1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Saatnya Indonesia Mengubah Regulasi Demi Ekspor Ganja Medis

Monique Rijkers
Monique Rijkers
15 Februari 2020

Negara demi negara mengubah regulasi untuk melegalkan penanaman ganja demi pasar ekspor yang memanfaatkan ganja untuk medis. Indonesia masih terpaku pada regulasi dan pola pikir lama.

https://p.dw.com/p/3XMC4
Gambar simbol ganja
Foto ilustrasiFoto: picture-alliance/Bildagentur-online/Ohde

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Aceh Rafly Kande menyampaikan sebuah gagasan saal rapat komisi VI dengan Menteri Perdagangan di DPR, akhir Januari silam. "Misalnya, ganja ini. Entah untuk kebutuhan farmasi atau apa aja jangan kakulah kita, harus dinamis. Ganja ini tumbuhnya mudah di Aceh. Saya rasa ini ganja harus jadi komoditas ekspor bagus.”

Tidak sampai seminggu, PKS menegur Rafly Kande dan menyatakan pernyataannya itu sebagai pendapat pribadi. Padahal usulan politikus partai Islam ini bisa menjadi terobosan seiring perkembangan penggunaan ganja medis di dunia. Apalagi pada tahun 2012 silam mengutip Kompas.com, PBB dalam laporan tahunan tentang obat-obatan terlarang memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen ganja terbesar di dunia dengan luas lahan mencapai 422 hektar.

Ganja, Tanaman yang Sering Disalahartikan

Sama seperti babi yang diharamkan oleh pemeluk Yudaisme dan Islam namun fungsional untuk beragam kebutuhan manusia seperti untuk gelatin kapsul obat, insulin dan bahan dasar obat hingga senar biola, selain diambil dagingnya, ganja adalah tanaman yang sering disalahartikan.

Sejak dahulu, ganja dikenal sebagai satu dari lima tanaman yang terdapat dalam kitab Hindu dan diketahui sebagai sumber kesenangan karena memiliki sifat psikoaktif. Seiring dengan kemajuan penelitian sains, tanaman ganja diketahui memiliki fungsi medis berkat kandungan cannabidiol (CBD) dan Tetrahydrocannabidiol (THC). Nah, THC inilah yang berbahaya karena bisa membuat orang 'melayang' dan menimbulkan efek ketagihan, sedangkan CBD tidak memabukkan. CBD inilah yang bisa digunakan untuk obat-obatan, produk kecantikan, perabotan hingga bahan bakar.

Tahun 1966 Raphael Mechoulam, seorang peneliti di Institut Weizmann di Israel mulai meneliti Cannabis sativa, nama Latin ganja dan menemukan CBD dapat digunakan untuk mengobati epilepsi. Dari mana saya mengetahui semua ini? Dari sebuah film dokumenter tentang Raphael Mechoulam. Kini ilmuwan mengklaim CBD dapat digunakan untuk autisme juga selain epilepsi serta sempat mengadakan penelitian anti-kanker, meski baru tahap percobaan, yang mampu menghentikan sel-sel kanker pada tikus. 

Bloggerin Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Ganja Bisa Menjadi Terobosan Medis

Karena berguna untuk mengatasi penyakit, sejumlah negara sudah melegalkan ganja untuk penggunaan medis. Luksemburg menjadi negara pertama di Eropa yang membebaskan produksi dan konsumsi ganja. Jerman pada tahun 2017. Polandia, Denmark, Portugal dan Inggris mengubah peraturan tentang ganja medis. November 2019 silam untuk pertama kalinya perusahaan obat di Israel mengekspor ke Inggris obat berbahan ganja untuk mengobati epilepsi dan satu lagi produk untuk mengobati multiple sclerosis. 

Di benua Amerika, Kanada, Uruguay dan sebelas negara bagian Amerika Serikat mengesahkan produksi, ekspor, perdagangan ganja untuk medis dan ilmiah. Kolombia yang terkenal sebagai pemasok narkotika dan obat terlarang terbesar, Meksiko, Brasil, Ekuador dan Peru mulai membuat regulasi ganja medis. Bahkan Kanada sudah mengekspor ganja medis hingga ke Australia, yang sesungguhnya lebih dekat dengan Indonesia dan berpotensi menjadi pasar ekspor.

