1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Romo Magnis: Pendidikan Budaya Dihabisi Formalisme Agama

Hendra Pasuhuk
6 Oktober 2017

Franz Magnis-Suseno, juga dikenal sebagai Romo Magnis, adalah salah satu pemikir garda depan Indonesia. Editor DW Hendra Pasuhuk berkesempatan mewawancarainya di Hamburg.

https://p.dw.com/p/2lMWo
Deutschland - Indonesisches Kulturfestival Pasar Hamburg 2017
Foto: DW/H. Pasuhuk

Melemahnya wawasan kebudayaan dan menguatnya formalisme agama sulit melahirkan manusia-manusia berkualitas seperti era 1950-an. Itulah salah satu kesimpulan dari perbincangan antara DW dan Romo Magnis di sela-sela acara Pasar Hamburg awal September lalu. Perbincangannya seputar perkembangan demokrasi, kondisi partai-partai politik dan apa saja pencapaian Indonesia menjelang 20 tahun reformasi. Berikut wawancaranya:

DW: Indonesia sering dipuji di kancah internasional sebagai negara Islami yang menerapkan demokrasi. Tapi partai-partai politiknya belum punya agenda dan programatik yang untuk memperkokoh demokrasi. Yang sering terjadi hanyalah pertarungan berebut jabatan dan kekuasaan. Ada masalah apa dengan partai politik di Indonesia, yang sebenarnya menikmati kebebasan besar setelah Suharto mundur?

Magnis Suseno: Itu yang sekarang banyak dipertanyakan di Indonesia. Partai-partai politik saat ini sebetulnya tidak lebih dari sebuah perkumpulan kepentingan, seringnya hanya berpusat di sekitar satu orang. Jadi parpol tidak menunjukkan satu identitas ideologis seperti di Jerman. Di sini, misalnya partai SPD dan CDU, meskipun sekarang mereka berkoalisi, tetapi masing-masing ada sosok ideologisnya. Di Indonesia tidak seperti itu.

Barangkali, ini karena di Indonesia masih ada kecenderungan kuat mengikuti orang, sistem patron-client masih sangat kuat. Sebetulnya, satu partai bisa saja mendapatkan sosok (ideologis), kalau si pemimpin berhasil mewujudkannya. Tapi sampai sekarang kita tidak melihat itu.

Franz Magnis-Suseno indonesischer Philosoph im DW Interview
Editor DW Hendra Pasuhuk (kiri) berbicara dengan Romo Magnis di Hamburg, September 2017Foto: DW

Mungkin satu-satunya partai yang punya semacam sosok (ideologis) adalah malah Golkar. (Anggota) Golkar itu macam-macam, tapi sosok partainya lebih jelas. Tetapi partai yang lain-lain, bahkan misalnya PDIP, sebetulnya hanya menjadi partainya Megawati. Mereka belum berhasil mengaktualisasikan situasi dan kondisi masyarakat sebagai suatu sosok ideologis.

Walaupun sekarang banyak mantan aktivis pro demokrasi yang terjun dan menjadi tokoh-tokoh partai politik. Apa mereka lalu terseret arus dan menjadi tidak ideologis?

Saya tidak tahu pasti. Tapi saya sering bertemu dengan mereka, seperti Budiman Sudjatmiko, yang sekarang menjadi tokoh di PDIP. Menurut saya, memang penting dia ada di sana. Walaupun saya tidak tahu, sekarang dia sudah jadi tokoh mereka, tetapi seberapa besar pengaruh dia dalam politik partai. Di Gerindra juga ada mantan aktivis dan di partai-partai lain juga.

Memang ada juga kemungkinan mereka kemudian terseret dalam kebiasaan partai. Banyak yang terbawa arus, ketika mereka tidak muda lagi seperti dulu. Jadi tidak ada pembaruan. Itu memang tidak mudah.

Sedangkan di Indonesia sekarang banyak universitas yang punya jurusan ilmu politik. Sampai di mana peran dunia ilmiah dalam memberi kontribusi bagi pengembangan demokrasi dan sistem bernegara?

Itu tentu juga masih sangat lemah, ya. Kita kadang-kadang membaca tulisan di koran, terutama harian Kompas, lalu Suara Pembaruan dan Republika, tetapi memang harus diakui bahwa antara dunia ilmiah dan dunia politik itu adalah dua dunia yang lain, jadi ada celahnya. Di Jerman juga begitu.

