1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeEropa

10 Tahun Pembantaian oleh Ekstremis Kanan di Utoya, Norwegia

22 Juli 2021

Tahun 2011, ekstremis kanan meledakkan bom di Oslo dan membantai puluhan pemuda di perkemahan musim panas di Utoya, Norwegia. Penyintas kini giat melawan ekstremisme yang sayangnya kian meningkat.

https://p.dw.com/p/3xneF
Lautan bunga di Norwegia untuk mengenang korban, foto diambil pada 19 Juli 2017.
Lautan bunga di Norwegia untuk mengenang korban, foto diambil pada 19 Juli 2017Foto: picture-alliance/dpa

Pada peringatan 10 tahun pembantaian terburuk yang terjadi selama masa damai di Norwegia, para penyintas serangan oleh ekstremis kanan, Anders Behring Breivik, khawatir rasisme yang telah memicu pembantaian massal ini muncul kembali.

Pada saat kejadian tanggal 22 Juli 2011, sebagian besar dari 77 korban Breivik masih berusia remaja yang tergabung sebagai anggota idealis Partai Buruh. Mereka tengah menikmati perkemahan tahunan di Pulau Utoya yang tenang dan berhutan di sebelah barat laut Oslo.

Setelah hari nahas itu, banyak orang yang selamat terus berjuang agar visi mereka akan Norwegia yang demokratis bisa tetap hidup.

"Saya pikir Norwegia akan berubah ke arah positif selamanya setelah serangan itu. Tapi sepuluh tahun kemudian, itu tidak terjadi. Dalam banyak hal, kebencian yang kita lihat secara online dan ancaman terhadap orang-orang dalam gerakan Buruh justru semakin meningkat," kata Asmund Aukrust, wakil pemimpin Sayap Pemuda Partai Buruh Norwegia yang membantu mengorganisasi kamp tersebut.

Saat ini Aukrust telah menjadi anggota parlemen nasional yang memperjuangkan diadakannya penyelidikan skala nasional atas ideologi sayap kanan yang mengilhami si pembunuh. Pada saat kejadian, Aukrust lari dari desingan peluru yang beterbangan, melewati hutan lalu bersembunyi di sana selama tiga jam yang mengerikan. Sementara teman-temannya terbantai di sekitarnya.

Sebagai seorang yang vokal menentang rasisme dan xenofobia di Norwegia, Aukrust sering menjadi target pelecehan di dunia maya, termasuk menerima pesan yang berbunyi "kami berharap Breivik telah melakukan tugasnya."

Apa yang terjadi pada 22 Juli 2011 di Norwegia?

Setelah mendengar adanya pengeboman Oslo pada "hari tergelap dalam hidup kami," Sindre Lysoe, seorang penyintas pembantaian di Pulau Utoya, ingat bahwa saat itu teman-temannya mengatakan mereka berada di tempat paling aman di dunia. Namun beberapa beberapa menit kemudian, tembakan dan teriakan pun dimulai.

Pada 22 Juli 2011 pukul 2:09 siang waktu setempat, Breivik mengirimkan manifesto ke lebih dari 1.000 alamat email termasuk ke sejumlah politisi dan jurnalis di Norwegia. Sekitar satu jam setelahnya, ia memarkir sebuah van berwarna putih berisi bom seberat 950 kilogram di depan gedung pemerintah di ibu kota Oslo. Dengan kendaraan terpisah, Breivik kemudian berangkat menuju Pulau Utoya. Pada pukul 3:25 sore, bom meledak dan menewaskan enam perempuan dan dua laki-laki.

Breivik tiba di Pulau Utoya pada pukul 5:17 dengan menaiki perahu dari daratan utama, ia menyamar dan berpakaian seperti polisi dan membawa berbagai macam persenjataan di dalam koper. Pukul 17:21 pembantaian dimulai. Breivik membunuh seorang penjaga dan penyelenggara kamp sebelum menguntit dan membunuhi sebagian besar remaja dan orang dewasa muda di pulau itu. Di sana ia membunuh 69 orang.

Perkemahan di Pulau Utoya, pada 21 Juli 2011 sehari sebelum serangan.
Suasana perkemahan remaja dan pemuda di Pulau Utoya, Norwedia, pada 21 Juli 2011, sehari sebelum serangan yang mematikan lebih dari 60 orang.Foto: dapd

Para korban pembantaian Utoya datang dari kota-kota dan desa-desa di seluruh Norwegia. Tragedi pribadi yang ditimbulkannya telah berubah menjadi trauma kolektif bagi mayoritas 5,3 juta penduduk negara itu. Orang-orang yang selamat bergabung dengan populasi yang terguncang dan bertekad menunjukkan bahwa Norwegia akan lebih toleran dan menolak pandangan dunia yang telah memotivasi si pembunuh. Satu dekade kemudian, beberapa penyintas percaya bahwa tekad kolektif tersebut, sayangnya, memudar.

