1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sepakbola, Martunis, Lisabon, Portugal

Andibachtiar Yusuf7 Juli 2015

Martunis ibarat guyuran air segar di tengah gurun pasir persepakbolaan Indonesia. Di saat sepakbola "mati", bocah asal Aceh yang diundang Akademi Sporting Lisabon itu adalah semangat kehidupan sepakbola yang menyala.

https://p.dw.com/p/1Ftz4
Tsunami Flut Katastrophe Martunis Überlebender Fußball Luiz Felipe Scolari
Foto: picture-alliance/EPA/F. Paraiso

“Selama berhari-hari ia bertahan hidup tanpa makanan dan minuman di lautan lepas setelah dibawa oleh badai tsunami dan ia mengenakan jersey kebanggaan kita….ini harus dirayakan! Ia harus kita selamatkan!,' ujar Felipe Scolari alias Felipao pagi itu dari apartemennya di kota Lisabon pada Presiden Federacao Portuguesa de Futebol (Federasi Sepakbola Portugal). Hari itu sekitar awal tahun 2005 dan media-media seantero dunia juga Eropa sedang ramai menyiarkan kisah badai tsunami di Asia termasuk Indonesia.

Martunis adalah nama anak kecil yang saat itu berusia 7 tahun, ia selamat dari bencana tsunami setelah mampu bertahan bergelayut di sebuah batang pohon besar yang membawanya ke laut dan menghempaskannya ke sana sini. Pagi 26 Desember 2014 itu ia mengenakan jersey tim nasional Portugal dengan nama Rui Costa di punggungnya. Media, penglihatan Felipao dan kesigapan federasi Portugal segera mengubah nasibnya.

Beruntun ia—dan keluarganya—diberi rumah, bea siswa sekolah, menyaksikan pertandingan resmi Portugal di Lisabon, duduk berdampingan dengan Rui Costa langsung, bertemu Luis Figo idolanya dan kemudian tentu saja didatangi langsung oleh megabintang Portugal modern, Cristiano Ronaldo. Media kita lalu berhenti membincangkannya, sampai saat beberapa tahun lalu CR7 datang kembali ke Indonesia, mendatanginya, menjadi orang tua angkatnya dan tentu saja menyekolahkannya ke akademi Real Madrid di Aceh.

Waktu terus berjalan, 2015 ini beberapa hari lalu bangsa Indonesia—tak cuma penggila Sepakbola—dikejutkan oleh berita bahwa Martunis dibawa ke Sporting Lisbon untuk menjadi salah satu pemain di akademi di klub tempat CR7 dibesarkan. Tak hanya berbangga, masyarakat dunia maya bahkan mulai berspekulasi kemungkinan ia akan berganti kewarga negaraan dan memperkuat Seleccao Portugal.

Pembinaan pesepakbola muda Indonesia?

Lalu segera kita lupa bahwa induk dari Sepakbola itu sendiri sedang mati di negara ini. Tak hanya kompetisi yang tiada untuk entah beberapa waktu, pembinaan usia muda pun sudah lama berada di titik rendah akibat tidak adanya akademi dan sistem pembinaan usia muda yang sesuai. Sekolah Sepakbola memang banyak terbentang dari Sabang sampai Merauke, tapi hasil didikan sekolah-sekolah itu sulit untuk disalurkan akibat kompetisi usia muda yang memang praktis tidak ada.

Situasi makin sulit saat ini ketika kompetisi sepakbola Indonesia dihentikan oleh pemerintah kita sendiri yang sejatinya justru seharusnya memberi kesempatan besar pada potensi di segala penjuru untuk berkembang. Maksud baik meruntuhkan mafia Sepakbola di tubuh federasi Sepakbola Indonesia berdampak sebaliknya, yakni membuat banyak pemain remaja tak jelas juntrungan akibat dimatikannya induk organisasi Sepakbola kita.

Kepergian bocah Aceh yang pernah bermain di PSAP Sigli—hal yang kemudian dibantah oleh pelatih tim itu dengan menyatakan bahwa "Martunis" di PSAP berasal dari Bireun dan Martunis yang pergi ke Lisabon berasal dari Banda Aceh—seperti memberi angin segar pada Sepakbola kita juga bangsa Indonesia secara umum. Bangsa yang sangat terasa tak sabar ingin mengetahui kiprah internasional sesama bangsanya.

Terlalu jauh untuk berpikir bahwa Martunis asal Banda Aceh ini akan bisa membuat harum nama Indonesia. Bukan karena kepergian ia secara spekulatif adalah bagian dari kegiatan kehumasan tim manajemen Cristiano Ronaldo alias CR7. Tapi hal penting adalah ia pergi menuju akademi sebuah negara terkemuka Sepakbola dengan sistem pembinaan dari usia sangat muda bahkan 7 tahun di usia yang relatif tua (ia kini berusia 17 tahun).

“Saat kami datang ke Uruguay di usia 15 tahun, pemain seusia kami di sana sepertinya sudah selesai belajar passing sementara kami baru memulainya,” ujar Alfin Tuassalamony yang pernah bermain di klub pemain muda asal Indonesia yang berguru di Uruguay Deportivo SAD dan klub Divisi 2 Belgia, CS Vise. Merujuk pada kalimat ini, saya rasa ada baiknya kita menunda dulu harapan muluk bahwa Martunis akan menjadi pemain hebat yang akan mengharumkan nama Indonesia di tim nasional apapun ia akan bermain nanti.

Ada baiknya kita menyimak lagi perkataan Bruno de Carvalho, Presiden klub elit Portugal itu di pidato penyambutannya “Kami berharap akan menjadikan Martunis tak hanya sebagai pesepakbola yang handal tapi juga sebagai seorang manusia dan laki-laki,” Sebagai ‘manusia dan laki-laki' tak hanya pesepakbola. Disanalah harapan kita bisa disampirkan, sebagai manusia yang berguna sesungguhnya.

Andibachtiar Yusuf Filmmaker & Constant Traveller

@andibachtiar