Tahun 2018 kita akan memperingati 20 tahun reformasi. Kalau Anda membuat kilasan, kira-kira apa yang sudah dicapai Indonesia selama 20 tahun reformasi ini?

Kalau menurut saya, yang jelas-jelas berhasil dicapai ada dua hal.

Yang pertama, amandemen-amandemen terhadap UUD 45. Amandemen itu menghasilkan perubahan. Yaitu memasukkan unsur-unsur demokrasi ke dalam UUD. Salah satu yang penting misalnya pembatasan masa jabatan presiden. Tetapi yang mungkin lebih penting lagi´adalah, bahwa Hak Asasi Manusia dimasukkan ke dalam UUD. Amandemen-amandemen itu juga menegaskan lagi peran kunci Islam mainstream di Indonesia. Islam mainstream itulah yang menjamin bahwa dalam situasi yang begitu gawat pun, sesudah jatuhnya Suharto, tidak terbentuk negara Islam. Jadi, tokoh-tokoh Islami lah, seperti Habibie, Gus Dur, Amien Rais dan cukup banyak tokoh lain, yang berperan besar. Dan mereka mendukung suatu demokrasi Pancasila.

Hasil yang kedua, kalau kita melihat jalannya reformasi, adalah bahwa dengan segala macam kekalutan politik, kelemahan dan keragu-raguan, Indonesia pada dasarnya berhasil menjadi negara yang stabil, yang damai. Jumlah orang miskin memang masih terlalu tinggi, dan dulu juga masih ada krisis ekonomi. Namun bagaimanapun juga, perkembangan Indonesia itu masih mantap. Kita masih bisa berkembang dalam damai dari Sabang sampai Merauke. Dan semua itu dengan administrasi yang berjalan agak lambat dan sedikit buruk. Tapi yang penting, pada dasarnya Indonesia berhasil membangun sebuah sistem negara modern yang berfungsi. Itu harus diakui.

Sekarang tentang aspek politik pendidikan dan kebudayaan secara umum. Kalau kita lihat debat-debat politik tahun 1950an, kelihatannya ketika itu ada kematangan politik pada para politisi, sehingga mereka bisa berdebat dengan ulet, tanpa kehilangan rasa saling menghormati. Mengapa sekarang terasa ada kemunduran yang begitu jauh, kalau dibandingkan dengan debat-debat politik saat ini?

Karena pada waktu itu, memang orang-orangnya sangat bermutu. Misalnya, orang-orang yang dulu mendukung terbentuknya Negara Islam dulu itu bukan orang-orang yang fanatik. Mereka bisa berbicara dengan semua pihak, seperti Mohammad Natsir. Sekarang, hal itu hampir tidak terjadi.

Mengapa terjadi kemunduran besar seperti itu? Apakah karena pendidikan dan pemahaman budaya mengalami kemunduran?

Kalau ditanyakan mengenai pendidikan budaya, saat ini pendidikan budaya itu sangat lemah. Dimakan habis oleh isu agama, yaitu agama yang formalistik. Jadi wacana budaya terdesak oleh pengaruh pemikiran sempit agama yang sangat formalistik. Dan di sana tidak ada unsur budaya lagi. Pemikiran formalistik juga tidak mengajarkan agama dengan baik. Hanya formalisme saja. Jadi pendidikan budaya memang masih sangat lemah.

Misalnya, mengapa tidak secara intensif dilakukan kegiatan baca sastra Indonesia? Indonesia kaya sekali dengan karya sastra, banyak sekali sastrawan muda. Tulisan-tulisan mereka, seperti Okky Madasari, diterjemahkan misalnya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Tetapi di Indonesia, mereka justru tidak dibaca, tidak diajarkan. Padahal, dengan membaca buku, budaya, hati dan wawasan bisa diperluas.

Sebenarnya, kalau ada orang bertanya Indonesia itu apa, baca saja sastranya. Di situ ada semua aspek kehidupan. Jadi, apa yang disebut kepekaan budaya, itu yang tidak ada dalam pendidikan budaya di indonesia.

Romo Magnis, terimakasih atas wawancara Ini.