1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sang Badass: Aa Gatot

Andibachtiar Yusuf8 Oktober 2013

Film "AZRAX" menjadi bahan olok-olokan di media sosial. Sutradara Andibachtiar Yusuf memberikan pandangan tentang film yang dibintangi Gatot Brajamusti, dan menyebut ketua PARFI itu sebagai 'Badass' baru.

https://p.dw.com/p/19vup
Foto: Fotolia/fergregory

“Gatot Brajamusti adalah sebuah fenomena!” tulis sebuah akun twitter saat ketua PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) tersebut muncul di sebuah talkshow pada sebuah stasiun televisi swasta sekitar setahun yang lalu. Saat itu kalimat ini sama sekali tidak bernada pujian, tapi justru dipenuhi dengan aura sinis, nyinyir, sarkas sekaligus melecehkan. Gatot atau yang biasa dipanggil Aa Gatot dianggap tidak layak menjadi seorang ketua PARFI.

“Emang dia pernah main film apa?” adalah pertanyaan standar yang saya sendiri juga kemukakan saat ia pertama kali ditahbiskan menjadi ketua wadah para aktor dan aktris sinema di Indonesia. Pada talkshow yang “menduelkan” dirinya dengan Sutradara Joko Anwar itu, Aa terlihat muncul bagai sosok yang polos serta lugu namun penuh dengan niat baik “Sebagai produser saya tak perlu datang ke lokasi dong, kan saya sudah serahkan uangnya,” adalah salah satu kalimat yang kemudian juga menjadi bahan sarkas banyak pelaku sinema maupun penonton acara tersebut.

Sekitar setahun kemudian para penggemar film di Indonesia bagai digemparkan oleh munculnya poster film Azrax, Memburu Sindikat Perdagangan Wanita. Lagi-lagi nyaris tak ada nada positif akan hadirnya film yang menampilkan Aa sebagai pemeran utamanya. “Aa Gatot berpose bagai Tom Cruise…” adalah salah satu komentar yang muncul di jejaring sosial. Saat itu sekita 3 bulan sebelum film ini tayang resmi dan tak satupun ada orang yang saya kenal atau saya ikuti timeline jejaringnya memberi pandangan positif akan kehadiran film ini……begitu juga saya.

Namun kemudian saya merasa agak tidak fair untuk sama sekali tidak menyaksikan Azrax namun terus mencelanya “Gak boleh ngehina-hina film orang kalo belum nonton,” kira-kira begitu motto saya dalam menilai sesuatu. Maka pergilah saya ke bioskop, di saat Azrax yang sempat turun mampu kembali lagi ke layar dan hanya di satu layar!

Saya datang dengan semangat untuk terhibur, apalagi banyak teman yang telah menyaksikan film ini berulang kali mengisahkan betapa tak masuk akalnya film ini. Belum lagi rentetan komentar lewat jejaring sosial yang menyatakan betapa lebay dan tak masuk akalnya adegan-adegan aksi ataupun sekedar drama di film ini. Saya datang bersama empat orang kawan lain yang semua memiliki pretensi yang sama….menertawakan film sepanjang tayangan dan mencercanya setelah keluar dari teater.

Nyatanya…..saya memang sudah mulai tertawa sejak menit-menit pertama film dimulai. Namun tawa ini bukan dipenuhi oleh kenyinyiran, tapi karena memang lucu. Bayangkan saja seorang jagoan dengan wajah santun seperti Sang Aa menyapa musuhnya dengan “Assalamualaikum,” lalu bertanya pada yang akan ditolong “Apakah neng perlu pertolongan?” untuk kemudian memulai sebuah perkelahian 2 lawan 1 yang diakhiri dengan tendangan keras sembari memunculkan judul film yang dibuat dengan teknologi 3D.

“Machete dengan citarasa lokal,” ujar Jozef Thenu kawan saya yang malam itu juga ada di teater, pekerja komik yang kemudian menyaksikan film ini sampai 3 kali dan mengaku masih belum puas. Jeje—demikian Jozef biasa dipanggil—sama seperti Dennis Adhiswara, sineas yang merasa bahwa Azrax adalah film yang sungguh badass!! Saya pun merasakan hal yang sama.

Dunia mengenal terminologi film B selain film A yang praktis dipahami oleh banyak orang Indonesia. Sementara film B berpretensi sederhana dan kadang “menertawakan” kemampuan logika penonton film B, film A adalah film-film yang dengan upaya dan niat baik berkehendak untuk menampilkan kesempurnaan sebuah karya sinema.

Robert Rodriguez, Quentin Tarantino atau Dario Argento adalah tiga nama utama yang dikenal dengan karya-karya sinema B nya. Mulai dari seri Planet Terror sampai Machete, adalah film kelas B yang memiliki fans nya sendiri. Bahkan para idola masa silam seperti Chuck Norris, Michael Dudikoff sampai Jean Claude Van Damme adalah para badass film B yang melegenda.

Saya meyakini bahwa Azrax, Memburu Sindikat Perdagangan Wanita adalah film yang sungguh jujur mengintepretasikan seperti apa masyarakat kita kebanyakan. Orang-orang yang santun namun bisa saja melakukan kekerasan, sebuah budaya yang tanpa terasa adalah budaya preman… seperti yang terjadi di banyak hal di negeri ini.

Bagi saya film ini muncul di era yang “salah”. Menjadi tak benar karena hadir di saat layar bioskop kita praktis dimiliki dan dimonopoli oleh sebuah kekuatan usaha yang sangat besar. Nyaris tak ada layar sinema di daerah-daerah, lokasi yang di suatu masa dulu adalah andalan utama film-film nasional. Bagaimana di era itu, Rhoma Irama sang Raja Dangdut mampu benar-benar bertakhta baik di panggung maupun di layar perak. Antrian yang mengular sampai tengah jalan adalah pemandangan biasa saat sang badass: Bang Oma muncul membela kebenaran sembari menghajar si jahat yang menghadang.

Era kejayaan sinema Indonesia dulu, yang suka atau tak suka, kini penontonnya sama sekali berbeda. Serta tentu saja kondisi perbioskopan yang bagai langit dan bumi. Bang Haji mampu menguasai pasar dan “mendemonstrasikan” hegemoni penontonnya di banyak layar di berbagai wilayah Pantura, karena jumlah bioskop memang sangat banyak… sementara penerusnya Sang AA, gagal “meyakinkan” penonton film di ibukota negara—yang umumnya memang “sungguh pintar” itu—untuk datang ke layar sinemanya sebelum kemudian memutuskan hendak menghina atau tetap tertawa seperti saya dan beberapa kawan saya.

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Football Reverend @andibachtiar