Sementara di Asia, negara bagian kedua terbesar di India, Madhya Pradesh sudah melegalkan penanaman ganja untuk obat sejak November 2019. Thailand sudah lebih duluan mengizinkan penggunaan ganja medis sejak tahun 2018. Di Afrika, Lesotho menjadi negara pertama yang melegalkan penanaman ganja medis untuk ekspor pada tahun 2017. Zambia pun melirik peluang bisnis ganja medis dengan melegalkan penanaman sejak Januari 2020.

Keuntungan Indonesia Jika Mengekspor Ganja

Di Eropa, Jerman paling banyak mengimpor bunga ganja untuk medis yakni sebesar 6.714 kilogram per tahun 2019. Jika dijual secara eceran dengan harga 20 euro per gram maka penjualan obat mengandung ganja melalui apotek di Jerman diperkirakan mencapai 135 juta euro setahun atau sekitar 2 triliun rupiah. Menurut data Laporan Ganja Afrika (African Cannabis Report), industri ganja legal di Afrika berpeluang meraup 7,1 miliar dolar Amerika per tahun atau 96 triliun rupiah pada tahun 2023 dari ekspor. Sedangkan menurut data Grand View Research penjualan ganja medis global diprediksi menembus angka 146 miliar dolar Amerika pada tahun 2025.

Di Indonesia pada tahun 2019 silam Badan Narkotika Nasional berhasil mengungkap lebih dari 33 ribu kasus narkoba dan menyita 112 ton ganja. Jika 112 ton ganja ini diekspor untuk ganja medis dengan harga per gram 200 ribu rupiah saja maka diperoleh pendapatan 20 miliar rupiah. Sayangnya di Indonesia belum ada aturan untuk ekspor ganja. Bahkan menggunakan ganja untuk pengobatan pun dilarang karena termasuk dalam narkotika golongan I mengacu pada Pasal 8 UU 35/2009 tentang Narkotika. Hukuman penjara selama 12 tahun berlaku untuk siapa saja yang mempunyai, menyimpan dan menyediakan ganja.

Jika pemerintah mampu membuat regulasi yang memadai untuk penanaman ganja medis untuk pasar ekspor, keuntungan besar bisa masuk kantung Indonesia. Selain itu, dampak sampingan adalah menekan penyalahgunaan ganja di dalam negeri karena seluruh produksi terserap untuk ekspor. Pengawasan penanaman ganja legal dan distribusi ekspor yang ketat melalui jalur resmi dapat membatasi peredaran ganja di pasar gelap. Jika ekspor ganja sudah berjalan baik dan tidak menimbulkan masalah di masyarakat, Indonesia dapat mengembangkan produksi ganja medis untuk skala industri farmasi. Di Kanada, pabrik coklat diubah menjadi pabrik obat berbahan ganja yang diekspor ke apotek di Jerman dan Australia.

Kandungan tanaman ganja sesungguhnya tidak semuanya membahayakan manusia. Anak-anak epilepsi dan autisme sangat tertolong dengan obat yang mengangung CBD dari ganja. Bahkan jika para peneliti kelak berhasil mengembangkan anti-kanker dari ganja. Di Indonesia, 2,4 juta penyandang autisme menurut situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tahun 2018 dapat tertolong dengan terobosan obat mengandung ganja.

Segala sesuatu akan berbahaya bagi manusia dan menjadi musuh dalam masyarakat jika disalahgunakan. Suka tidak suka, pemerintah perlu melirik perkembangan tren dunia dalam penggunaan ganja medis. Masyarakat juga perlu diedukasi guna mengubah pola pikir dari melihat ganja sebagai obat terlarang menjadi obat yang diresepkan dokter. Kesiapan masyarakat dan pemerintah perlu dibangun mulai sekarang. Lebih baik sejak awal pemerintah dan DPR mengkaji regulasi yang prospektif secara bisnis dan demi tujuan kesehatan agar tidak kaget ketika semakin banyak obat mengandung ganja diproduksi dunia.

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.