"Apa yang sangat positif setelah serangan teror adalah bahwa orang-orang melihat ini sebagai serangan di seluruh Norwegia. Itu adalah cara menunjukkan solidaritas," ujar Aurust. "Tapi itu sudah tidak ada lagi. Itu adalah serangan terhadap masyarakat multikultural. Dan meskipun itu adalah tindakan satu orang, kita tahu bahwa pada hari ini pandangannya dianut oleh lebih banyak orang dibandingkan 10 tahun lalu."

Motif kebencian dan rasisme

Breivik menyerang institusi Partai Buruh yang dia yakini membantu apa yang dia sebut sebagai Islamisasi Norwegia. Saat hari penyerangan, ia berpakaian menyerupai polisi, mendarat di Utoya, menembak mati 69 anggota sayap pemuda dan melukai lebih banyak lagi.

"Bukanlah kebetulan bahwa perkemahan musim panas kami yang diserang. Kebencian itu ditujukan kepada kami karena nilai-nilai keterbukaan dan inklusivitas kami,” kata Sindre Lysoe, penyintas dari Utoya yang sekarang menjadi Sekretaris Jenderal Sayap Pemuda Partai Buruh. 

Kafetaria di kamp musim panas di Utoya, Norwegia
Kafetaria di perkemahan di Pulau Utoya masih berfungsi sebagai pusat pembelajaran. Di sana masih ada sisa-sisa lubang peluru pada hari pembantaian.Foto: DW/V. Criscione

"Setelah Utoya, terlalu sulit bagi banyak orang untuk kembali ke politik. Bagi saya dan masyarakat, sangat penting untuk bangkit kembali dan melawan melalui lebih banyak pekerjaan baik yang kami tahu bisa kami lakukan," katanya. "Sebelum 22 Juli, politik itu penting, namun setelahnya itu (politik) menjadi persoalan hidup dan mati."

Dua ekstrem sama-sama berbahaya

Saat ini Sindre Lysoe menghabiskan banyak waktunya untuk memperingatkan kaum muda tentang bahaya ekstremisme sayap kanan. Bahkan pada tahun-tahun setelah serangan itu, polisi keamanan Norwegia, PST, masih terus menggolongkan kelompok Islamis lebih mungkin menjadi pelaku terorisme domestik dibandingkan dengan ekstremis sayap kanan.

Tetapi setelah serangan masjid Selandia Baru pada tahun 2019 menewaskan 51 orang, dan adanya upaya peniru oleh penembak Norwegia Philip Manshaus di luar Oslo akhir tahun yang sama, polisi keamanan Norwegia mengubah pandangannya dalam penilaian tahunan. Ekstremis kanan sekarang berada di posisi kedua bentuk ekstremisme pada tingkat bahaya yang sama. 

"Seiring berjalannya kita ke 2013 dan 2014, migrasi ke Eropa dan ISIS menjadi prisma yang kami pakai untuk melihat teror. Norwegia kembali ke narasi ekstremisme yang sebagian besar asing,” kata Bjoern Ihler, yang lolos dari terjangan peluru setelah menceburkan diri dan berenang di perairan dingin di sekitar pulau untuk menyelamatkan diri.

Keterbukaan dan keberagaman jadi kunci

Sejak serangan 22 Juli itu, Ihler telah menjadi ahli melawan radikalisasi, mendirikan Institut Khalifa-Ihler untuk pembangunan perdamaian dan melawan ekstremisme, menasihati Uni Eropa dan memimpin panel di Forum Internet Global untuk melawan terorisme. Ihler yang telah berbicara dengan sejumlah ekstremis tobat mengatakan bahwa ruang gema internet ini perlu diekspos dengan narasi berbeda.

"Terlepas dari ideologi, alasan mereka masuk ke lingkungan radikal semuanya agak mirip. Ini tentang menemukan identitas dan ruang di mana Anda merasa diterima. Apakah itu Islamis atau ekstremis sayap kanan, masalah mendasar yang mereka hadapi adalah hidup di lingkungan dengan keragaman,” katanya. "Bagian yang sulit adalah membantu mereka membangun kenyamanan dengan keragaman itu.”

ae/gtp (AP)