1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seakan Begitu Mudah Merebut Suara Generasi Milenial

27 Oktober 2018

Revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun. Bagaimana dengan generasi muda sekarang? Kini mereka jadi rebutan kaum elite politik. Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/36Plu
Indonesien Schüler der High School in Uniform
Foto: Imago/Zumapress

Generasi baru yang kini lebih populer disebut Generasi Y atau generasi milenial (mereka yang lahir di era 1990-an), hari ini sedang menjadi primadona dalam konteks Pilpres 2019.

Jumlah mereka yang besar, telah menjadi incaran capres-cawapres yang sedang bertarung menuju kekuasaan periode 2019-2024.

Tumbuh keyakinan di masing-masing kubu, bisa mendulang suara dari generasi milenial akan memberi hasil signifikan dalam kontestasi hari ini.

Bila kita perhatikan, masing-masing kubu terlihat demikian optimisnya, bakal merebut simpati generasi milenial, tanpa kita pernah tahu  apa yang mendasari mereka, sehingga  begitu optimistis.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Publik belum pernah melihat, bagaimana peta jalan masing-masing kubu dalam upaya mendekati generasi milenial. Yang kita kita lihat baru sebatas pernyataan verbal, lalu bagaimana operasionalnya di lapangan, selama ini masih samar-samar.

Saya sendiri khawatir, sebenarnya para capres belum memiliki skema soal bagaimana mendekati kaum belia tersebut.

Bisa jadi tim sukses masing-masing capres sudah turun ke lapangan, untuk menangkap aspirasi kaum muda terkait pilpres tahun depan. Tanpa memahami aspirasi kaum milenial, sebagus apa pun janji para capres hanya akan lewat begitu saja.

Kesenjangan antargenerasi

Bila kita perhatikan, optimisme masing-masing kubu hanya berdasarkan asumsi "senior dan yunior”.

Maksudnya, kalangan generasi milenial sebagai   yunior  secara otomatis akan mengikuti kehendak para senior.

Para senior adalah   mereka   yang   lahir   dari   dekade 1940-an  sampai 1970-an,  generasi  yang paling  sibuk   berebut kekuasaan  tahun   depan. 

Asumsi  bahwa yunior akan secara otomatis mengikuti kehendak senior, sejatinya   sudah  usang.  Model  seperti  itu hanya pas ketika ormas kemahasiswaan sedang berjaya, seperti HMI, GMNI, AMPI, dan seterusnya.

Sebuah fenomena yang pernah terjadi di masa lalu, kira-kira sampai dekade 1980-an. Kini era kejayaan ormas kemahasiswaan (atau pemuda) sudah lewat, generasi milenial memilih mencari jalan  sendiri  dalam mengaktualisasikan dirinya.

Bila masing-masing kubu masih mengandalkan pendekatan senior ke yunior, istilah yang paling tepat bagi mereka adalah ahistoris. Semangat hidup yang kini sedang dijalani generasi milenial, sesuai dengan konsep yang pernah disampaikan Indonesianist terkemuka Ben Anderson (almarhum).

Menurut Ben, revolusi Indonesia tahun 1945-1948, digerakkan oleh mereka yang berusia antara 18 sampai 25 tahun.

Kalau kita percaya pada tesis Ben Anderson tersebut, sebenarnya di zaman apapun, lebih khusus lagi di masa sekarang, tidak ada tempat bagi aspirasi konservatif.

Namun sayang, dinamika dan kreativitas membuncah yang lahir dari generasi milenial, acapkali tidak bisa dimengerti  elite pengusa. Menjadikan generasi milenial sekadar lumbung suara, perilaku konservatif generasi tua telah mencapai titik nadir.                                                         

Kaum tua seolah lupa sejarah, bahwa selalu ada kesenjangan -- lebih tepat lagi ketegangan – antargenerasi di negeri ini.  Salah satu yang paling gamblang,  adalah ketegangan antara Generasi 1966 yang sangat pro rezim Orde Baru, berhadapan dengan generasi Malari (1974), yang mulai bersikap kritis terhadap Orde Baru.

Generasi Malari telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga  Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998.

Bila generasi 1966 saja sudah diabaikan, bisa kita bayangkan bagaimana kondisi generasi yang lebih lampau, yaitu Generasi 1945, tentu citranya lebih suram lagi. Bila generasi milenial masih bersedia mengingat Generasi 45, itu lebih karena rasa belas kasihan, bukan karena performa Generasi 45.

Bagaimana tidak, Generasi 45 selalu membanggakan semangat nasionalismenya, ironisnya semangat nasionalisme itu mereka hanguskan sendiri, melalui serangkaian tindak korupsi, penindasan rakyat, pelanggaran HAM, dan seterusnya, saat Generasi 45 mencapai puncak kekuasaannya, dengan Soeharto sebagai representasinya.

Tradisi kekuasaan yang dulu dikembangkan Generasi 45, sampai kini masih meninggalkan jejak kuat. Seperti yang pernah dikatakan tokoh Gerakan Malari 1974 Hariman Siregar,   bahwa demokrasi hari ini adalah demokrasi yang sudah dibajak dengan uang, dibajak dengan orang kaya dan menciptakan dengan prosedur yang sangat mahal.

