1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sandiaga dan Labirin Popularitas Politik

29 Januari 2018

Pemprov DKI Jakarta mempersiapkan untuk kembali mengoperasionalkan transportasi becak di DKI Jakarta. Bagaimana pendapat Anda? Berikut opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2rgON
Indonesien Rikscha Transport in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/G.C. Hin

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno nampaknya terperangkap dalam labirin yang tak dimengertinya. Ia mengerti apa yang ada di ujungnya: kepopuleran tiada tara. Tapi, tak ada yang pernah benar-benar mengerti belokan-belokan mana yang harus diambil, rute mana yang harus dilalui, seberapa jauh jarak yang harus ditapaki untuk menggapainya.

Ketika Jokowi, presiden kita hari ini, menduduki kursi pejabat tertinggi DKI Jakarta lima tahun silam, ia nampak begitu mudah meraihnya. Semua gerak-gerik yang dibawakannya senantiasa merenggut perhatian media massa. Seiring kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, cinta khalayak semakin besar kepadanya. Saat kita menyadarinya, Jokowi, yang saban hari masih menjabat walikota Solo, sudah menjadi kandidat presiden Indonesia tanpa banding.

Geger Riyanto adalah esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.@gegerriy
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Sandiaga kurang kerjaaan?

Sandiaga, tentu, bukannya tak memperoleh perhatian untuk hal-hal yang sudah dilakukannya sejak terpilih sebagai wakil gubernur. Namun, perhatian tersebut tak mengandung cinta yang sama dengan perhatian kepada Jokowi. Ia mengandung kesinisan, cibiran, dan bahkan sarkasme.

Sandiaga tak ragu menampilkan kesehariannya  sebagai seorang pejabat. Ia tak enggan berbagi dengan para wartawan fakta bahwa ia jogging untuk pergi ke kantor, memijat punggung camat, atau ingin berenang di Danau Sunter. Namun, alih-alih dianggap membumi sepatutnya Jokowi kala pergi ke konser metal, ia dianggap sedang kurang kerjaan dan mencari perhatian.

Dan terakhir, ketika Sandiaga mengemukakan keinginannya untuk melatih tukang becak menggenjot, ia mungkin berharap memperoleh cinta yang sama ketika Jokowi mengemukakan keinginannya menindak kekejaman terhadap topeng monyet. Keduanya sama-sama mengeluarkan komentar yang sulit dipahami faedahnya. Namun, lagi-lagi, Sandiaga tak  menuai cinta dan malah olok-olok.

"Nantinya akan ada pelatihan juga buat para kernet supaya teriakan-teriakan mereka merdu seperti seriosa," unggah seorang teman ke laman Facebook-nya.

Sandiaga segera menambahkan bahwa dirinya ingin mengembalikan becak untuk menghidupkan budaya asli Indonesia. Dan warganet menimpali, mengapa ia tidak sekalian merevitalisasi dokar kalau mau menghidupkan kendaraan asli Indonesia?

Apa pun yang dilakukan Sandiaga, ia selalu terantuk kesinisan publik. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya membedakan antara Jokowi dengan dirinya? Atau bahkan, Ahok dengan Sandiaga? Belum sampai setahun silam, kita menganggap bahwa pemimpin harus santun dan menjaga mulutnya. Namun, ketika Sandiaga bersama Anies membawakan diri sebagai pemimpin yang sopan, ia malah dianggap sosok-sosok munafik.

Dengan terbuktinya keberhasilan kursi tertinggi DKI Jakarta mengantarkan para pejabatnya ke ketenaran tiada banding, saya yakin, kursi-kursi ini sudah dibanderol sangat mahal. Sandiaga, kalau kita merujuk pada bocoran-bocoran Prabowo, sudah merogoh kocek yang tidak kecil. Tetapi, ia tidak pernah semakin dekat dengan popularitas politik yang diharapkannya. Ia masih dianggap pejabat bau kencur atau anak orang kaya yang berpretensi merakyat namun malah nampak bersandiwara.

Baca juga:

Bagaimana Pendapat Anda Tentang Kartu Jakarta Jomblo?

Ada Sindikat Amerika dalam Pilkada Jakarta?

Bagaimana kita menjelaskan ini?

Jawabannya, saya kira, ada di ingatan kita dan kemampuan kita menguntai cerita dari fragmen-fragmen pikiran tersebut. Adalah hal yang keliru bila kita menganggap latar belakang, manuver, intrik yang melibatkan para pejabat tak pernah menyumbang bagi persepsi terhadapnya di kemudian hari.

Kita membayangkan, Jokowi dan Ahok memenangkan pemilihan gubernur dengan mengalahkan petahana yang dibekingi oleh koalisi partai besar serta acap mencetuskan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat. Sementara itu, kita gemar mengimajinasikan Anies dan Sandiaga sebagai para politisi yang menangguk untung dari politisasi agama dan mulut "comberan" Ahok. Mereka, kita imajinasikan, tak akan pernah menang dari kecapannya memimpin birokrasi.

Sandiaga sudah merogoh kantungnya untuk mendapatkan perhatian publik. Gerindra, mungkin, telah membuang kesempatan politik untuk mengatrol partainya sebagaimana PDIP pada Pilkada DKI Jakarta yang silam. Namun, keliru bila kita menganggap publik abai dengan cara para pejabatnya memperoleh kursinya. Lebih-lebih, di era kala publik bisa mengembangkan cerita-ceritanya tentang apa yang terjadi di dunia politik melalui media sosial.

Manusia, pasalnya, selalu mengingat dengan cerita. Dan Sandiaga, bisa jadi, sudah terperosok dalam labirin politik tanpa jalan keluar. Betapapun ia berusaha tampil merakyat, mengangkat orang kecil, tak tedeng aling-aling, cerita tentangnya sebagai politisi tak akan pernah menjadi cerita serupa Jokowi.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/yf)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.