat menaksir dengan akurat, apakah sebuah bangunan benar-benar terancam runtuh.

"Jika manusia berada di dalam bangunan, mereka bisa menegaskan, apakah sebuah tembok mengalami kerusakan. Manusia bisa mendengar bunyi lirih tembok yang retak, atau melihat retakan halus. Lewat kamera pada robot, hal itu amat sulit dilihat dan didengar", kata pembuat robot itu.

Ciossek mengatakan, robot-robot masakini, juga masih jauh dari apa yang disebut kecerdasan buatan yang sebenarnya. "Kita harus melepaskan diri dari gambaran robot cerdas seperti yang ditampilkan dalam film atau layar televisi. Karena apa yang dalam film nampaknya semua bisa dilakukan, dalam kenyataan samasekali jauh berbeda", tambah pakar robotika dari Firma Telerob itu.