Semisal untuk menjadi caleg DPR harus memberi mahar pada partai pengusung, demikian juga bila ingin maju dalam pilkada, para calon harus menyediakan dana dalam jumlah besar. Dana kampanye pilpres tentu lebih besar lagi, sangat fantastis, di luar imajinasi rakyat kebanyakan. Itu sebabnya perilaku koruptif terus berlangsung, karena politisi memerlukan dana yang besar

Observasi dua komunitas

Saya pribadi juga sedang mencoba menangkap aspirasi politik generasi milenial berdasarkan observasi pada dua komunitas. Pertama, generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan, yakni mereka yang rutin mengadakan aksi damai di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis (sore).

Kedua, adalah komunitas Rumah Rode di Yogyakarta, yang beranggotakan sekumpulan mahasiswa dari berbagai kampus swasta, dengan motornya adalah mereka yang kuliah di UII (Universitas Islam Indonesia).

Tentu ada banyak komunitas dan kantong generasi milenial lain, dengan segala beragam ide-ide kreatifnya, dua komunitas di atas hanyalah sekadar contoh.

Setidaknya dua komunitas tersebut bisa dijadikan jendela dalam memahami aspirasi dan konfigurasi generasi milenial. Dari observasi lapangan, salah satu temuan menarik adalah, mereka tidak terlalu peduli dengan segala kebisingan menjelang Pilpres 2019.

Mereka bukannya tidak tertarik pada politik dan kekuasaan, namun mereka memiliki peta jalan sendiri untuk mengekspresikan aspirasi mereka.

Keterlibatan dalam aksi Kamisan, merupakan salah satu bentuk ekspresi mereka membela korban pelanggaran HAM. Ketika elite di Istana tidak pernah merespons aksi Kamisan, padahal aksi itu hanya sepelemparan batu jaraknya dari Istana, bisa kita tebak bagaimana pandangan generasi milenial terhadap kekuasaan.

Wajar bila mereka kemudian bersikap dingin terhadap kekuasaan. Mereka sudah bisa membaca, bahwa aksi Kamisan suatu saat akan menjadi salah satu media dalam kampanye capres, baik kubu petahana maupun penantang.

Namun ikhtiar tersebut percuma saja, politisasi aksi Kamisan adalah kesia-siaan.

Sementara komunitas Rode sangat menyesalkan ormas kemahasiswaan dan pemuda yang sekadar menjadi kepanjangan tangan dari para senior atau parpol yang menjadi afiliasinya.

Dalam pandangan Rode, suara generasi milenial adalah simbol kedaulatan, idealnya generasi milenial bisa menggunakan suaranya secara kritis, tidak sekadar mengikuti kemana angin bertiup. Meskipun angin itu digerakkan para senior.

Sekadar tambahan informasi, Komunitas Rode didirikan oleh sejumlah aktivis generasi 1980-an dari kampus UII. Sejak lahir komunitas ini memang kritis terhadap kekuasaan,  bahkan pada dua level kekuasaan.

Pertama, kritis terhadap Orde Baru, sebagai alasan utama pendirian komunitas ini tahun 1988 dulu.

Kedua, kritis terhadap ormas kemahasiswaan, khususnya HMI, mengingat para pendahulu Rode adalah "sempalan” HMI, ketika HMI dianggap semakin dekat dengan kekuasaan (rezim Orde Baru). Sikap kritis dua level ini masih dipertahankan sampai hari ini.

Melalui budaya pop

Ada banyak jalan dalam mendekati generasi ini,  salah satunya melalui budaya pop. Sungguh gagasan cemerlang bila panitia pelaksana Asian Games 2018, mengundang salah grup pop terkemuka asal Korsel, yang langsung memperoleh respons positif. Namun ada kalanya tidak pas juga.

Seperti eksperimen yang dilakukan sebagian elite Istana, dengan mendirikan kelompok musik "Elek Yo Band”, jelas kurang mendapat sambutan.

Alih-alih mengundang simpati, kelompok itu justru hanya menjadi bahan parodi. Itu karena para personel memanfaatkan posisi mereka di kabinet, untuk ikut merambah panggung budaya pop, yang sebenarnya bukan domain mereka.

Tentu beda dengan kelompok atau personal yang membangun nama dari bawah, benar-benar berjuang untuk mencapai posisi terhormat dalam panggung musik pop, seperti diperagakan  Via Vallen

Masih merujuk observasi lapangan, dari sekian lontaran gagasan yang pernah disampaikan generasi milenial, ada satu gagasan yang saya kira sangat cemerlang, dan genuine dari generasi ini. Mereka ingin agar lagu kebangsaan (Indonesia Raya), bisa dipadatkan. Yakni dibuat versi yang lebih ringkas, tanpa mengurangi esensinya.

Oleh karenanya ketika muncul wacana menyanyikan Indonesia Raya Stanza Tiga, yakni versi yang lebih panjang, gagasan ini seperti anomali. Versi ringkas ini lebih diperuntukan bagi kepentingan event internasional, agar tidak  merepotkan panitia lokal, dan juga agar penonton (mancanegara) tidak terlalu lama menunggu.

Gagasan ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap masa depan bangsa, sebagai antisipasi bila atlet Indonesia mampu berjaya di tingkat internasional.

Dibandingkan dengan lagu kebangsaan negara lain, terutama negara maju, lagu kebangsaan kita memang terlihat terlampau panjang. Hingga lahir gagasan cerdas itu. Pesannya cukup jelas, bahwa durasi lagu kebangsaan bukanlah variabel dalam mengukur nasionalisme seseorang.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai editor paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan menulis pendapat Anda di kolom komentar yang tersedia di bawah ini.